Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Tes DNA?"
Mata Pak Darren membulat sempurna dengan kening mengernyit.
Niat Pak Vino untuk melakukan Tes DNA sungguh membuatnya terkejut.
Apalagi, alasan Pak Vino ingin melakukan tes DNA hanyalah karena ucapan Zayn mengenai Nirma yang memiliki wajah mirip dengannya.
Darren sendiri tidak tahu semirip apa mereka, sebab belum pernah melihat wajah Nirma sama sekali.
"Kamu yakin sampai mau tes DNA?" tanya Pak Darren hendak memastikan.
Mengangguk mantap, Pak Vino menatap sang sahabat.
"Aku rasa itu cara yang paling akurat untuk membuktikan semua dugaan. Aku bisa saja mengabaikan ucapan anakku. Seseorang mungkin memiliki kemiripan meskipun tidak sedarah, dan itu hal biasa. Tapi, saat Zayn berkata bahwa dia merasa adik kembarnya seperti ada di dekatnya, aku tidak bisa mengabaikannya. Anak kembar memiliki perasaan yang lebih kental. Mereka tumbuh dalam satu plasenta."
Mata Pak Vino tampak berkilat saat mengucapkan kalimat panjang itu.
Darren turut merasa haru dan sedih di saat yang bersamaan.
"Aku paham perasaanmu. Tapi, kita tidak bisa berharap terlalu banyak agar tidak kecewa, jika hasilnya tidak seperti yang kita harapkan.”
"Aku sudah memikirkan itu. Karena itulah aku melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan Resha. Aku tidak mau dia kecewa." ucap Pak Vino lirih.
"Dia butuh waktu yang lama untuk bisa memaafkan dirinya atas kejadian itu."
"Baiklah, aku akan segera hubungi Ustadz Yusuf dan membuat janji untuk bertemu."
"Kalau bisa secepatnya."
Darren mengangguk. "Tenang saja."
"Maaf aku agak mendesak. Aku bukan tidak merelakan kepergian Zahra. Demi Allah, andai aku melihat jasadnya, mungkin aku tidak akan berharap sampai sejauh ini. Tapi, sampai sekarang putri kecilku tidak ditemukan. Sebagai seorang Ayah aku berharap masih memiliki kesempatan untuk memeluknya walaupun hanya untuk satu menit."
"Insyaallah semua akan dipermudah."
**
**
"Sampai kapanpun juga pelangi tidak akan terlihat indah di mata orang yang buta warna. Selama kamu tidak membuka hati, kamu tidak akan bisa melihat kebaikan yang ada dalam diri Nirma. Karena semua kebaikan itu tertutup oleh iblis yang ada di hatimu."
Ucapan Brayn sebelum pulang tadi terus terngiang di telinga. Menusuk ke hati dengan begitu sempurna.
Tajam dan tepat sasaran.
"Apa selama ini aku sudah salah karena terlalu berpikiran buruk tentang Nirma?"
Membaringkan tubuhnya di sofa, Raka mengganti chanel televisi untuk mencari tayangan menarik.
Namun, semua tontonan terasa membosankan, membuatnya segera menekan tombol off dan membalikkan tubuhnya.
Ingin terpejam, tetapi sulit.
Sesekali ia melirik ke arah kamar Istrinya. Sejak Brayn dan teman dokter wanitanya pulang, ia belum memeriksa kondisi Nirma lagi.
Raka sengaja tidak ke kamar dan memilih menunggu di ruang televisi yang berada tak jauh dari kamar Istrinya.
Khawatir jika Nirma terbangun dan membutuhkan bantuan.
Brak!
Suara benda terjatuh yang terdengar dari kamar membuat Raka terlonjak.
Lelaki itu refleks bangkit meninggalkan sofa dan berlari menuju kamar.
Saat membuka pintu, terlihat Nirma terbaring di lantai dengan gelas kosong di tangan.
Bercak darah yang menetes dari hidung Nirma membuat seluruh tubuhnya meremang.
"Nirma, kamu kenapa?" pekik Raka, ia segera mendekat dan berjongkok di samping Istrinya.
Ia memangku tubuh lemah itu sambil mengguncang bahunya pelan.
Pertama kali melihat wajah Nirma tanpa tertutupi cadar membuat jantung Raka berdegub cepat, ia menatap lekat-lekat wajah itu.
Hidung mancung, bibir tipis dengan dagu lancip, bulu mata hitam yang lentik alami. Sangat cantik menyerupai boneka hidup.
Sejenak pikiran konyolnya malah menebak andai Zahra masih ada mungkin akan secantik ini.
Tanpa sadar matanya melelehkan cairan bening. Namun, darah yang mengalir di hidung Nirma membuatnya segera tersadar.
"Nirma, bangun! Kamu kenapa?"
Panik, Raka meraih selembar tissue dan mengusap lelehan cairan merah yang mengalir dari hidung.
Tubuh Nirma bahkan terasa lebih hangat dibanding sebelumnya.
Tanpa mengulur waktu, ia segera mengangkat tubuh Istrinya menuju mobil.
Ia baringkan di depan dan mengatur kursi agar Nirma bisa berbaring dengan nyaman.
Saking paniknya, Raka sampai lupa menutup pintu dan gerbang rumahnya. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
"Abah ... Umi ... Ibu ...."
Sesekali Raka menoleh.
Selama perjalanan beberapa kali Nirma terdengar melenguh, memanggil Abah, Umi dan seseorang yang disebutnya sebagai Ibu.
Hingga mobil yang dikemudikan Raka memasuki halaman rumah sakit dan berhenti di depan ruang IGD.
"Apa ada dokter wanita? Tolong Istri saya!" Teriakan Raka menggema di setiap sudut.
Beberapa petugas medis yang berjaga pun sigap membantu.
Raka menggendong Nirma memasuki ruang IGD dan membaringkannya di ranjang pasien.
"Istrinya kenapa, Pak?" tanya seorang wanita berpakaian putih.
"Demam tinggi dan menggigil, Dok! Dia juga mimisan." jawab Raka panik.
"Sejak kapan demamnya?"
Raka terdiam. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan Nirma mengalami demam.
Para petugas medis melakukan pertolongan. Ada yang sedang mengukur suhu tubuh, ada pula yang memeriksa tekanan darah.
Sementara yang lain mencatat pada sebuah buku.
"Silahkan menunggu di luar dulu." ucap sang dokter.
Menghadapi keadaan seperti ini membuat Raka frustrasi. Ia bersandar di dinding dengan tatapan kosong.
Entah harus menghubungi siapa.
**
**
Bu Resha membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur.
Sudah hampir satu jam ia terbaring, tapi tak dapat terpejam. Entah untuk alasan apa, ia merasa sangat gelisah.
Menyibak selimut, tangan wanita itu mengulur. Meraih ponsel miliknya dan untuk memeriksa pesan.
Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan juga pesan dari sang Suami.
"Sayang, tidur duluan, ya. Aku sedang di luar dengan Darren dan Joane. Ada urusan sedikit." Isi pesan Pak Vino yang dikirim kurang lebih dua jam lalu.
"Iya, Mas. Pulangnya jangan larut, ya." balas Bu Resha.
Kemudian meletakkan ponsel kembali ke meja. Ia merenung selama beberapa saat dengan punggung bersandar.
"Ya Allah, ada apa denganku?" Ia memijat kepala, lalu mengusap wajahnya.
Setiap kali hatinya merasa gelisah, hal yang dilakukan Bu Resha adalah menjalankan shalat untuk mendapat ketenangan.
Berharap segala firasat buruk dalam hatinya menghilang seiring dengan doa-doa yang ia panjatkan.
Bu Resha masih terisak-isak di atas sajadah saat mendengar pintu kamarnya terbuka.
Sedetik kemudian, sepasang tangan menyentuh bahunya.
"Kamu kenapa nangis?"
Pak Vino langsung mendekap sang Istri. Namun, isak tangis wanita itu malah semakin menjadi-jadi.
"Aku tidak tahu, Mas. Perasaanku tidak enak, seperti sedang terjadi sesuatu yang buruk."
"Memang apa yang terjadi? Kenapa bisa merasa seperti itu?"
"Aku tidak tahu... padahal kita baik-baik saja. Oma dan Mama dalam keadaan sehat. Anak-anakku ada di rumah dan mereka baik-baik saja. Tapi, kenapa rasanya hatiku sakit sekali?"
Pak Vino mengusap kepala dan punggung Bu Resha yang masih terbalut mukena.
"Tenang saja, insyaallah semua akan baik-baik saja. Itu hanya perasaanmu saja. Kata orang suasana hati kita gampang berubah karena keadaan. Mungkin kamu hanya sedang bosan."
Jemarinya mengusap lelehan air mata yang mengalir di pipi.
"Sudah malam, Sayang. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Pikirkan hal-hal positif saja. Kita baik-baik saja dan hidup kita cukup bahagia. Anak-anak juga sehat semua." bujuk Pak Vino lembut.
"Tidur saja, yuk. Nanti aku pijat sampai kamu tidur."
Bu Resha menatap mata hangat Suaminya, lalu mengusap jejak-jejak air mata yang ia tinggalkan.
Membuka mukena berwarna putih tulang yang membalut tubuhnya.
**********
**********