Safeea dan ibunya sudah lama hidup di desa. Setelah kematian ibunya, Safeea terpaksa merantau ke kota demi mencari kehidupan yang layak dan bekerja sebagai pelayan di hotel berbintang lima.
Ketika Safeea tengah menjalani pekerjaannya, ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh William yang mabuk setelah diberi obat perangsang oleh rekan rekannya.
Karena malam itu, Safeea harus menanggung akibatnya ketika ia mengetahui dirinya hamil anak laki laki itu.
Dan ketika William mengetahui kebenaran itu, tanpa ragu ia menyatakan akan bertanggung jawab atas kehamilan Safeea.
Namun benarkah semua bisa diperbaiki hanya dengan "bertanggung jawab"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Safeea terdiam cukup lama. Jantungnya berdetak begitu keras, seolah ingin keluar dari tubuhnya. Ia menatap William dengan matanya yang berkaca-kaca, bukan hanya karena luka, tapi karena perasaan campur aduk yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Aku, Aku tidak pantas untuk menikah denganmu, Pak William." ucap Safeea pelan sembari menundukkan kepalanya.
William mengernyit pelan, namun membiarkan Safeea melanjutkan kata-katanya.
“Saya hanya seorang pegawai hotel biasa, pak. Seseorang dari keluarga sederhana yang bahkan mungkin tidak akan pernah bisa sejajar dengan dunia yang pak William jalani. Saya hanya seorang perempuan yang kebetulan bekerja di tempat yang pak William pimpin. Dan sekarang, saya sedang mengandung anak pak William, tanpa ikatan apa-apa. Apa yang akan orang-orang katakan jika mereka tahu? Bagaimana dengan tanggapan keluarga pak William jika mereka tahu kalau pak William akan memiliki anak dariku? Apa mereka bisa menerima kehadiran saya begitu saja? Saya takut kalau semua orang akan menilai buruk pak William karena memilih saya. Saya takut akan menyusahkan pak William, membuat nama baik pak William jatuh dan membuat pak William jadi bahan gunjingan. Saya—saya tidak ingin menjadi beban dalam hidupmu, Pak William.” ucap Safeea dengan suaranya yang bergetar, dan wajahnya yang tertunduk menahan rasa takut dan malu.
William melangkah mendekati safeea, kedua tangannya tampak memegang bahu safeea dengan lembut.
“Safeea, Aku tidak pernah melihat seseorang dari status sosialnya, atau dari seberapa tinggi atau rendah derajatnya di mata orang lain. Yang aku lihat adalah siapa dirimu yang sebenarnya.”
Tatapan mata William menembus ke dalam mata Safeea yang perlahan mengangkat wajahnya.
“Kau perempuan yang kuat. Kau bertahan hidup di kota ini sendirian setelah ditinggal ibumu. Kau bekerja dengan jujur. Kau tidak pernah meminta apa pun meski hidupmu penuh tekanan. Kau jauh lebih mulia dibanding orang-orang yang hanya bisa menilai dari permukaan, safeea.”
Safeea menahan napas, dadanya terasa sesak oleh emosi yang mengalir di dalam dirinya.
“Aku ingin menikahi mu bukan karena paksaan, juga bukan karena kehamilanmu saja, tapi karena aku ingin menebus semuanya. Aku ingin menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk anak kita. Dia berhak punya ayah yang jelas dan keluarga yang utuh. Dan kau berhak mendapatkan perlindungan dan kehormatan yang layak itu dariku, safeea. Bukan sebagai simpanan, bukan juga sebagai aib, tapi sebagai istri sah ku. Di mata manusia, dan juga di hadapan Tuhan.” ucap William dengan tulus.
Safeea memejamkan matanya sesaat. Air matanya kembali jatuh di pipinya. Tapi kali ini bukan karena rasa sakit, melainkan karena hatinya perlahan-lahan mulai menemukan setitik harapan di antara puing-puing luka yang sempat ia pikir tidak akan pernah pulih.
William menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat. Ia memandang Safeea dengan pandangan penuh harap. Laki-laki itu tampak rapuh untuk seorang CEO, namun justru dari kerentanannya itulah, Safeea melihat ketulusan yang tak bisa disangkal dari diri William.
"Aku tidak akan memintamu untuk langsung percaya padaku, Safeea. Aku tahu, aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Tapi tolong, berikan aku satu kesempatan. Satu saja. Biarkan aku membuktikan bahwa semua kata-kataku tadi bukan hanya karena rasa bersalah, tapi karena aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Untukmu. Untuk bayi kita.” ucap William pelan.
....udah pasti kamu bakal hidup sangat berkecukupan.