Ratu Maharani, gadis 17 tahun yang terkenal bandel di sekolahnya, dengan keempat sahabatnya menghabiskan waktu bolos sekolah dengan bermain "Truth or Dare" di sebuah kafe. Saat giliran Ratu, ia memilih Dare sebuah ide jahil muncul dari salah satu sahabatnya membuat Ratu mau tidak mau harus melakukan tantangan tersebut.
Mau tahu kisah Ratu selanjutnya? langsung baca aja ya kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Hukuman
Pagi harinya udara di SMA Garuda terasa segar, meskipun suasana di halaman sekolah sudah dipenuhi oleh keramaian para siswa dan siswi yang bersiap mengikuti pelajaran seperti biasa. Suara deru mesin motor dan mobil mengisi udara.
Di antara kerumunan itu, empat sosok yang sudah tak asing lagi bagi para siswa-siswi Garuda memasuki area parkir dengan gaya khas mereka. Ratu, dengan jaket kulit hitam yang melekat sempurna di tubuh langsingnya, memimpin jalan, di belakangnya disusul motor sport tunggangan Ica Mika dan juga Della.
Pagi ini sedikit berbeda dari hari biasanya mereka datang paling telat, bahkan sering memanjat pagar untuk masuk sekolah. Tapi hari ini mereka datang lebih pagi.
Beberapa saat kemudian, rombongan gengnya Angkasa pun tiba, mereka juga tak kalah terkenalnya dengan gennya Ratu.
Kelima pemuda tampan itu langsung membuka helmnya, membuat perhatian para siswa-siswi teralihkan dengan pesona kedua geng tersebut.
Ratu menatap Angkasa dengan senyum manis, matanya berbinar penuh harap. Namun, Angkasa justru membuang muka, menunduk seolah menghindari tatapannya. Tanpa sepatah kata, dia melangkah cepat menuju kelas bersama teman-temannya, melewati Ratu tanpa sapaan seperti biasanya.
Hati Ratu berdegup kencang, perasaan aneh merayapi dadanya. “Kenapa, ya, Angkasa?” gumamnya pelan, matanya masih terpaku pada punggung Angkasa yang semakin menjauh.
Ica yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan. “Mungkin dia lagi ada masalah, kali,” ujarnya dengan nada optimis.
Ratu mengangguk pelan, tapi keraguan tetap menggelayuti pikirannya. “Ya, mungkin…”
“Yuk, kita juga ke kelas,” ajak Ratu, berusaha mengalihkan perasaannya.
Mereka segera turun dari motor masing-masing, langkah kaki mereka bergema pelan di koridor yang mulai dipenuhi suara riuh siswa. Begitu sampai di kelasnya mereka langsung mempas tasnya.
Brak!
Brak!
Brak!
Tas mereka mendarat sempurna di atas meja masing-masing, kecuali Mika yang menaruh tasnya dengan pelan di kursi duduknya. Para murid lain cuma bisa mengelus dada saat melihat Ratu dan gengnya masuk kelas.
“Eh, ngomong-ngomong, kemarin lo kenapa kabur begitu aja? Terus gak ngabarin lagi. Gue sampai gak bisa tidur mikirin lo,” ujar Della serius , begitu sudah duduk di kursinya.
“Iya, gue udah chat dan telepon, tapi ponsel lo mati terus,” tambah Mika dengan nada khawatir.
Ica dan Ratu saling pandang lalu tertawa lepas. Della dan Mika mengerutkan kening, bingung.
“Yah! Kenapa malah ketawa, sih? Ketempelan kalian berdua!” protes Della sambil mengerutkan alis.
Ratu dan Ica segera menahan tawa mereka, mencoba menenangkan suasana.
“Gue kabur ... ya, karena malu aja. Mana mungkin gue bisa stay di sana setelah kejadian gilanya itu,” ujar Ratu sambil tersenyum tipis, wajahnya memerah sedikit.
“Jadi lo kabur karena malu, bukan karena kesal atau marah?” tanya Della dengan nada penasaran.
“Tapi, kenapa lo nampar tuh cowok? Gue hampir lupa berkedip waktu lihat dia... ah, romantis banget pokoknya,” lanjut Della sambil tersenyum geli.
Ratu menghela napas pelan. “Sebenarnya gue merasa bersalah udah gampar dia, tapi tetep aja gue kesal sama tuh cowok, dan semoga aja itu pertemuan pertama dan terakhir kita,” ujar Ratu penuh harap.
“Seharusnya lo berterima kasih sama dia, dia udah nyelamatin lo dari bapak-bapak perut buncit dan kepala plontos itu,” sahut Della sambil tertawa kecil.
“Em, cowoknya juga tampan banget,” tambah Mika dengan mata berbinar.
“Tahu ah, jangan dibahas lagi! Bikin mood gue jadi rusak,” potong Ratu sambil menggeleng pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tak berapa lama setelah itu, pintu kelas terbuka perlahan. Bu Fani melangkah masuk dengan tenang, tapi matanya sempat melirik ke arah Ratu dan teman-temannya yang sudah duduk rapi di bangku. Sekilas, senyum tipis muncul di sudut bibirnya, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun masih disimpan rapi.
Ratu yang menangkap perubahan ekspresi itu langsung merasa waspada, matanya tak lepas dari sosok guru BK itu.
"Pagi, anak-anak," sapa Bu Fani dengan suara hangat yang terasa berbeda dari biasanya.
"Pagi, Bu," balas mereka serempak, dengan rasa penasaran yang sudah mulai menggelayuti setiap sudut kelas.
“Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa saya ada di sini, ya?” tanya Bu Fani sambil menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.
“Iya, Bu,” jawab ketua kelas mewakili teman-temannya dengan suara penuh antusias.
"Saya di sini hanya ingin menyampaikan pesan dari ibu Yanti guru kimia kalian, kalau beliau tidak bisa hadir karena kurang sehat,"
Tiba-tiba suara kegirangan murid-murid membahana, “Yeay!” sorak mereka serempak.
“Stop! Saya belum selesai!” teriak Bu Fani, memaksa seluruh kelas langsung hening.
“Kalian semua harus kerjakan soal di buku cetak, halaman 33 sampai 35. Kumpulkan langsung ke ketua kelas setelah pelajaran selesai,” tegasnya.
“Yahh...,” terdengar suara protes dari sebagian murid yang malas mengerjakan tugas.
“Kerjakan dengan serius dan jangan ada yang bolos!” tegas Bu Fani sambil melirik tajam ke arah Ratu dan gengnya. “Ratu, Ica, Della, Mika, ikut saya ke ruang BK!”
Ratu buru-buru angkat bicara, “Kenapa kami harus ke ruang BK? Hari ini kami sudah datang lebih awal dan tidak membuat kesalahan.”
Ica menambahkan, “Betul, Bu, kami tidak melakukan apa-apa.”
Bu Fani menatap mereka satu per satu dengan serius. “Kalian tetap harus dihukum karena kemarin kalian bolos.”
Della segera membalas, “Tapi itu kan kemarin, Bu. Kenapa harus dihukum hari ini?”
“Ibu tidak mau dengar alasan kalian. Cepat ikut saya, atau hukuman kalian akan dilipatgandakan!” ancam Bu Fani tegas lalu melangkah pergi.
Ratu, Ica, Della, dan Mika berjalan dengan langkah enggan mengikuti Bu Fani menuju ruang BK, hati penuh kesal dan tanya.
Sesampainya di ruang BK, suasana berubah tegang. Bu Fani menunggu dengan wajah serius, memberikan arahan hukuman tanpa ampun.
“Kalian jangan anggap enteng aturan sekolah! Perilaku seenaknya itu harus ada konsekuensinya,” suara Bu Fani penuh ketegasan. “Jadi hukuman kalian kali ini ... bersihkan halaman sekolah sampai jam istirahat tiba. Tidak ada tawar-menawar!” ucap Bu Fani dengan tatapan garangnya.
Keempatnya langsung keluar tanpa pamit, membuat Bu Fani geleng-geleng kepala melihat tingkah bar-bar muridnya itu.
Ica menggenggam sapu lidi dengan malas, menghela napas panjang, “Capek banget, sih ...!” keluhnya.
Della duduk selonjoran di atas rumput, mengelap keringat di dahinya, “Aku yakin Bu Fani ini punya dendam kesumat sama kita.”
Ratu malah nyengir santai sambil berdiri, “Gue haus dan lapar, nih. Yuk, ke kantin dulu, baru balik lagi beraksi.”
Mika menyandarkan diri ke tembok dengan ekspresi ragu, “Tapi, kita belum selesai kerjaan. Kalau ninggalin begitu aja?”
Della melirik Mika dengan penuh keyakinan, “Santai aja, nanti kita bayar hutang sapu yang tertunda.”
Mereka pun berjalan santai ke kantin, meninggalkan sapu tergeletak begitu saja.
Begitu sampai di kantin suasana masih sepi hanya mereka dan penjaga kantin yang terlihat, karena memang masih jam belajar.
"Ca, pesankan bakso super pedas dan teh dingin yang banyak batu esnya," titah Ratu sambil menghempaskan bokongnya di atas kursi.
"Baik, Kanjeng Ratu Maharani, apa ada lagi?" Kelakar Ica penuh drama, lalu keempatnya ketawa lepas.
Tak berapa lama pesanan mereka datang tanpa menunggu lama mereka langsung makan dengan lahap.
“Kalau begini, dihukum ternyata ada enaknya juga, ya?” ujar Ica tersenyum puas.
“Setuju! Tapi jangan sampai ketauan Bu Fani kalau kita kabur dulu, nanti tambah masalah.” cetusnya sambil mengangkat teh dingin di tangannya.
“Besok kalau dia tanya, kita pura-pura amnesia aja,” ujar Della sambil terkekeh .
Ting! Ting! Ting!
Bunyi tanda pesan masuk terdengar bersamaan di ponsel mereka. Ica segera mengeluarkan ponselnya, matanya membelalak saat melihat isi pesan yang baru saja diterimanya.
Wajahnya berubah serius, penuh keterkejutan, membuat Ratu, Della dan Mika jadi penasaran, Ratu yang tak sabar gegas memeriksa ponselnya.
Matanya ikut melebar dan tak percaya.