Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. 6 Tahun Kemudian.
Plak!
Tamparan keras terdengar memecah keheningan ruang kerja keluarga Wijaya.
“Miska!” suara Haris meledak, membuat meja kayu besar di depannya bergetar.
“Apa yang kau lakukan dengan perusahaan ini, hah?!”
Pipi Miska memerah akibat tamparan sang ayah. Ia menggenggam erat ujung meja, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah.
“Sudah bertahun-tahun kau duduk di kursi desainer utama, tapi satupun investor tidak tertarik! Satupun klien tidak melirik karyamu! Apa gunanya sekolah di luar negeri dengan biaya selangit kalau hasilnya nol besar?!” Haris menatap tajam, napasnya memburu. “Kamu tak lebih baik dari Aluna!”
Mendengar nama itu, wajah Miska langsung menegang. Dadanya bergetar, dan emosi menyulut dirinya seperti bara yang disiram bensin.
“Aluna?!” pekiknya penuh amarah. “Jangan lagi sebut nama itu di hadapanku, Ayah! Dia bukan siapa-siapa! Dia hanya anak yang ditinggal mati ibunya! Jangan bandingkan aku dengannya! Aku putri kandungmu, bukan dia!”
Haris mengepalkan tangan, hampir melayangkan tamparan lagi, namun ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menghela napas berat, menatap Miska dengan tatapan penuh kekecewaan.
“Kau membuatku rugi besar, Miska,” ucapnya tajam sebelum mengangkat panggilan. Suaranya langsung berubah ramah ketika berbicara pada klien, lalu ia bergegas keluar, meninggalkan putrinya dalam keadaan murka.
Begitu pintu tertutup, Miska mengamuk. Semua desain yang menumpuk di atas meja kerjanya ia lemparkan ke lantai. Kertas-kertas berhamburan, beberapa robek di tangannya.
“Aluna … Aluna … selalu Aluna!” geramnya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. “Sampai kapan aku harus hidup dalam bayang-bayang dia?!”
Sementara itu, di perusahaan Pramudya.
Barra duduk di kursinya, tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari enam tahun lalu. Rambutnya mulai tak terawat, wajahnya tak lagi setampan dulu tersisa hanya sorot mata yang suram dan letih. Di depannya, Cleo masuk dengan raut wajah serius.
“Masih tidak ada kabar tentang Nyonya Aluna,” ucap Cleo lirih, menunduk. “Sudah enam tahun, Tuan … seolah Nyonya benar-benar menghilang dari dunia ini. Kami sudah menyisir banyak negara, banyak kota, tapi jejaknya kosong.”
Barra terdiam, ingatannya kembali pada sosok Aluna. Gadis yang selalu menunggunya di rumah, menyambutnya dengan senyum meski tubuhnya lelah, menatapnya penuh cinta meski balasannya hanya dingin dan acuh. Bayangan itu menghantam dada Barra, membuat napasnya sesak.
Cleo menambahkan, suaranya sedikit menahan ragu. “Dan satu hal lagi … Nona Miska membatalkan pertunangannya dengan, Anda. Dia tahu perusahaan Pramudya di ambang kebangkrutan. Katanya … dia akan menikah dengan putra pewaris lain di kota ini, yang lebih stabil dan … lebih menjanjikan.”
Barra mendengus pelan, nyaris seperti tawa pahit. “Biarkan saja,” gumamnya. “Aku tidak peduli lagi, yang kuinginkan hanya satu … temukan Aluna. Entah di mana pun dia berada.”
Cleo menatap tuannya dengan iba, namun tak sanggup menjawab. Ia tahu, meski waktu sudah berjalan enam tahun, hati Barra masih terikat pada perempuan yang pernah ia abaikan.
Di sudut lain kota, rumah sakit mewah yang dulu jarang tersentuh keluarga Ningrat kini menjadi saksi bisu keretakan keluarga Wijaya.
Kakek Haryanto, lelaki yang dulu begitu berwibawa, kini terbaring lemah di ranjang putih. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan setiap tarikan napas terasa berat. Selang infus menancap di tangannya, sementara monitor jantung berdetak pelan mengiringi usianya yang kian renta.
Sejak kepergian Aluna, sekaligus meninggal anak perempuan bertahun-tahun lalu, dunia Haryanto seakan kehilangan sinar. Cucu kesayangan yang selalu menjadi penghibur hidupnya kini tak jelas keberadaannya.
Dalam keadaan lemah, bibir tua itu bergetar menyebut satu nama yang masih tersimpan di hatinya.
“Aluna … cucuku … kau di mana sekarang? Kenapa belum juga pulang ke rumah ini?”
Air mata tipis merembes di sudut matanya, jatuh membasahi bantal. Perawat yang berjaga hanya bisa menunduk haru. Mereka tahu, satu-satunya semangat hidup lelaki itu hanyalah cucunya.
Di sisi lain, kabar mengenai sakitnya Haryanto sampai juga ke telinga Barra.
Ia berdiri di balkon kantornya yang tinggi, menatap langit mendung sore itu. Jari-jarinya menggenggam pagar besi hingga memutih.
“Aluna … kalau kau masih ada di luar sana … kakekmu butuh kamu sekarang. Aku…” suaranya tercekat, parau penuh sesal, “aku juga butuh kamu…”
Cleo yang berdiri tak jauh hanya bisa menunduk, menyaksikan bagaimana seorang pria yang dulu angkuh, kini merana dihantui penyesalan dan kehilangan.
Tokyo.
Matahari sore di Tokyo memantulkan cahaya hangat di antara gedung-gedung tinggi. Jalanan ramai, dipenuhi hiruk-pikuk orang-orang yang baru saja pulang kerja, namun di antara keramaian itu terdengar suara ceria seorang anak kecil.
“Mommy … Mommy…!” teriak seorang bocah lelaki berusia lima tahun dengan rambut hitam legam dan mata bulat tajam, persis kilau mata Aluna. Tubuh mungilnya berlari kencang, masih mengenakan seragam sekolah PAUD, membawa tas kecil bergambar dinosaurus yang berguncang-guncang.
Aluna merentangkan kedua tangannya, wajahnya berseri meski semburat lelah terlihat jelas. Saat tubuh mungil itu memeluk pinggangnya, Aluna berjongkok, menatap putranya dengan senyum penuh cinta.
“Aku lindu Mommy,” bocah itu berkata dengan suara polosnya, menempelkan pipi hangatnya di leher Aluna.
Hati Aluna seketika luluh. Dalam dekapan kecil itu, ia kembali teringat malam kelam enam tahun lalu ketika ia pergi dari rumah Pramudya. Malam hujan, air matanya bercampur dengan dinginnya cuaca, dan hanya satu keputusan berat yang ia bawa, meninggalkan Barra. Siapa sangka, beberapa minggu setelahnya, di sebuah klinik kecil di Jepang, dokter memberitahu kabar mengejutkan, Aluna tengah hamil dua bulan.
Kala itu, pikirannya kacau. Ia ingin sekali mengakhiri semuanya, menggugurkan janin yang tak pernah direncanakan, janin dari pria yang hanya memberinya luka. Namun ketika ia menatap hasil USG pertama, denyut jantung mungil yang berdegup di layar, air matanya pecah. “Kau akan hidup, Nak … Mommy akan menjagamu.” Sejak saat itu, hidupnya berubah total.
Sebuah mobil hitam berhenti di tepi jalan. Seorang pria berwajah tampan turun dengan langkah tegap. Rahangnya tegas, tatapannya dalam, dan meski terkesan dingin, senyum hangatnya selalu muncul ketika pandangannya tertuju pada Aluna dan putranya.
“Tadaima…” ucapnya lembut, bahasa Jepang yang berarti “aku pulang.”
Anak lelaki itu menoleh cepat.
"Daddy!” serunya riang, berlari kecil ke arah pria itu.
Tuan Takahashi, CEO Hoshimitsu Corporation, segera mengangkat tubuh mungil itu dengan mudah, meletakkannya di bahu sambil tertawa kecil. Matanya lalu beralih ke arah Aluna, menatapnya dengan penuh cinta, tatapan yang tak pernah Aluna dapatkan dari Barra.
Hubungan mereka memang berawal dari urusan bisnis. Dulu, Aluna sempat diajak berkolaborasi dalam sebuah proyek desain dengan Hoshimitsu Corporation. Namun, pertemuan pertama justru meninggalkan kesan berbeda di hati Taka. Ia jatuh cinta bukan pada kecantikan semata, melainkan pada keberanian Aluna menghadapi dunia seorang diri, bahkan dalam keadaan hancur.
Awalnya, pernikahan mereka hanyalah sebuah keputusan logis, memberikan sosok ayah untuk anak Aluna. Namun, waktu dan kebersamaan perlahan mengikis jarak. Taka membuktikan cintanya dengan kesabaran, dengan kehangatan, dan dengan caranya menjaga Aluna tanpa pernah menuntut balasan.
Kini, setelah lima tahun bersama, Aluna menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berbisik, 'aku pernah gagal mencintai, tapi kali ini … aku berjanji akan mencintaimu sepenuhnya.'
Anaknya tertawa riang di bahu Taka, sementara tangan kokoh pria itu menggenggam lembut jemari Aluna. Mereka bertiga berjalan di bawah langit Tokyo yang perlahan berubah jingga, membentuk siluet keluarga kecil yang penuh kehangatan.
[Luna, kondisi Kakek Haryanto kritis ... kamu harus segera menemuinya,] pesan itu dikirim oleh Andra, orang satu-satunya yang selama ini mengetahui keberadaan Aluna. Bahkan, dia yang menutupi akses Barra untuk mencari keberadaan Aluna.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡