"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekamar
Aku membuka pintu rumah sambil memanggil dengan nada yang sengaja kutinggikan.
“Bundaaa!” suaraku menggema di ruang tamu.
“Bunda ada di rumah gak?” tanyaku lagi, berharap ada balasan.
“Buuun!”
Sunyi. Tak ada jawaban.
Aku menarik napas panjang. “Gak ada kali, ya,” gumamku pelan.
Karena bunda tidak juga menyahut meskipun aku sudah teriak-teriak, aku langsung menyimpulkan kalau beliau sedang tidak ada di rumah. Mungkin lagi sibuk mengantar orderan atau mengurus sesuatu di luar.
Tanpa pikir panjang, aku melangkah masuk ke kamar lamaku. Begitu melihat kasur yang tampak bersih dan rapi, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke atasnya.
“Huhu ... kangen banget sama kamar ini,” bisikku sendiri. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi rasa nyaman yang belakangan ini terasa jauh.
“Semenjak tinggal di rumah Om Lino, aku jadi kurang nyenyak tidurnya,” pikirku sambil menghela napas. Rumah itu memang luas dan nyaman, tapi rasanya bukan rumahku.
“Apa malam ini aku nginep di rumah Bunda aja, ya?” aku tersenyum kecil. “Itung-itung ... melarikan diri, hehe.”
Tiba-tiba suara lembut terdengar dari arah ruang tengah.
“Jihan?”
Aku langsung bangkit dari kasur, menoleh ke arah pintu kamar. “Eh?”
Bunda muncul di ambang pintu, masih mengenakan mukena.
“Bunda di rumah? Aku kira Bunda lagi di luar. Tadi aku panggil-panggil, gak nyahut.”
Bunda tersenyum kecil. “Bunda baru selesai salat,” jawabnya. “Kamu ngapain ke sini?”
“Bunda, ih! Anak sendiri datang, bukannya seneng malah ditanyain gitu!” protesku, pura-pura ngambek.
Bunda mengangkat alisnya, tampak bingung. “Loh, emangnya kenapa? Bunda ‘kan cuma nanya?”
“Ya kenapa nanya gitu? Emang aku gak boleh ke sini lagi, Bun?” tanyaku sambil melipat tangan di dada.
Bunda terkekeh kecil. “Ya nggak gitu juga, Jihan. Kamu tuh ya, ada-ada aja.”
Beliau menatapku serius kali ini. “Tapi urusan di rumah udah selesai? Masak buat makan malam udah?”
Aku mengerutkan kening. “Aku baru pulang kuliah, loh, Bun.”
Berbeda dari ekspresiku, Bunda tampak tetap tenang. “Berarti belum masak dong? Terus kenapa kamu malah ke sini? Udah sana pulang, masak buat makan malam suami kamu.”
“Apa sih, Bun ....” Aku berdecak pelan sambil mengalihkan pandangan. Rasanya geli sendiri mendengar Bunda menyebut “suami kamu.”
Sebagai istri, aku memang belum terbiasa memanggil Om Lino dengan sebutan “suami.” Bagiku, dia lebih terasa seperti om atau kakak.
Tiba-tiba Bunda menatapku tajam. “Jadi, Lino udah pulang?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Udah. Bareng aku tadi.”
“Terus kenapa kamu malah ke sini, Jihan?” suara Bunda terdengar tegas.
“Sore-sore gini kamu harusnya nyiapin semua keperluan suami kamu. Air mandi, baju tidur, makanan—ya semuanya.”
Aku tertawa kecil, merasa Bunda terlalu berlebihan. “Astaga, Bunda! Om Lino tuh gak manja kayak gitu, kok. Masa semuanya harus aku siapin?”
“Bukan soal manja atau nggaknya. Itu kewajiban kamu sebagai istri dia,” balas Bunda tanpa kompromi.
Aku hanya mendesah panjang. Suasana mendadak hening. Entah kenapa aku jadi ingin bercerita soal kejadian di kampus tadi, tapi buru-buru kutahan.
“Ngomong-ngomong, malam ini aku boleh tidur di sini, kan, Bun?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bunda langsung menggeleng. “Enggak. Sana pulang ke rumah suami kamu.”
“Astaghfirullah, Bunda! Jahat banget!” seruku, pura-pura kecewa. “Masa aku gak boleh nginep di sini lagi? Aku bukan anak Bunda lagi, ya?”
Bunda memijat pelipisnya. “Gak gitu juga, Jihan. Kasihan Lino tidur sendiri.”
Aku menelan tawa yang hampir keluar. Dalam hati, aku ingin mengatakan bahwa setiap hari pun Om Lino memang tidur sendiri. Tapi Bunda kan nggak boleh tahu soal itu.
“Tapi aku kangen rumah, Bun,” ucapku dengan nada lebih lembut. “Kangen kamar ini. Sama Papa juga ....”
“Papa?” Bunda memiringkan kepalanya, bingung.
“Kan kamar ini penuh kenangan sama Papa. Dulu Papa sering tidur di sini nemenin aku. Jadi setiap aku tidur di sini, rasanya kayak Papa masih ada.”
Mendengar itu, Bunda terdiam sejenak. Raut wajahnya melunak. Setelah menghela napas, akhirnya beliau mengangguk.
“Ya udah.”
“Yes! Aku selamat!” teriakku dalam hati sambil menahan senyum lebar.
Tapi...
Aku salah besar. Perkiraan bahwa aku bisa aman dari Om Lino kalau nginep di rumah Bunda ternyata cuma ilusi belaka.
Bukannya aman, Bunda malah manggil Om Lino buat ikut nginep juga di sini! Aku masih bengong waktu Bunda dengan santainya bilang, “Istrimu kangen sama papanya. Makanya minta nginep di sini. Gak apa-apa, ya? Kamu sekalian nginap aja juga.”
Sekarang aku cuma bisa duduk di pinggir kasur sambil nahan panik. Ini gimana, woi? Masa malam ini aku harus tidur sekamar sama Om Lino?!
“Om ...,” panggilku pelan sambil melirik ke arahnya.
Om Lino duduk di kursi di sudut kamar, dengan tenang membaca raport SMA-ku yang entah kenapa tiba-tiba dia temukan di rak buku. Aku melas, tapi dia sama sekali gak merespon. Pandangannya masih terpaku pada angka-angka di lembar raport itu.
“Om Linooo!” seruku lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Dia tetap diam, kayak gak dengar apa-apa. Aku mulai frustrasi.
“Om, ayo pulang aja! Kalau di sini kita gak bisa pisah kamar. Takut ketahuan Bunda.” Nada suaraku penuh nada memohon.
Om Lino akhirnya mengangkat wajahnya sedikit, tapi bukan untuk menanggapi omonganku. Dia hanya menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada raport sialan itu.
“Kalau di rumah Om, kan, bebas,” bujukku lagi. “Ayo, Om. Sebelum Bunda muncul lagi dan liat kita mau kabur. Nanti malah disuruh nginep di sini aja.”
Aku mendekatinya, berdiri di samping kursi tempat dia duduk. “Om, gak mungkin, kan, kalau kita tidur bareng di kamar aku? Om denger gak sih? Raport itu bisa dibaca di rumah aja!”
Akhirnya dia menurunkan raport dan menatapku dengan ekspresi datar.
“Kenapa nilai Bahasa Indonesia kamu semuanya jelek?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengerutkan kening, lalu memejamkan mata sebentar. Rasanya darahku mulai naik.
“Nanti aja, Om. Sumpah, itu gak penting sekarang.” Aku mencoba tetap sabar.
“Tapi ini masalah serius,” katanya, masih dengan nada tenang tapi tajam. “Pantas nilai kamu rendah. Kamu menyepelekannya, ya?”
Aku membuka mata, menatapnya kesal. “Astaga, Om! Nanti aja masalah itu. Ayo kita kabur dulu sebelum Bunda balik ke kamar!”
Tapi bukannya berdiri atau merespon, dia malah kembali menatap raport itu lagi. “Setiap semester, nilai mata pelajaran fisika, kimia, biologi, dan matematika kamu selalu A. Tapi kenapa nilai Bahasa Indonesia kamu B bahkan ada yang C?”
“Om, nantiii!” potongku, suaraku sedikit meninggi.
“Jawab saya, Jihan,” katanya tanpa mengalihkan pandangan.
Aku mengepalkan tangan. Dalam hati aku sudah teriak-teriak. Ini orang kenapa sih, gak tau situasi banget!?
Dengan berat hati, aku akhirnya menjawab, “Om ... itu tuh takdir! Saya juga gak tau kenapa nilai saya di pelajaran itu jelek.”
Dia mengangkat alis. “Takdir? Jadi ini salah takdir, bukan salah kamu?”
“Mungkin aja gurunya gak suka sama saya!” jawabku asal.
“Jihan, saya serius,” balasnya, matanya tajam.
“Saya juga serius, Om!” seruku spontan. Aku sudah habis kesabaran.
Om Lino memandangku lebih lama kali ini. Wajahnya terlihat seperti sedang mencoba memahami sesuatu. Tapi aku tahu, di balik itu dia mungkin lagi menahan kesal.
Aku mendesah panjang. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa dia merasa tersinggung karena aku terkesan menyepelekan pelajaran Bahasa Indonesia? Mengingat dia kan dosen mata kuliah itu...
Bukan aku sengaja, loh! Aku gak menyepelekan sama sekali. Aku cuma gak ngerti kenapa pelajaran yang kelihatannya lebih “gampang” dibanding fisika, kimia, atau matematika malah jadi kelemahan aku.
Mungkin karena aku lebih terbiasa menghadapi soal-soal penuh rumus dan angka. Begitu dihadapkan sama pelajaran yang butuh pemahaman teks panjang, aku langsung merasa malas duluan.
“Om ....” Aku memotong lamunan. “Ayo kita pulang aja, please.” Aku menarik ujung lengan bajunya, berharap dia menyerah.
"Om, ayo pulang dulu—" ucapanku terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.
Tok tok tok!
Mataku membelalak. Mampus.
Pintu kamar terbuka. Suara lembut Bunda langsung memenuhi ruangan.
“Jihan dan Lino udah mau tidur?” tanya Bunda sambil melongok masuk.
Aku menelan ludah, berusaha terlihat tenang. “Kenapa, Bun?”
“Gak papa,” jawab Bunda sambil tersenyum. “Bunda cuma mau mastiin.”
Aku mencoba membaca gerak-geriknya, berharap ada celah untuk membujuk. Namun, sebelum aku sempat bicara, Bunda melanjutkan, “Tidur yang nyenyak ya kalian. Besok pagi Bunda bangunin biar kita bisa sarapan bersama.”
“Bunda tutup lagi, ya. Selamat malam.”
“Bun, kalau—” Aku mencoba memotong.
“Selamat malam, Bu,” sela Om Lino lebih cepat sambil tersenyum sopan ke arah Bunda.
Aku tertegun. Dih? Aku melirik Om Lino dengan tatapan sinis, tapi dia malah terlihat santai, seolah tidak ada yang salah.
Bunda menutup pintu, meninggalkan kami berdua di kamar ini. Aku menghela napas panjang. Ya ampun, ini sih alamat tidur sekamar beneran.
“Om kenapa nyebelin banget, sih, hari ini?!” protesku dengan nada kesal.
Dia tidak menjawab. Bukannya memberi respon, dia malah berjalan ke arah meja belajarku, menarik kursi, dan menatapku sambil memberikan isyarat dengan tangannya.
Aku mendengus. “Apa sih, Om?”
“Duduk di sini,” jawabnya singkat.
Males ribut, aku menyeret kakiku dan duduk di kursi itu. Tatapanku penuh tanda tanya. “Om mau saya ngapain sebenarnya?” tanyaku curiga.
Om Lino meletakkan tangan kanannya di atas meja, sementara tangan kirinya di sandaran kursiku. Aku seketika merasa terkurung. Terutama ketika dia mendekatkan wajahnya dengan matanya yang memandangku tajam.
“O-om mau apa?”