6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Tidak Nyaman
Lala yang tengah anteng berada di kamar dipanggil oleh sang mama untuk ke bawah. Rasanya malas, tapi dia tak bisa membantah
Tubuh Lala menegang ketika melihat Bunda Devi sudah ada di kediamannya dan tengah berbincang penuh tawa dengan sang mama. Wanita yang masih cantik itu mulai menyadari kehadiran Lala dan senyuman manis pun dia berikan.
"Bunda kangen banget sama kamu, La."
Lala hanya bisa tersenyum mendengarnya. Mama Aleeya pun ikut tersenyum melihat kedekatan ibunda dari Devan dengan sang putri. Di mana Bunda Devi sudah menganggap Lala seperti anaknya kandungnya sendiri.
"Kenapa gak pernah main ke rumah Bunda?"
Lala bingung mau menjawab apa. Hanya senyuman yang mampu dia berikan.
"Devan juga gak pernah keluar rumah akhir-akhir ini."
Melihat mimik wajah sang putri, Mama Aleeya membantu Lala menjawab ucapan bunda Devi.
"Lala lagi sibuk banget akhir-akhir ini, Jeng. Pulang saja selalu malam."
Lala bisa bernapas lega. Sang mama selalu mengerti apa yang tengah dia pikirkan.
"Masuk masa-masa skripsi pasti sibuk," tambah Mama Aleeya lagi.
Bunda Devi mengangguk mengerti. Tatapan teduhnya masih sama seperti biasanya.
"Temani Bunda Devi ke mall, ya. Soalnya Mama ada acara ke pernikahan kolega Papa."
Lala sedikit terlonjak mendengar ucapan sang mama. Ingin rasanya dia menolak, tapi dia tidak enak.
Niat hati ingin rebahan di rumah karena tidak ada tugas, Lala malah diharuskan keluar rumah menemani wanita yang tak bisa dia tolak ajakannya.
Banyak hal yang mereka obrolkan selama menemani bunda Devi belanja bulanan. Bahkan canda tawa tercipta sambil mendorong troli.
"Kapan atuh kamu main ke rumah lagi?" tanya bunda Devi ketika mereka sudah berada di sebuah restoran.
Diamnya Lala membuat raut sedih muncul di wajah bunda Devi. Lala menyentuh punggung tangan wanita itu dan mengusapnya dengan begitu lembut.
"Lala janji nanti kalau ada waktu senggang Lala main ke rumah Bunda."
"Beneran?" Lala mengangguk.
Keseruan Lala harus berakhir ketika Devan datang dengan senyum yang mengembang. Diciumnya kening sang bunda dan Devan memilih duduk di samping Lala. Sungguh membuat Lala risih.
"Cuma kamu loh La teman perempuan Devan yang dekat sama Bunda. Yang selalu Devan bawa ke rumah."
"Cuma kamu juga yang bisa buat anak bunda itu tertawa lepas."
Lala meresponnya dengan senyuman terpaksa. Dia sudah menutup kisah tentangnya bersama Devan. Ketika ada orang yang mulai membuka kembali kisah itu, dia sungguh tak nyaman.
"Lihatlah, Devan sekarang!" ujar sang bunda.
"Kamu jarang ke rumah saja malah seperti orang gak keurus. Badan kurus dan ngerokok terus."
"Apa sih, Bun?"
Ujung mata Devan melirik ke arah Lala. Berharap Lala menatapnya. Namun, harapan hanya sebatas harapan. Lala sama sekali tak memalingkan wajahnya ke arah Devan.
Hanya Devan dan bunda Devi yang terlihat antusias bercerita. Lala hanya menjadi pendengar. Padahal dia ingin segera pulang. Dia tak ingin membuka kenangan yang sudah dia simpan di dalam kotak yang sudah dia kunci dengan rapat.
"Begitu indah ya La persahabatan kita."
Lala kembali memaksa untuk tersenyum. Dia sudah mulai risih terlebih Devan terus menggeser tubuhnya agar menempel dengannya.
"Bun, Lala ke toilet dulu, ya."
Cara Lala untuk menghentikan aksi Devan. Semakin ke sini Lala merasa tak nyaman berada di samping Devan.
Menatap wajahnya di cermin toilet. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, rasa tidak enak hati selalu merasuki.
Akhirnya, Bunda Devi mengajak pulang. Namun, Lala harus ikut di mobil Devan. Rute perjalanan mereka mengantarkan bunda Devi dulu barulah mengantarkan Lala.
"Lala pesen ojol aja, Bun. Biar gak bolak-balik."
"Jangan, Lala. Biar Devan aja yang anter kamu. Bunda gak mau ngeliat anak bunda naik ojol malam-malam."
Mau tidak mau Lala harus menuruti kemauan bunda Devi. Walaupun dalam hati dia ingin menolak dengan sangat keras.
Lala tak banyak berbicara di dalam mobil. Padahal, Devan selalu melempar obrolan bahkan candaan. Respon Lala hanya sekedar tersenyum ataupun menimpali dengan kata yang irit.
Di jalanan yang tak banyak kendaraan tiba-tiba Devan menghentikan mobilnya. Lala yang berada di kursi penumpang depan sama sekali tak membuka suara.
"Kenapa, Van?" tanya sang bunda dari arah kursi penumpang belakang.
"Kayaknya bannya kempes."
Devan keluar dari mobil diikuti oleh bunda Devi. Lala menghela napas kasar sebelum dia keluar.
"Mana di sini mah area sepi," ujar Devan ketika melihat ban mobilnya kempes.
Lala masih terdiam. Hanya anak dan ibu yang saling saling bicara. Sudah setengah jam Lala berdiri di bahu jalan. Menunggu orang bengkel yang tak kunjung ada. Memesan ojol pun tak diperbolehkan.
Sorot lampu mobil yang begitu silau tiba-tiba menyorot ke arah Lala dan berhenti tepat di depan Lala. Pandangan mereka bertiga tertuju pada mobil hitam tersebut.
"Pak Brian," ucap Lala pelan ketika seorang pria yang masih memakai jas serta kemeja tadi pagi.
Pria itu menghampiri Lala dengan wajah datarnya.
"Saya sudah hubungi bengkel."
Devan mulai menjelaskan di saat Brian tak berkata apapun. Malah Nektra tajam Brian tertuju pada Lala yang membeku. Brian mulai menatap ke arah langit malam yang sudah memerah. Dan diikuti oleh Lala. Ponselnya bergetar dan segera dia jawab panggilan dari sang papa.
"Jangan kemalaman pulangnya, La. Bakalan hujan lebat disertai angin."
"Iya, Pa."
"Segera pulang!"
"Iya. Lala arah pulang kok."
Lala menghela napas kasar setelah sambungan panggilan dari papanya berakhir. Lala mulai menatap ke arah Brian yang mengangguk pelan.
"Bun, Lala pulang bareng teman Lala, ya. Soalnya Papa udah nyuruh Lala untuk pulang."
"Pulang bareng gua aja, La. Sebentar lagi orang bengkelnya datang kok." Devan masih bersikukuh.
"Ini udah setengah jam. Ditambah mau hujan juga. Mau sampai kapan nunggunya?"
Bunda Devi terdiam mendengar ucapan Lala yang sedikit meninggi. Lala mengambil tasnya yang ada di dalam mobil. Lalu, mendekat ke arah bunda Devi dan mencium tangan wanita tersebut dengan begitu sopan.
"Bunda mau tetap di sini atau mau pulang bareng Lala dan teman Lala?"
"Bunda akan temani Devan, La."
"Ya udah kalau gitu. Lala duluan ya, Bun."
"Hati-hati. Kalau ada waktu main ya ke rumah Bunda."
Lala mengangguk dengan seulas senyum. Brian ikut menganggukkan kepala sebelum dia menuju mobil. Disambut senyuman oleh bunda Devi.
Mimik wajah Devan terlihat begitu kesal ketika melihat Brian berjalan berdampingan dengan Lala. Apalagi ketika dia melihat Brian membukakan pintu mobil untuk Lala. Dia merasa kalah.
Dua orang yang tengah duduk di atas motor tak jauh dari mogoknya mobil Devan menganggukkan kepala mereka dengan pelan ke arah Brian membalasnya dengan senyum yang teramat tipis.
"Kecurangan kamu saya bayar dengan kekalahan telak."
...**** BERSAMBUNG ****...
Tembus 50 komen up lagi nih ..
next... pasti Lala makin posesif sama mas Bri , apalagi kalau ada feeling yang kurang baik .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
mkasih Thor Uda double up.....
semoga up lagi
semangat