Kazuya tak pernah merasa lebih bersemangat selain saat diterima magang di perusahaan ternama tempat kekasihnya bekerja. Tanpa memberi tahu sang kekasih, ia ingin menjadikan ini kejutan sekaligus pembuktian bahwa ia bisa masuk dengan usahanya sendiri, tanpa campur tangan "orang dalam." Namun, bukan sang kekasih yang mendapatkan kejutan, malah ia yang dikejutkan dengan banyak fakta tentang kekasihnya.
Apakah cinta sejati berarti menerima seseorang beserta seluruh rahasianya?
Haruskah mempertahankan cinta yang ia yakini selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riiiiee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Dunia Baru
"Kazuya duduk di meja ini ya, nanti tolong kasih tau juga buat Antar mejanya di bagikan pojok itu." Terang salah satu karyawan menunjuk meja yang akan dijadikan tempat duduk Kazuya untuk beberapa bulan ke depan.
Posisi kubikelnya dengan Antar berdekatan meski dipisahkan oleh tiang pembatas kecil. Letaknya pun cukup strategis berada di pojok menghadap kearah meja para karyawan. Kubikel barisan mereka hanya terdiri dari 4 menyamping, dan hanya terisi untuknya dan Antar. Kazuya duga tempat ini memang diperuntukkan untuk anak magang. Di samping pojok luar sari meja nya saja ada mesin fotocopy.
Kazuya berpikir apa ia nanti kerjanya tidak jauh-jauh dari mesin itu ya. Soalnya ada beberapa obrolan teman-temannya di kampus yang mengatakan demikian ketika melaksanakan magang. Namun spekulasi buruk itu langsung ia tepis, tak mungkin perusahaan sebesar ini tidak memberikan ilmu besar kepada anak magang sepertinya. Apalagi jalan masuk sini termasuk sulit prosesnya.
"Kazuya, ini bahan yang kemungkinan besar bakal jadi teman kamu untuk beberapa bulan kedepan," seorang karyawan lain menghampirinya memberikan setumpuk kertas.
"Makasih, Bu." Kazuya mengucap sopan, sambil mengambil tumpukan kertas itu.
"Ihhh jangan panggil ibu, dong." Protesnya tak terima. Sama seperti karyawan lelaki tadi yang tidak mau di panggil bapak.
Karyawan lain yang mengantar Kazuya menunjukkan lokasi mejanya tertawa keras. "Hahahaha. Muka tidak bisa bohong, Han."
Wanita yang dipanggil Han itu, langsung mengambil kaca kecil dari saku celananya. Mengamati wajahnya apakah benar yang diucapkan rekannya. "Nggak kok! Muka gue kayak masih anak belasan." Cengirnya percaya diri.
"Kalo belasan mah Kazuya nggak mungkin manggil Lo ibu kalikkk." Godanya.
"Kazuya manggilnya jangan ibu ya, mbak saja. Mbak Hana." Ucapnya lemah lembut. Langsung berubah nada bicaranya dari sebelumnya ketika berkata kepada sang rekan.
Kazuya menerima uluran tangan itu, senyumnya ikut merekah. Bersyukur ternyata banyak orang yang menyambutnya dengan baik. Ketakutannya di awal perlahan menghilang. "Ohh iya mbak, salam kenal mohon bimbingannya ya. Maaf juga tadi manggilnya ibu." Sesalnya tulus merasa bersalah.
"Nggak papa kok, dimaklumi. Pasti kamu berusaha sopan kan, ya. Tapi untuk di kantor ini apalagi di divisi kita ini cukup manggil mbak atau mas saja, kakak, atau abang juga boleh, sih. Soalnya kebanyakan masih pada daun muda." Kekehnya centil sambil mengibaskan rambut.
Tentu hal tersebut membuat tawa kecil Kazuya timbul. "Iyaa mbak, makasih atas informasinya."
"Tapi kamu juga harus lihat-lihat Kazuya. Kalo jabatannya udah tinggi atau mukanya udah keliatan berumur," karyawan yang belum diketahui Kazuya namanya itu berbisik kearah Kazuya, seolah sedang membeberkan rahasia penting. "Kamu jangan panggilnya mas atau mbak. Pak atau ibu biar lebih sopan."
Kazuya mengangguk-angguk menerima informasi penting itu. Dan mengingatnya dikepala untuk menerapkan hal tersebut.
"Kayak misalnya pak Bejo, ya itu pasti dipanggil pak. Nggak mungkin kamu tiba-tiba manggil mas yang ada di labrak istrinya lagi." Terangnya lagi.
Kazuya sampai merinding membayangkan ia di labrak istri pak Bejo hanya karena salah menyebut panggilan.
"Terus pokoknya kamu liatin aja deh yang muka-mukanya aga berumur kek yang dua orang di pojok itu," tunjukya kearah pintu masuk. "Kamu manggilnya pak Beni yang duduk deket pintu luar, sebelahnya pak Saiful."
Kazuya mengikuti arah pandang sesuai perintah yang diucapkan. Ia mengangguk berusaha merekam bentuk wajah dan nama orang tersebut.
"Udahh.. udahh.. jangan lama-lama Lo liatin, itu dua bapak-bapak sangat peka kalo di liatin lagi serius begitu. Ntar Lo di komennya lagi. Pokoknya gue kasih tau disini orang-orangnya agak serius, tapi masih oke juga kok kalo diajak becanda." Jelasnya lagi memberitahu. "Ehhh sorry ya malah jadi Lo gue, nggak papa deh, biar nggak kaku-kaku amat, manggilnya Lo gue aja deh. Lagian santai aja kalo sama gue, Kazuya."
Kazuya yang sempat sedikit tegang mendengar penuturan bagaimana divisi ini bekerja agak merasa aman, apalagi melihat dua orang yang berada di depannya ini masih terbilang sangat santai, dan enak diajak berkomunikasi.
"Iya mbak, panggil aku Zuya aja biar lebih enak nggak panjang-panjang nyebutnya. Tapi senyaman mbak aja sih gimananya." Ucapan Zuya memberi saran.
"Ohh iya Zuya lebih enak," ucapapnya menyetujui. "Gue sampe lupa perkenalan loh daritadi nyerocos aja." Cengirnya.
"Kan emang begitu hidup, Lo. Nggak jauh-jauh dari nyerocos kalo nggak ya ngemil." Sarkas Hana.
Ia mengabaikan ucapan Hana, berfokus untuk memperkenalkan dirinya. "Nama gue Eliana, pokonya Lo boleh panggil mbak Liana, mbak El, mbak elia, atau mbak Lian juga boleh." Senyumnya terpancar menyala.
"Zuya, panggil dia mbak Eli aja udah itu yang paling bener." Zuya yang awalnya sudah siap memilih nama panggilan yang disebutkan sebelumnya mendadak menatap Hana dan Eliana bingung.
Eliana menyengir, "Yaudah mbak Eli juga bole sihh, biar sama kek panggilan di kantor. Walaupun sejujurnya gue kurang suka, lebih cocok di panggil Liana nggak sih? Biar lebih terkesan hot seksi gitu." Ucapnya dengan nada dibuat-buat menggoda.
"Udah deh, lanjut kerjaan banyak deadline kita. Daripada menyebarkan informasi omong kosong itu." Pungkas Hana menghentikan tingkah Eliana yang sudah menjadi-jadi.
Raut Eliana berubah cemberut, mengingat akan deadline kerjaannya yang begitu banyak.
"Oke deh bye Zuya. Kalo Lo butuh apa-apa tanya aja. Tenang divisi ini nggak seserem itu kok, masih ada santainya. Tapi nggak sesantai divisi marketing." Terangnya lagi memberi informasi tambahan sebelum beranjak.
"Yeeuy! Lo mah bandingin sama divisi marketing yang managernya sekelas pak Aro yang super humble itu, mana bisa di sandingkan sama divisi serius kita ini. Gue aja kalo bisa udah ngajuin pindah divisi kesana dari lama, sayangnya nggak bisa sih." Bantah Hana tidak terima. Banyak karyawan yang ingin berada di divisi marketing dengan dibawah pimpinan seorang Aronio. Mengingat kebanyakan manager yang memimpin divisi sudah sepuh dan berumur, terkadang pikiran mereka pun sudah tidak sejalan dengan para karyawan. Kalo kata Eli sih 'kolot'.
Kazuya mencerna informasi sekilas itu. Memang keramahan Aronio sudah tidak diragukan lagi, ia menjadi saksi beberapa tahun ini. Tapi ia baru tahu jika seorang Aronio sehumble itu kepada karyawannya dan banyak sekali yang ingin bekerja dibawah pimpinannya.
•••
"Woyyy, ada info nih!" Teriak Boim dengan suara lantang, membuat seluruh ruangan tiba-tiba terhenti sejenak. Para rekan-rekannya yang sudah bersiap untuk beranjak keluar, menghentikan langkah mereka dan langsung menatap Boim dengan penuh rasa penasaran.
"Info apaan sih, im," Ucap Rama malas, dirinya sudah berada didepan pintu menyempatkan diri berhenti untuk mendengarkan info tersebut. "Buruan im, info apaan." Gregetnya.
"Kalian tauuuu??" Boim menggantungkan kalimatnya, memberikan jeda panjang yang sengaja dia buat untuk memperburuk rasa penasaran di antara rekan-rekannya. Semua orang yang tadinya sudah siap untuk beranjak pergi, kini kembali berdiri dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutan dari Boim yang sudah membuat suasana semakin tegang.
"Cepet aja, nyet," maki Sinta kesal, jelas terlihat ia mulai kesal dengan kelakuan Boim yang suka membuat orang menunggu terlalu lama. Apalagi melihat raut Boim yang dibuat-buatnya agar orang-orang penasaran.
"Ihhh mbak Sinta nggak boleh ngomong kasar, ntar mas Rama nggak suka loh." Sinta melemparkan tatapan nyalang kepada Boim. Dirinya siap meraung protes, tapi terurung karena mendengar suara Aronio.
"Informasi apaan, sih im. Keknya heboh banget." Tanya ikut penasaran. Tak sengaja mendengar obrolan rekan-rekannya.
"Ehh pak Aro. Tapi kayaknya buat pak Aro informasinya nggak hots lagi sih. Bapak kayaknya mah dah tau, deh." Boim menerawang untuk menerka-nerka dugaannya.
"Buru aja kali, Im. Orang-orang udah pada lapar ini, pengen makan siang," ucap Rama dengan nada kesal, matanya melotot ke arah Boim yang seolah-olah menikmati ketegangan yang tercipta
Boim mendengus mendengar ucapan Rama. "Informasi itu loh pak, ada anak magang di divisi sebelah—pak Bejo."
"Ohh, yaa? Saya malah nggak tahu lo ada informasi itu." Aronio mengernyitkan alisnya, sedikit terkejut dengan pemberitaan tersebut. "Padahal sudah lama loh divisi sebelah nggak menerima anak magang, sama kayak divisi kita," lanjutnya, matanya melirik ke arah Boim dengan sedikit rasa ingin tahu.
"Nahhh itu pakk! Makanya saya juga kaget. Mana katanya anak magang yang cewe manis banget lagi." Cengirnya. Point dari informasi itu adalah ini.
"Lo mah, kalo ada yang bening-bening dikit aja langsung." Sungut Sinta.
"Yeee Lo mah sin, kalo liat cowo bening juga begitu. Nohh, katanya juga ada dua anak magang yang satu cowo lulusan luar negeri, mukanya cakep banget. Lo liatnya juga pasti langsung tuh iler ngalir." Balas Boim sewot.
"Udahh.. udahh.. pada nggak mau makan siang nih? Pada laper kan?" Suara Aronio terdengar tegas, menghentikan kehebohan yang dibuat Boim. Beberapa karyawan langsung menoleh, tertarik pada topik yang sempat mencuri perhatian. Banyak yang penasaran tentang sosok anak magang yang disebut-sebut oleh Boim, apakah benar se manis dan secantik itu? Tak hanya mereka, Aronio pun ikut penasaran. Sejak kapan divisi Pak Bejo mulai menerima anak magang? Tumben sekali
......................