NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:857
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15. TRAUMA

...“Ketika cahaya tak berpendar....

...Ketika senandung tak lagi terdengar....

...Atau ketika rasa takut menguar....

...Akankah aku dapat merasa aman,...

...saat kau mengulurkan tangan yang tersembunyi?”...

Mataku perlahan terbuka saat merasakan terik matahari yang merembes masuk dari jendelaku. Aku terdiam sesaat, mencoba mengingat mimpi apa yang telah kualami dalam tidurku. Hingga akhirnya aku teringat kalau ada satu kejadian yang ternyata bukan mimpi, melainkan benar-benar terjadi.

Penguntit itu berhasil masuk ke dalam rumah semalam.

Lagi-lagi pria itu berusaha menangkapku, membawaku dengan paksa entah mau dibawa kemana. Aku tidak tahu apa yang pria itu inginkan, aku bersumpah tidak pernah mengenal pria itu, tapi kenapa ia sampai melakukan hal senekad itu. Terang-terangan datang ke tempatku tinggal dan mencoba melakukan hal gila.

Pria berpakaian hitam-hitam itu menariku dengan paksa keluar rumah. Menggeretku ketika aku berusaha bertahan dengan memegang bingkai pintu. Aku meronta dan menendang-nendang ke arahnya, mencoba menjauhkan pria itu dariku agar aku bisa melarikan diri.

"Jadilah gadis manis dan ikut saja, dengan begitu kamu nggak akan terluka. Jangan buat aku sampai menggunakan kekerasan lebih dari ini," katanya tidak waras.

Mana mungkin aku menyerahkan diri begitu saja padanya dan ikut dengannya dengan suka rela. Aku tidak gila dan masih berpikir waras!

Aku berteriak minta tolong hingga suaraku serak, merasa kesal karena rumahku cukup jauh dengan tetangga sekitar. Tenagaku semakin habis saat berusaha menghindari pria itu, tapi aku tidak ingin menyerah dan membuat pria yang tidak kutahu maksudnya itu menang. Aku tidak kenal dia, dan kurasa ia bukan hanya sekedar penguntit semata. Ia penculik.

Aku menendangnya dan berlari menuju pagar, berusaha untuk pergi ke tempat ramai dan meminta tolong.

"Akh!" Aku berjengit sakit ketika rambutku ditarik dengan keras.

Pria tersebut entah bagaimana bisa berada di belakangku dengan cepat. Menarik rambutku dan menahanku untuk lari dengan menggamit leherku dengan lengan dalam. Membungkam mulutku agar tidak berteriak dan memancing perhatian orang sekitar.

Oh, rasanya tubuhku lemas karena rasa takut. Air mataku tak dapat lagi kutahan ketika tak ada celah untukku melarikan diri. Pria ini terlalu kuat. Ia terus menarikku ke jalan. Bisa kulihat ada sebuah mobil hitam terpakir di ujung jalan yang remang.

Siapa pun, tolong aku! teriakku dalam hati dengan teramat sangat.

Semua berlangsung cepat, saking cepatnya hingga aku tidak tahu apa yang terjadi. Seseorang menarik pria penguntit itu dariku, menendangnya menjauh hingga kudengar suara jatuh yang keras.

Aku terduduk dan melihat apa yang terjadi. Tampak Bos Juna memukuli pria itu tanpa ampun. Amarah terpancar jelas di paras pria berkacamata itu. Sampai dua orang berseragam menahan Bos Juna agar tidak terus memukuli pria tersebut.

Aku baru menyadari ada suara yang mengganggu pendengaranku, suara yang membuatku lega. Sirine polisi, ada polisi yang datang. Dua pria yang menahan Bos Juna itu bagian dari polisi yang datang.

Dengan cepat para polisi lainnya berhamburan mengelilingi sang penguntit yang telah terkapar di tanah, menodongkan pistol mereka ke arah pria pria tak kukenal itu, menyuruhnya untuk menyerah jika tidak ingin tertembak.

“Ayuni?!” suara familier yang kusesali karena telah mengusirnya tadi.

“Mas Juna?” suaraku serak, tenggorokanku sakit karena berteriak amat banyak untuk meminta pertolongan.

Pria itu berlari ke arahku, memelukku erat hingga bisa kurasakan perasaan lega dan aman saat berada dalam kukungan tubuhnya. Kuhirup aroma tubuhnya untuk menenangkan diri dan meyakinkanku kalau aku sungguh telah aman sekarang.

Elusan lembut kurasakan di kepala dan juga punggungku, menenangkanku karena ia tahu betapa takutnya aku setelah apa yang terjadi. Berkali-kali ia mengatakan kalau semua sudah aman, bahwa aku akan baik-baik saja. Ia bahkan meminta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat hingga aku harus mengalami pertarungan kecil dengan pria gila itu.

"Kamu udah aman, tenang, ya. Mas udah di sini. Jangan takut. Maaf Mas datang terlambat," ucapnya dengan nada selembut beledu. Memelukku begitu erat seraya terus mengelus kepalaku.

Ia datang saja aku sudah bersyukur. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku jika ia menolak untuk datang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut teman-temanku bahkan kakakku ketika mereka tidak menemukanku dimanapun. Membayangkan hal buruk itu terjadi saja sudah membuatku kesulitan bernapas.

Mas Juna membantuku berdiri, menyeimbangkan tubuhku agar tidak menghantam tanah nan keras. Kulihat pria penguntit itu berada dalam tawanan tiga polisi. Tangannya ditahan dengan borgol, membuatku merasa aman karena penjahat itu telah tertangkap. Walau aku masih penasaran kenapa ia berusaha menculikku hingga dua kali.

PIkiranku kembali ke saat ini, aku ingat sekali semalam Mas Juna menemaniku hingga dua temanku pulang. Ia senantiasa di sampingku dan enggan beranjak pergi. Ia terus menenangkanku, mengusir ketakutan yang masih merayapiku.

Dan sekarang di sinilah aku. Terbaring lemah saat matahari sudah tinggi di langit sana. Ketika pagi tiba, badanku terasa sakit semua seolah akan hancur jika aku bergerak. Tubuhku rasanya panas seperti terbakar, serta peluh yang terus keluar dari pori-pori kulitku. Rasanya tidak nyaman.

Dini dan Rini yang merasa menyesal karena tidak mengangkat teleponku semalam tidak ingin meninggalkanku untuk bekerja. Mereka tidak ingin sesuatu seperti itu terjadi lagi, dan situasiku masih dibilang rawan.

Sayangnya, aku tahu betapa banyak pekerjaan yang menumpuk minggu ini dan itu harus segera selesai demi terbitnya majalah mingguan. Setelah paksaan dan juga memohon berkali-kali, akhirnya mereka pergi bekerja. Mereka berdua mengatakan untuk langsung menelepon jika sesuatu terjadi, dan mereka akan memastikan akan langsung mengangkat teleponnya.

Kuangkat tanganku ketika merasakan sesuatu di dahi, handuk yang telah kering dan hangat. Mataku pun melihat mangkuk plastik berisi air di atas meja di samping tempat tidurku. Aku tidak tahu kapan mereka menyiapkan semua itu. Kurasa aku tertidur saat mereka berangkat, karena aku juga tidak ingat melihat mereka pergi kerja.

Kudengar suara pintu terbuka, suara langkah kaki perlahan tertangkap telingaku. Rasa takut yang semalam kurasakan menguar kembali, membuatku bangun dengan cepat dari posisi berbaringku. Kepalaku berdenyut kuat karena bangun tiba-tiba. Namun, tidak kuindahkan terlalu lama karena aku segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.

Dengan piyama tidurku, dan tubuh tak terlalu bertenaga kuberanikan diriku untuk melihat apakah penguntit itu datang lagi. Suara-suara berisik terdengar dari arah dapur, seseorang nampaknya tengah mencari sesuatu. Apakah pisau untuk mengancamku? Kuyakin Dini dan Rini masih ada di kantor, ini baru tengah hari dan tidak mungkin mereka pulang.

Kakakku? Itu juga tidak mungkin. Dini dan Rini memang meneleponnya semalam dan memberitahu apa yang terjadi, tapi Kak Indra mengatakan kalau ia berada di pulau seberang untuk mengurus pekerjaannya. Dan membutuhkan paling cepat dua hari untuk ia bisa datang ke rumah ini.

Aku tersentak dan spontan menjerit kalut ketika seseorang memegang pundakku.

“Ayuni, Ini saya, Mas Juna. Hei, tenang saya bukan penjahat.”

Mendengar siapa yang bicara, tubuhku langsung lemas dan terduduk di lantai. Jantungku berpacu kencang, darahku mendesir dengan cepat di seluruh tubuhku. Kurasakan kepanikan melanda, rasa takut memuncak begitu saja. Tubuhku kembali gemetar dan menyedihkannya aku menangis. Setakut itukah aku atas kejadian semalam?

“Maaf, Mas nggak bermaksud buat kamu takut. Mas kira kamu masih tidur tadi makanya Mas masuk ke rumah setelah izin dari teman-teman kamu ditambah kunci pintu kamu juga lagi rusak,” jelasnya yang bersamaan memelukku. Terlihat jelas kalau ia berusaha menenangkanku. Sama seperti semalam ia menepuk-nepuk lembut punggungku dan mengelus kepalaku hingga aku tenang.

Aku tidak tahu kenapa aku sekacau ini. Bagaimana bisa aku terlihat menyedihkan hanya karena kejahatan yang kualami semalam? Mungkinkah karena rasa takut akan kehadiran orang itu masih membekas. Bayang-bayang bagaimana pria itu menarikku dan mengcengkeramku untuk ikut dengannya membuatku tidak bisa berhenti ketakutan. Sikap kasar yang tidak pernah kudapatkan seumur hidupku.

“Tenanglah, kamu baik-baik aja. Kamu cuma ngalamin traumatik pasca kejadian semalem. Kamu harus tenang biar nggak mudah takut sama kehadiran orang lain nantinya,” kata Mas Juna yang seolah menjawab pertanyaan dalam benakku barusan. Seolah ia mengerti aku mungkin khawatir akan sikapku yang berlebihan layaknya orang sakit jiwa.

Aku tidak mengatakan apapun, hanya diam seribu bahasa karena mencoba untuk menguasai diriku kembali. Berusaha keluar dari jurang ketakutan yang memuakan ini.

Mas Juna mengiringku kembali ke kamar, membantuku berbaring dan menyelimutiku. Ia tidak berhenti mengatakan banyak kata untuk membuatku tenang, terus menemaniku. Aku benar-benar bersyukur karena aku tidak sendirian di saat diriku ketakutan seperti orang gila. Senang karena ada yang menenangkanku dengan ucapannya nan lembut.

"Mas nggak akan kemana-mana, kamu aman," katanya yang tak henti demi dapat membuatku tenang dari segala ketakutan ini.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!