Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nara Penasaran
Nara berjalan perlahan di atas tanah berbatu yang diselimuti kabut tipis. Udara di tempat ini terasa aneh, terlalu dingin meski matahari masih menggantung di langit. Dia tiba di sebuah area yang berbeda dari sekitarnya.
Di tengah tempat itu, terdapat struktur melingkar. Energi samar memancar dari retakan besar di bagian atasnya, seperti sesuatu yang pernah megah tapi kini terluka.
Dia mendekat dengan hati-hati. Tatapannya lekat tertuju pada kilauan sinar yang keluar dari retakan di struktur tersebut.
"Apa ini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Suara dengungan rendah membuat tempat itu terasa hidup. Nara merasakan sesuatu yang tidak biasa, tapi dia tidak bisa memastikan apa itu.
Nara mengulurkan tangan, mencoba menyentuh bagian yang tidak retak. Namun, energi yang memancar dari benda itu terasa menusuk, membuatnya menarik tangan dengan cepat.
"Awh.."
Kenapa rasanya kaya... kesetrum? pikirnya bingung. Tempat ini jelas berbeda dari apa pun yang pernah dia lihat di dunia bayangan.
"Nona, hati-hati. Apakah anda terluka?"
"Aku tidak apa-apa."
Berdiri beberapa langkah dari struktur itu, Nara mencoba mengamati ukiran-ukiran di permukaannya. Pola rumit seperti lingkaran dan garis-garis bersinggungan membentuk sesuatu yang tampak seperti simbol. Beberapa ukiran bahkan bersinar samar, seolah memproyeksikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh seseorang yang tahu cara membacanya.
Lalu, pikirannya kembali ke percakapan aneh tadi pagi. Pria menyebalkan yang dia temui sempat melontarkan beberapa kalimat yang membuatnya kesal. Tapi sekarang, setelah dia pikirkan lagi, mungkin itu bukan hanya sekadar omong kosong. Kata-katanya terasa seperti sebuah kode penyampaian, dimana Nara harus bergerak apa yang laki-laki itu tidak perbolehkan.
Dia bilang jangan ke timur, dan saat aku pergi ke timur, aku malah menemukan ini. Apa jangan-jangan dia sebenarnya ingin memberi informasi dengan cara begitu agar posisinya aman?
Semakin dipikirkan, semakin jelas bahwa pria itu seperti sengaja memberikan petunjuk tanpa benar-benar menjelaskan. Apa dia tahu soal ini? Nara bertanya pada dirinya sendiri.
Dengan enggan, Nara akhirnya menyimpulkan bahwa dia harus menemui pria itu lagi. Meski menyebalkan, pria itu adalah satu-satunya petunjuk yang dia punya sekarang. Dia berdiri, menghela napas panjang.
...***...
Raze tahu Nara sedang menjalankan misinya mencari bukti, dan entah kenapa, rasa khawatir terus menghantuinya. Dia sudah berencana untuk menyusulnya, memastikan perempuan itu tidak menghadapi bahaya sendirian. Dengan langkah yang ditemani api cemburu terhadap Arven, Raze mencoba keluar dari istana, melompat terbang dari satu tempat ke tempat lain, tapi... sebelum dia sempat melompat, seorang kasim tiba-tiba muncul, membungkuk hormat di belakangnya.
"Yang Mulia Raja memanggil Anda," kata kasim itu sopan, tetapi nadanya tidak menyisakan ruang untuk penolakan. Raze menghela napas panjang, menahan rasa frustrasi yang tiba-tiba muncul. Waktu panggilan ini benar-benar tidak tepat. Ia pun tidak bisa membantahnya. Raze tidak punya pilihan lain selain mengikuti protokol.
Dengan langkah berat, Raze menuju ruang dimana Raja mencurahkan tenaga dan pikiran. Di sepanjang jalan, pikirannya masih tertuju pada Nara. Apa dia baik-baik saja? Apakah dia sedang berduaan dengan Arven? Raze menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan kekhawatiran itu. Dia harus fokus untuk saat ini.
Sampai dia tiba, Raja Veghour duduk di kursi, ditemani Ratu Baily yang duduk bersebelahan sembari memijat pelan telapak tangan sang Raja. Wajahnya penuh wibawa seperti biasa.
"Raze," suara Raja menggema di ruangan besar itu.
"Ada hal penting yang perlu kau tangani segera." Imbuhnya. Nada suaranya tegas, tidak meninggalkan ruang untuk protes. Raze berdiri tegak, mencoba menyembunyikan kekecewaannya.
"Apa yang harus aku lakukan, Paduka?" tanya Raze, meskipun dalam hati dia masih berharap ini hanya urusan kecil yang bisa segera dia selesaikan. Tapi Raja menatapnya serius, membuat harapan itu memudar.
"Ada laporan tentang pergerakan yang mencurigakan di wilayah perbatasan. Aku ingin kau mempersiapkan tim untuk menyelidiki ini. Ini tugas penting yang tidak bisa ditunda."
"Mohon maaf Paduka, untuk sementara ini, aku harus membereskan sesuatu. Kalau bisa.. aku akan turuti perintah Paduka setelah urusan ini selesai." jawabnya. Sang Raja membuang nafas kasar.
"Kau hanya ku perintahkan membentuk tim, bukan menjadi pemimpin tim yang akan pergi ke perbatasan. Apakah hanya tugas kecil ini saja, kau merasa keberatan?"
Raze mengepalkan tangan di samping tubuhnya, berusaha menahan emosi. Dia ingin mengatakan bahwa dia punya prioritas lain, tetapi dia tahu tugas dari Raja adalah kewajiban yang tidak bisa diabaikan.
"Aku akan segera membentuk tim detik ini juga, Paduka."
"Pergilah. Laporan tim tersebut aku minta sebelum matahari menuju peraduan."
"Baik Paduka."
Raze berlalu meninggalkannya ruang kerja sang Raja. Dengan perasaan dongkol yang menyelimuti, Raze bertemu Arven yang sedang santai membaca buku.
Dasar bocah tua! lihatlah, dia sama sekali tidak ada gunanya. Raze menggerutu.
Sementara dibalik kepergian Raze, Ratu Baily yang masih menemani Raja, berperang dengan pikirannya sendiri. Beliau sudah tahu, bahwa Arven adalah dalang dari pingsannya seorang pelayan tempo hari.
Apa yang sedang direncanakan oleh Arven?
...***...
Langkah Nara melambat saat mendekati gerbang istana. Selama perjalanan kembali, Nara terus berharap bisa bertemu lagi dengan sosok pria yang ia temui tadi pagi meski setengah dari dirinya merasa itu ide buruk.
Saat memasuki aula utama, matanya langsung tertuju pada sosok familiar yang berdiri di ujung ruangan. Pria itu! Dia sedang berbicara dengan seorang pejabat istana, terlihat santai dengan postur tegap dan aura percaya diri yang tidak salah lagi. Nara berhenti di tempat, hanya bisa memandang dari kejauhan. Perasaan bingung bercampur kesal memenuhi dirinya. "Kenapa dia ada di sini?" pikirnya.
"Hei, dia siapa?" tanya Nara kepada pelayannya sambil menunjuk pria itu dengan dagunya. Tatapannya serius, seolah meminta jawaban pasti.
"Bukankah itu... pria yang kita temui tadi pagi? Jangan bilang dia orang istana," tambahnya, suaranya sedikit menekan. Pelayan itu melirik ke arah pria yang dimaksud, lalu kembali menatap Nara dengan ekspresi heran.
"Itu Pangeran Arven, Nona," jawab pelayan itu dengan nada hormat, seperti mempertanyakan kenapa Nara tidak tahu.
Jantung Nara seakan berhenti sejenak. Pangeran Arven? Dia memutar ulang ingatannya tentang perkataan Uto. Salah satu pangeran adalah yang menarik dirinya ke tempat ini. Nara merasa.. Arven adalah orangnya.
Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang.
Aku harus menemuinya.
.
.
Bersambung.