Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. pertengkaran
"Bajingan!" desis Arya kasar dan langsung berdiri tegak.
Adrian tidak peduli, bahkan berpura-pura tidak dengar. Ia hanya fokus kepada Raya, meminta wanita itu untuk masuk dalam mobilnya. Dan Arya, seperti orang bodoh memperhatikan kemesraan mereka.
Dengan tangan terkepal, Arya maju dan melayangkan pukulan. Namun, hal itu hanya seperti nyamuk terbang, untuk Adrian yang menguasai bela diri. Dengan sigap, Adrian menangkis serangan Arya dan kaki kanannya, langsung memberikan tendangan tepat dikaki pria itu.
"Sialan!" teriak Arya, merasa malu bercampur amarah yang sudah mencapai batas maksimal. "Kau siapa? Kenapa ikut campur?"
"Aku?" Adrian tersenyum mengejek, "aku dokter Adrian, kekasih Raya. Sebaiknya, kau pergi, sebelum kau bertambah malu."
"Kekasih? Hahaha ...." Arya tergelak. "Dia mantan istriku dan kami punya anak. Apa kau tidak masalah mengencani wanita yang sudah pernah menikah dan membawa anak?"
"Lalu, bagaimana denganmu? Bukankah, kau juga menikahi wanita yang sudah pernah menikah?" Adrian langsung mengembalikkan kalimat Arya dan pria itu langsung tertohok. "Kalian sudah berpisah, jadi tidak ada cerita lagi. Akan sangat memalukan, jika kau ikut campur urusan mantan istrimu."
Arya hanya bisa mematung seperti orang bodoh. Kata-kata pria itu, seakan langsung membungkam mulutnya untuk membalas. Ia bahkan, tidak bisa melakukan apa-apa, selain memperhatikan pria itu pergi membawa Raya. Dan lucunya, Arya hanya bisa mengepalkan tangan, sembari menahan amarah yang membuncah.
"Terima kasih, Tuan." Raya mengucapkan kalimat, dengan kepala tertunduk.
Adrian menoleh dengan wajah syok. Kata "Tuan" mengisyaratkan, bahwa mereka kini benar-benar menjadi orang asing. Bahkan, wanita yang duduk disebelahnya, sudah tidak tersenyum. Ia hanya menatap lurus, membuat suasana seperti dalam kendaraan umum. Supir dan penumpang yang tidak bertegur sapa dan sibuk dengan urusan masing-masing.
"Raya. Aku, .... "
"Lain kali, tolong jangan ikut campur, Tuan. Saya bisa mengatasinya. Saya tidak ingin, ada orang lain yang salah paham, apalagi melihat saya turun dari mobil Anda."
Adrian hanya bisa merasakan detak jantungnya yang lebih cepat. Kedua tangannya, memegang kemudi dengan erat. Ia bahkan, tidak mampu melirik Raya, yang menganggapnya seperti orang asing.
"Terima kasih, Tuan," ujar Raya lagi, ketika tiba dikontrakan. Saat itu, ia masih tidak mau menatap Adrian.
"Aku merindukanmu," jawab Adrian tiba-tiba. Dan Raya langsung terdiam sejenak, saat membuka pintu mobil.
"Tuan. Setelah berpisah, saya hanya punya satu mimpi dan satu tujuan, yaitu membahagiakan putriku. Menjalin hubungan baru, tidak ada dalam daftar kehidupanku yang baru. Kita tidak bisa menjadi pasangan atau teman. Bukankah terlalu merepotkan, untuk membawaku ke duniamu?" Raya langsung turun, setelah mengatakan apa yang seharusnya.
Adrian terdiam dan memperhatikan Raya yang masuk dalam kontrakan. Kalimat Raya, adalah ucapannya saat itu, bersama Andrew. Kalimat yang sengaja ia lontarkan, agar Raya membencinya. Kini ia mendapatkan apa yang ia harapkan dari wanita itu. Tapi, ia justru terluka.
Sementara, Arya baru tiba di rumah dengan perasaan gusar. Ia bahkan, membanting pintu mobil dengan keras. Dan diteras rumah, ada sosok wanita yang sudah menunggu dengan wajah masam.
"Kamu dari mana, Mas? Kenapa baru pulang? Masa iya, lembur sampai tengah malam." Tari langsung menyambut dengan cercaan pertanyaan seperti kereta api.
Arya malas menjawab. Ia meletakkan belanjaan diatas meja dan melenggang pergi ke kamar. Sang istri, terus mengikuti langkahnya dengan seribu pertanyaan yang sama.
"Mas, jawab dong! Kamu kenapa sih? Aku tuh, kelaparan. Ibu kamu tidak masak dan kamu malah pulang larut begini."
Arya menarik napas panjang, sembari mendongak dan bertolak pinggang. Benar-benar, membuat lelah. Ia berharap akan ada sambutan yang penuh senyuman. Tapi, justru sebaliknya.
"Keluar!" usir Arya.
"Apa?" teriak Tari, "kamu mengusirku? Kamu sebenarnya, kenapa? Sudah pulang terlambat dan kamu marahin aku, iya? Kamu tidak peduli, dengan aku yang lagi hamil dan kelaparan."
"Haaaaaaaah ....." teriak Arya memenuhi rumah. Ia lagi-lagi menarik napas panjang dan menatap sang istri dengan tajam, "apa kau tidak lihat, aku sedang lelah? Kau terus mengeluh kelaparan. Apa kau tidak punya akal untuk mencari makanan? Kau bisa memasak, memesan atau meminta adikku membelikannya untukmu. Kenapa menungguku?"
"Kamu kan tahu, aku tidak bisa mencium bau masakan. Kamu menyuruhku, meminta bantuan adikmu yang diamnya seperti batu. Iya?" ujar Tari, tak kalah nyaringnya kalau masalah berdebat.
"Aku sudah belanja. Atur dalam lemari dan sayuran dalam kulkas," ujar Arya yang menurunkan volume suaranya. Ia semakin lelah, jika harus berdebat dengan sang istri.
"Tapi, aku belum makan, Mas," rengek Tari.
"Oke. Bereskan belanjaan, aku ganti pakaian dulu, baru masak."
Arya mencoba bernapas dengan lega, saat Tari keluar kamar. Ia kelelahan bukan karena bekerja, tapi menunggu. Bayangkan saja, tiga jam lebih, ia duduk menunggu dalam mobil. Tanpa makan dan hanya minum air mineral. Lalu, setelah bertemu Raya, ia malah mendapatkan bogem mentah.
"Sialan!" umpat Arya, sembari membuka kemeja, "pantas saja, kau bahagia saat aku mau mengambil Lily. Tidak akan, pernah."
Arya mengingat kembali, kejadian malam ini. Pria dengan mobil mewah dan penampilan sempurna, muncul sebagai kekasih Raya. Ia tidak terima. Apalagi, sang mantan istri tampak berubah lebih menawan. Raya semakin cantik dan terawat, berpakaian seperti gadis yang belum menikah.
"Mas, sudah selesai," teriak Tari dari dapur.
Arya berdecak kesal. Sebenarnya, apa yang dilakukan wanita ini, saat pulang kerja. Biar masak, bersih-bersih pun, tidak sempat. Ia hanya terus menunggu dan Arya merasa sudah seperti pelayan.
"Aku akan menyewa ART, untuk bantu-bantu," ujar Arya, sembari membuka bungkus mie instan.
"Jangan, Mas. Pengeluaran kita nanti bertambah banyak," jawab Tari, yang sedang asyik dengan ponselnya.
"Terus? Kamu mau, aku yang masak dan bersih-bersih rumah terus. Kegunaan kamu sebagai istri apa? Hah!" teriak Arya, yang kembali tersulut emosi, "pulang kerja, kamu bikin apa? Biar masak nasi tidak bisa. Kamu sebenarnya, bisa apa, Tari? Kamu membuatku muak!"
"Hoh, kamu mau membandingkan aku dengan istri lama kamu, iya?" Tari meletakkan ponselnya dengan kasar dan berdiri dengan sikap menantang. "Aku sedang hamil, aku mual, pusing, tidak bisa buat apa-apa. Paham kamu! Kenapa, istri lama kamu tidak seperti itu, iya?"
"Benar. Dia tidak seperti itu," lantang Arya, "dia tidak manja, meski sedang hamil. Tidak seperti kamu, yang memanfaatkan keadaan. Dia juga tidak menantang, saat diberi nasehat."
"Nasehat, apa? Nasehat, kalau dia lebih baik, begitu? Dulu, kau menjelekkan-jelekkan dia saat bertemu denganku. Sekarang, apa. Kamu menyesal, iya?"
"Cukup!" bentak Arya, yang meremas mie instan sampai hancur. Ia menarik napas panjang, mencoba untuk tenang. Akal sehatnya tiba-tiba memberikan peringatan. "Duduklah. Kamu harus makan. Mulai besok, aku akan meminta ibu menyiapkan makanan untukmu."
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat