NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Reixa tersenyum cerah saat air laut menyapu kaki kecilnya. Manik hijaunya berbinar penuh kegembiraan, seperti menemukan kebebasan baru di tengah luasnya pantai. Ombak yang datang dan pergi tampak menghiburnya, sementara dia bermain-main dengan air yang mengejar langkah mungilnya.

"Sudah berapa lama aku tidak sebahagia ini?" pikir Reixa, membiarkan semilir angin laut menggoyangkan helaian rambut ash greennya. Gadis kecil itu tertawa riang, suara tawanya seperti melodi ringan yang memecah kesunyian pantai.

Saverio berdiri tak jauh darinya, memandang gadis kecil itu dengan penuh kasih. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan senyum tipis menghiasi wajahnya. Pemandangan Reixa yang menikmati hari tanpa beban menjadi momen langka yang ingin dia simpan selamanya.

Namun, kedamaian itu buyar seketika.

"Apa?! Bagaimana bisa?!" Teriakan nyaring seorang pria membuat tubuh Reixa menegang. Suara itu... terlalu familiar untuk dilupakan. Reixa menoleh, matanya membelalak saat mengenali suara yang selama ini hanya tersimpan dalam ingatannya.

Suara ayah kandungnya.

"Apa kau tidak bisa menjaga Reixa dengan benar?! Bagaimana bisa seperti itu?! Kau sudah membuat semua rencanaku gagal!" Pria itu berteriak lagi, suaranya menusuk telinga Reixa, membawa kenangan pahit yang selama ini ingin dia kubur dalam-dalam.

Reixa menahan napas, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan langkah pelan, dia mendekati sumber suara, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu menghantam hatinya tanpa ampun.

"Berhenti mengabariku tentang anak sialan itu, Alarick! Bagus kalau dia sudah mati! Aku tidak peduli meski dia sudah menjadi mayat sekalipun! Anak sialan itu memang sudah sepatutnya mati seperti ibunya yang tidak berguna itu!"

Langkah Reixa terhenti. Tubuh kecilnya bergetar, dan air mata yang dia tahan akhirnya mengalir deras di pipinya. Kata-kata pria itu seperti racun yang meresap ke dalam hatinya, meremukkan setiap kepingan yang tersisa.

"Aku tidak pernah menyayangi anak sialan itu! Selama ini aku tidak pernah menyayanginya. Tidak pernah!"

Dia memundurkan langkah, mencoba menjauh, tapi suara pria itu terus terngiang di telinganya. Jadi, selama ini... mereka memang merencanakan ini? pikirnya dengan hati yang hancur. Selama sembilan belas kehidupan, dia telah ditipu, dipermainkan, dan akhirnya selalu berakhir tragis. Semua kenangan itu tiba-tiba menyeruak, membanjiri pikirannya hingga dia nyaris terjatuh.

Saverio, yang mendengar semua itu dari kejauhan, hanya bisa terdiam. Mata pria itu bergerak cepat antara Reixa yang menangis dan pria asing yang menjadi sumber dari segala kekacauan ini.

“Reixa…” panggil Saverio dengan suara rendah, penuh kehati-hatian, tetapi gadis kecil itu mengabaikannya. Dengan langkah tergesa, Reixa pergi meninggalkan pantai, membiarkan rasa sakitnya tenggelam bersama ombak yang tak henti-hentinya menyapu pasir. Saverio hanya bisa mengawasi punggung kecil itu menjauh, hatinya berat melihat beban yang kini harus dipikul putrinya.

Saverio mengejar langkah kecil Reixa yang semakin jauh. Gadis itu berjalan dengan langkah tergesa, air mata terus membanjiri wajahnya. Angin pantai membawa suara gemuruh ombak yang memekakkan telinga, namun suara hatinya jauh lebih berisik.

"Reixa, tunggu!" Saverio memanggil, mempercepat langkahnya.

Namun, Reixa tidak berhenti. Gadis kecil itu hanya terus berjalan, seakan mencoba melarikan diri dari kenyataan yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa berat, penuh dengan rasa kecewa dan kebencian. 'Aku bodoh. Mengapa aku selalu berharap mereka akan berubah? Mengapa aku masih percaya pada mereka?' pikir Reixa, tangannya mengepal kuat hingga kuku-kukunya melukai telapak tangan.

Langkahnya terhenti di sebuah batu besar yang menjorok ke laut. Dia berdiri di sana, membiarkan angin pantai menerpa tubuh mungilnya yang gemetar. Matanya memandang kosong ke arah cakrawala, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang.

Saverio akhirnya berhasil mengejarnya. Dia berdiri di belakang gadis kecil itu, memperhatikan bahu Reixa yang naik turun karena isakan tertahan. Dengan perlahan, dia mendekat dan berlutut di hadapan Reixa, menyamakan tingginya dengan putrinya yang tampak begitu rapuh.

“Reixa…” suara Saverio terdengar lembut, namun penuh penyesalan. “Kau tak perlu mendengarkan mereka. Mereka bukan keluargamu lagi.”

Reixa menunduk, matanya bertemu dengan tatapan penuh kasih dari pria yang kini menjadi ayahnya. “Tapi… mereka pernah menjadi keluargaku, Ayah. Kenapa mereka membenciku? Apa aku… anak yang seburuk itu?”

Saverio menggenggam kedua tangan kecil Reixa, menahan napas sejenak untuk menahan emosi yang mulai memuncak. “Tidak, Reixa. Kau adalah anak yang luar biasa. Kau pintar, baik hati, dan jauh lebih kuat dari yang mereka kira. Mereka hanya terlalu buta untuk melihat siapa dirimu sebenarnya.”

“Tapi, Ayah… aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Kenapa mereka terus menyalahkanku?” Suara Reixa pecah, air matanya kembali mengalir deras. “Aku bahkan tidak pernah tahu apa yang sudah kulakukan salah…”

Saverio menarik Reixa ke dalam pelukannya, membiarkan gadis kecil itu menangis di dadanya. “Mereka tidak pantas mendapat tempat di hatimu, Nak. Mulai sekarang, lupakan mereka. Anggap saja mereka tidak pernah ada.”

Reixa terisak dalam pelukan itu, tubuh kecilnya bergetar hebat. "Tapi kenangan itu, Ayah… selalu datang. Aku lelah..."

Saverio mengusap lembut kepala Reixa, memberikan kehangatan yang gadis itu butuhkan. “Kau tidak sendirian, Reixa. Aku ada di sini. Kita akan melewati ini bersama. Semua akan baik-baik saja.”

Perlahan, tangisan Reixa mereda. Dia mengangkat wajahnya, memandang pria yang kini menjadi sandarannya. “Terima kasih, Ayah…” bisiknya pelan.

Saverio mengangguk kecil, lalu berdiri sambil menggendong Reixa. “Ayo, kita pulang. Kau butuh istirahat.”

Dalam pelukan ayah barunya, Reixa akhirnya merasa sedikit tenang. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, setidaknya dia tahu kini ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. Seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya, tidak peduli seberapa berat hidup ini.

Reixa terisak hebat di dalam pelukan Saverio, tubuh kecilnya bergetar tanpa henti. Tangisannya pecah seakan seluruh rasa sakit yang selama ini tertahan akhirnya meluap tanpa bisa ditahan lagi.

Dia memejamkan mata erat-erat, namun bayangan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya terus menghantui. Wajah ibunya yang terbaring kaku di brankar dengan luka-luka, memenuhi tubuh yang sudah kehilangan nyawanya, terlintas begitu jelas. Dan kemudian, wajah ayahnya—wajah yang sama sekali tidak dia temukan saat jasad ibunya membeku dalam tragedi itu.

Selama sembilan belas kehidupan, dia percaya bahwa apa yang terjadi adalah takdir yang tak bisa dia hindari. Namun kenyataan ini—kenyataan bahwa semua itu adalah ulah seseorang yang seharusnya melindunginya—membuat hatinya hancur. Ayahnya sendiri yang mengatur semuanya. Pernikahannya, perselingkuhan yang menyakitkan, bahkan tragedi-tragedi yang membuatnya kehilangan segala hal yang dia sayangi.

"Bagaimana bisa?!" pikir Reixa dalam kegelapan pikirannya. Dia seharusnya menjadi keluargaku. Orang yang mencintaiku. Bukan penghancur hidupku.

“Aku benci dia,” Reixa berbisik, suaranya lirih namun penuh kebencian yang membara. Lalu, dengan suara yang lebih keras, dia menjerit, “Dia bukan siapa-siapaku lagi! Dia sudah mati! Ayah sudah mati!”

Saverio memeluk gadis itu lebih erat, mencoba menahan tubuh kecilnya yang bergetar karena amarah dan kesedihan. Reixa menjerit sekuat tenaga, namun suaranya semakin melemah. Nafasnya mulai tersengal, dadanya naik turun dengan tidak beraturan.

“Reixa, tenang, Nak. Tenang…” Saverio mencoba menenangkan, namun Reixa terlalu larut dalam emosinya.

Tangisannya perlahan terhenti, berganti dengan napas yang semakin pendek. Tubuhnya melemah di pelukan Saverio, dan sebelum pria itu sempat menyadari apa yang terjadi, Reixa sudah kehilangan kesadarannya.

“Reixa?! Hei, Reixa!” Saverio berseru panik dan mengguncang tubuh kecil itu dengan lembut. Dia memeriksa denyut nadinya yang masih berdetak, namun napas gadis kecil itu terputus-putus, seperti terlalu lelah menghadapi dunia yang begitu kejam padanya.

Saverio memeluk Reixa erat-erat, matanya memandang ke cakrawala yang kini mulai memerah oleh matahari senja. “Kau tidak pantas melalui semua ini, Reixa. Tidak ada anak kecil yang pantas merasakan sakit seperti ini…” bisiknya dengan suara parau, penuh kesedihan.

Dia mengangkat tubuh kecil Reixa dengan hati-hati, lalu berjalan menuju kamar gadis kecil itu dan meletakkannya di ranjang. Di dalam hati, Saverio bersumpah bahwa dia akan melakukan apapun untuk melindungi gadis kecil ini. Dia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan hantu dari masa lalu Reixa, menyakitinya lagi.

1
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!