NovelToon NovelToon
Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Yuri_Pen

Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Ke-11

Hari ke -11

Kata-kata Rasyid semalam selalu terngiang di pikiranku.

“Aku selalu berusaha membuatnya tersenyum. Apa kau tidak cemburu?” jelas aku cemburu, bahkan begitu marah.

Aku tidak mengerti dengan perasaanku hari ini. Sebentar aku takut kehilangan Halimah dan Jingga, sebentar bayangan May selalu menghantuiku. Membuatku merasa kebingungan dengan keputusan besar yang akan ku ambil.

Andai aku bisa memilih dua, maka aku akan memilih keduanya. Pastinya kehidupanku akan semakin lebih baik lagi. Bukankah itu adalah impian banyak lelaki? Sayangnya aku seperti mendapat buah simalakama. Maju kena mundur kena.

Memilih satu, maka aku kehilangan Halimah dan kedua anakku. Memilih Halimah, aku kehilangan cintaku. Cinta yang ingin sekali aku dapat dan kurasakan versi halal.

Naluri seorang lelaki tidak bisa disalahkan bukan?

“Mau kemana?” Rasyid siap-siap keluar dari rumah, memakai baju traning olahraga dan topi.

“Mau lari pagi,” jawabnya sembari memakai kaus kaki hingga betisnya.

“Sama siapa?” tanyaku penasaran.

“Sama Jingga lah,” ketusnya. Dugaanku benar. Lagi-lagi ia ingin mengusik anak dan istriku. Bahkan setelah aku ada di hadapannya sekalipun.

“Aku ikut!” pintaku kepadanya.

“Ya, bersiaplah!” Dia menungguku. Aku segera mengganti baju dengan baju yang lebih santai.

“Ayo!” Aku melangkah keluar, dia mengunci pintu.

Udara pagi ini sejuk sekali, embun masih menempel pada dedaunan. Menambah nuansa segar di pagi yang cerah.

“Om! Jingga udah siap.” Jingga sudah memakai baju olahraga, rambutnya di kuncir kuda lalu memakai topi. Lucu sekali.

“Hay anak Ayah.” Aku mencubit pipinya, dia tersenyum unjuk gigi.

“Ayah ikut jalan-jalan?” tanyanya. Seolah tak suka aku ikut serta.

“Ikut dong. Bunda gak ikut?”

“Tuh, Bunda!” Halimah berjalan ke arah kami. Anggun sekali. Ia memakai baju training dengan rok.

“Ayo berangkat!” Jingga menggenggam tangan Limah, dan .... tangan Rasyid. Aku mengalah. Berjalan lesu di belakang mereka.

Andai orang-orang tidak kenal, mereka akan mengira bahwa orang-orang di depanku ini keluarga yang bahagia.

Mereka berjalan beriringan tanpa menoleh ke arahku. Meski aku tahu mereka menjaga jarak, tapi kenapa rasanya jarak sebenarnya yang tercipta adalah antara aku dan mereka?

“Eh, Bro, maaf ya. Sini jalannya di samping jangan di belakang gitu!” Rasyid menoleh ke arahku. Lalu dia melepaskan tangan Jingga. Mungkin ia merasa tidak enak kepadaku.

“Jingga sama ayah, ya!” aku tidak menyia-nyiakan kesempatan dari Rasyid. Langsung maju ke depan lalu menggenggam tangan Jingga. Kami berjalan berdampingan, dengan Rasyid juga.

Setelah berjalan kurang lebih setengah jam, kami beristirahat di taman. Jalan yang rata memang tidak mengeluarkan tenaga banyak, tapi tetap saja aku merasa lelah.

Jingga segera mengajak Rasyid untuk membeli jajanan di pinggir jalan. Bahkan dia sudah benar-benar memalingkan anak dengan ayahnya dengan waktu yang singkat.

Ku akui Rasyid termasuk orang yang ramah dan supel. Mudah bergaul dengan banyak orang di berbagai kalangan usia.

Ini kesempatanku berbicara dengan Limah.

“Dik,” sapaku sambil duduk di sampingnya.

“Apa?” Dia tak menoleh barang sekejap. Ia asyik memainkan ponselnya.

“Maaf,” ucapku memberanikan diri.

“Untuk apa?” tanyanya tanpa memalingkan wajah dari ponselnya.

“Untuk janji yang sudah aku nodai,” ungkap ku jujur. Jika ia menginginkan aku mengatakannya, akan kuakui semuanya.

“Tak perlu minta maaf!” Ia tertawa sambil menatapku.

“Tapi aku salah,” seruku tetap ingin meminta maaf.

“Pas ngelakuin ngerasa salah nggak?” Kini ia memandangku lalu membuang pandangannya dengan cepat. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

“Iya. Aku selalu dihantui rasa bersalah.”

“Aku tidak percaya, Mas. Belum apa-apa, perempuan itu sudah mengubah mu menjadi orang yang munafik,” tuturnya.

“Ini murni salahku,” kilahku. May tidak bersalah menurutku. Kenapa namanya tersebut?

“Ya, aku tahu. Kau tidak mungkin menyalahkan wanitamu di depan aku,” sindirnya. Ia menggeser posisi duduknya agar semakin jauh dariku. Seolah risih bila kami berdekatan. Sosoknya yang terbiasa manja tidak kutemukan lagi. Limah penuh ketegasan, namun aku merasa merindukan sosoknya yang dahulu.

“Bukan begitu, Dik.” Aku berusaha meraih jemarinya. Barangkali ia akan sedikit tergugah dengan sentuhan.

“Lalu?” Ia menepis tanganku. Lagi-lagi dugaanku salah. Ia sudah tidak memerlukan sentuhan.

“Beri, Mas kesempatan!” pintaku memohon.

“Mas?” tanyanya. Akhirnya ia mau menghadap ke arahku. Ku tatap wajahnya secara sempurna. Kerudungnya tertiup angin, namun tidak menutup kelembutan di parasnya.

“Ya?” Aku semakin terpesona kali ini. Menatapnya membuatku canggung sekaligus kecanduan.

“Lebih sakit mana ditinggalkan atau dilupakan?” Aku terdiam setelah mendengar pertanyaannya.

“Apa kesalahan, Mas sangat fatal?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dan segera berbicara ke point inti.

“Mas tahu ciri-ciri orang munafik? Apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat. Lalu, apakah Mas ada di golongan itu?” Lagi, dia membuatku terdiam. Aku selalu kalah telak dibuatnya.

“Padahal dulu, Mas Ridwan yang kukenal tidak pernah berdusta, tidak mengingkari janji, dan bisa dipercaya. Nyatanya perempuan itu bisa mengubah mu dalam waktu yang cepat. Bahkan sebelum dia halal untukmu. Aku tidak terlalu paham dengan rasa cinta yang digaungkan banyak orang, bila ternyata efeknya membuat mereka buta dengan kebenaran,” ujarnya panjang lebar.

“Maaf, aku yang salah. Bahkan dia tidak mengetahui aku sudah menikah.”

“Apa? Bahkan kau malu mengakui anak dan istrimu.” Dia menertawakan kebodohanku.

“Aku akan segera mengatakan itu padanya,” ucapku yakin. Pandangan kami bertemu namun ia segera memalingkan. Sepintas kulihat luka sudah terpahat di sana. Sinar matanya saat menatapku sudah tidak bersinar seperti dulu. Apa mungkin ia move on begitu cepat?

“Tidak usah,” tahannya.

“Aku akan mengatakannya! Meski tanpa persetujuan mu sekalipun,” tekan ku.

“Iya, Mas. Aku tahu.” Ia menghela nafasnya berat. “Aku memang tidak pernah kamu libatkan dengan keputusan besar apapun.

Dan sayangnya, aku baru menyadari itu hari ini. Dulu, kupikir itu adalah bentuk kasih sayangmu yang tidak ingin membuatku merasa terbebani, tapi ternyata itu adalah bentuk nyata tidak adanya aku di hatimu.” Ia menunduk, menyeka air matanya.

“Bukan maksudku begitu, Dik.” Ingin sekali ku hapus bulir bening yang jatuh di pipinya, namun rasanya aku tak kuasa.

“Dik, apa kau akan memberi kesempatan jika Mas memilihmu saja?” tanyaku ragu.

“Jangan buang waktumu hanya dengan orang yang tidak kamu cintai, Mas.” Dia beranjak pergi, meninggalkanku yang mendadak membisu.

“Bunda, ini ice creamnya” Jingga berlari menghampiri kami, lalu tangannya sibuk membagi-bagikan es krim yang dia beli.

“Ini untuk, Ayah.” Jingga lari menghampiriku.

“Makasih, Sayang.” Aku mengacak rambutnya. Ia tersenyum sambil mengalihkan jajanan lain ke tangan kanannya. Rasyid membelikannya banyak makanan.

“Sama sama, Ayah.” Ia mengangguk lalu kembali menghampiri Limah. Rasyid hanya menatapku dengan tatapan yang tidak ku mengerti. Mungkin itu adalah tatapan kasihan karena Jingga sudah tidak akrab dengan ayahnya.

Setelah selesai makan es krim kami pulang.

Limah tampak ceria berjalan beriringan seperti itu. Rasyid benar, bahkan Limah lebih banyak tertawa karenanya.

***

“Dik, kita pulang, yuk!” setelah mandi pagi, aku membereskan barang-barangku.

“Mas, pulang sendiri saja,” tolaknya. Ia menyodorkan segelas teh manis untukku.

“Kenapa? Aku ingin pulang bersama kalian.” Aku menatapnya kecewa.

“Mas, jangan buang waktuku! Jangan buang waktumu juga.” Aku mengambil gelas dari tangannya, lalu meminumnya. Rasanya masih sama, tapi sayangnya perasaan pembuatnya sudah tak sama lagi.

“Apa bersamaku adalah kesia-siaan waktu untukmu?”

“Ya.” Sakit sekali pengakuannya.

“Baiklah, aku pulang.” Aku berjalan lesu membereskan barang-barangku.

“Mas, pulang dulu, ya. Kamu jaga diri di sini. Ini ada sedikit uang untuk bekalmu selama di sini.” Dengan berat hati Aku berpamitan.

“Pulanglah bersama suamimu, Nak!” Bapak menghampiri kami lalu menasihati Limah lembut.

“Aku di sini aja dulu, Pak. Sampai kondisi bapak stabil, baru aku menyusul Mas Ridwan pulang,” tolaknya.

“Bapak sudah sembuh. Suamimu lebih membutuhkanmu, Nak,” ujar Bapak. Ia seolah tahu tentang permasalahan yang tengah kami hadapi.

Dia terlihat berfikir lama, lalu beranjak pergi.

“Tunggu aku, Mas!” ucapnya singkat.

Alhamdulillah, aku senang mendengar keputusannya.

“Terima kasih, Pak. Semoga bapak lekas membaik seterusnya,” ucapku sambil menyalami tangan bapak.

“Jaga anak bapak ya, Wan!” pintanya. Aku mengangguk mengiyakan.

‘Maaf, Pak, bila menantumu ini membuatmu kecewa.’

***

Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Limah dan Jingga memilih duduk di belakang, biarlah aku dianggap supir, yang penting aku berhasil membawa mereka pulang.

Tawa dan obrolan mereka terdengar hangat di telingaku. Sesekali aku ikut menimpali ucapan mereka, walau sepertinya ucapanku tidak terlalu digubris oleh mereka. Tidak lama kulihat Jingga tertidur.

“Kamu enggak pindah ke depan, Dik?” tanyaku berharap.

“Enggak, Mas,” sahutnya.

“Kamu menganggap aku supir kamu?” candaku sampir terus memerhatikan jalan. Sesekali mataku melirik ke sepion tengah untuk curi pandang dengan Limah. Kadang ia tertangkap basah sedang melihatku. Hanya begitu pun rasanya sudah senang bukan main.

“Enggak. Itu kan nanti jadi tempat buat perempuan lain. Jadi aku di sini aja,” ucapnya ketus.

“Itu masih tempatmu, Dik!”

“Enggak, Mas!” Ia masih menolak.

“Cemburu?” tanyaku gemas.

“Gak. Ngapain cemburu,” ketusnya.

“Kalau aku nikah, kamu gak cemburu gitu?” pancingku. Ia cemberut. Tak sadar sering ku perhatikan raut wajahnya di spion.

“Berhenti di sini, Mas!” titahnya cepat. Dia menyuruhku berhenti di rumah barunya.

Rasanya baru berbincang sebentar, kenapa sudah sampai lagi? Ah mungkin karena sedari tadi aku melewatkan moment berlalu begitu saja.

“Kita ke rumah saja, ya!” bujuk ku halus.

“Di sini aja, Mas!” tekannya. Karena perdebatan kami, akhirnya Jingga terbangun dan mengucek matanya.

“Ini udah nyampe rumah, Yah?” tanyanya lucu.

“Iya Sayang. Jingga pulang ke rumah ayah aja, ya!” bujuk ku.

“Ayah, aku lebih senang di rumah ini. Banyak teman-temannya. Kalau di sana teman-teman Jingga sedikit,” ujar Jingga mengejutkan.

Mereka pandai sekali memainkan peran, cocok jika jadi artis. Apa mereka sudah mengatur semuanya dari awal?

“Baiklah.” Aku mengalah dan segera memarkirkan mobil.

“Tidak perlu dibantu, Mas.” Dia merebut bawaan yang aku bawa dengan kasar. Kadang aku terlupa, ia memiliki tenaga yang cukup besar.

“Aku masih suamimu, biarkan aku membantumu,” tukas ku. Segera kuangkat barang yang berat menuju teras tanpa persetujuannya. Limah terdiam pasrah. Akhirnya kami sibuk memindahkan barang.

“Mas, minum dulu! Abis ini pulang, ya!” Dia menyodorkan segelas air. Bahkan dia tidak menyuruhku istirahat sebentar di sana.

“Dik, pertimbangkan ucapan, Mas ya!” Aku meneguk segelas air putih hingga tandas. Lelah rasanya melakukan perjalanan selama lima jam.

“Ucapan yang mana?” tanyanya polos. Ia mengambil gelasku yang sudah kosong dan langsung berdiri.

“Ketika di taman tadi,” sahutku.

“Insyaa Allah kalau gak lupa.” Dia langsung menarik ku keluar, lalu menutup pintu.

“Dik, Mas istirahat sebentar aja, boleh?” Limah sudah tidak berniat membuka pintu. Aku pasrah dan pulang.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku katakan saja yang sebenarnya kepada, May?

Kulihat chat terakhirku dengan, May. Dia beberapa kali mengirimiku pesan dan selalu ku abaikan.

Ingin sekali ku ceritakan tentang diriku sebenarnya kepada, May. Namun di satu sisi, aku ingin menikah dengan, May. Aku takut dia benar-benar pergi jika mengetahui statusku yang sebenarnya.

Aku lebih banyak merenung sekarang. Tentang obrolanku dengan Rasyid.

“Limah tidak pernah menceritakan keburukan suaminya padaku. Tapi aku tahu dari sorot matanya, bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.”

“Aku mengenalnya bukan sehari, dua hari. Tapi sedari kecil. Aku faham betul sifatnya. Jika kau menyakitinya, serahkan saja dia. Aku akan menikahinya meski keluargaku berbicara tidak.”

Aku takut, jika Limah menyukainya. Kuakui pemikiran dan ilmu Rasyid lebih matang dariku. Kenapa hatiku sangat takut kehilangan dia? Bukankah ini keinginanku semenjak bertemu dengan, May?

Aku menghabiskan malam dengan memohon petunjuk kepada Allah. Lama, aku tidak bangun malam lagi. Doaku kini ku aminkan sendiri.

Semoga besok aku sudah kukuh dalam pendirian. Mana yang akan aku pilih, dan mana yang akan kutinggalkan.

1
Sarifah aini eva rrgfwq
lanjut trus donk jgn pke sambung jdi putus2 bcany
andri alkantara: Hallo kak terima kasih sudah mau membaca Novelku. biar gak ketinggalan setiap episode nya yuk jangan lupa follow dan bantu suport aku untuk terus berkarya.... Terima kasih
total 1 replies
Becce Ana'na Puank
Luar biasa
Fushito UwU
Duh, kehidupan karakternya keren bingits!
andri alkantara: Yuk bantu Follow akun ini biar aku bisa lebih semangat menulisnya dan ikuti terus kisah Halimah☺️
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Bukan sekadar cerita, tapi pengalaman. 🌈
Beerus
Kereen! Seru baca sampe lupa waktu.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!