"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya Bukan Istrinya
Merepotkan!
Aku berlari kecil menuju halaman parkir sekolah. Mobil yang aku kendarai keluar secepat mungkin dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Seharusnya aku bisa saja mengabaikan panggilan barusan, tetapi mengingat ini adalah musibah, aku tetap pergi.
Hari sudah sangat siang dan anak-anak sudah pulang beberapa jam lalu. Namun, karena harus mengikuti rapat di sekolah, aku pulang sedikit terlambat. Hanya saja, aku mendapat kabar buruk hari ini.
Niklas kecelakaan. Lebih tepatnya, dia yang menabrak orang lain.
"Apa yang dia pikirkan sampai nggak fokus menyetir? Apa dia mabuk siang bolong begini?" tanyaku pada diri sendiri. Pertanyaan itu hanya dibalas udara jalanan yang berhembus keras.
Sepersekian detik berikutnya, mobilku memasuki pelataran kantor Polsek terdekat. Jeep Niklas terparkir tak jauh dari gedung. Goresan-goresan kecil memenuhi permukaan bagian depan mobilnya.
Aku turun dari mobil dan menghela napas saat melihat kondisi mobil Niklas. Langkahku sengaja aku percepat saat masuk ke tempat tersebut. Pada meja dekat pintu, kulihat Niklas duduk di bangku panjang bersama seorang pria tua berpakaian lusuh.
"Bu Tsania?" sapa salah satu petugas yang duduk di balik komputer. "Silakan duduk!" titahnya. Kemudian dia memanggil Niklas untuk bergabung dengan kami.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanyaku karena enggan bertanya pada Niklas.
"Sebelumnya biar saya mengonfirmasi dulu untuk keperluan data di sini. Ibu istrinya Pak Niklas?"
"Saya bukan istrinya." Tanpa ragu aku menjawab dengan cepat.
Tak hanya si petugas, Niklas pun menatapku dengan cepat. Kami semua terdiam seketika, si petugas membagi tatapan antara aku dan Niklas. Memang benar, kan? Pernikahan kami tak tercatat secara hukum negara.
Aku mengeluarkan tanda pengenal. "Saya hanya keluarga terdekat Pak Niklas. Kebetulan hanya saya yang bisa dihubungi."
"Keluarga terdekat?" Niklas ikut berkomentar. Kekeh samar terdengar dari bibirnya.
"Saya iparnya," ucapku pada si petugas dan mengabaikan Niklas.
Si petugas berdeham selama sekian detik sebelum menyibukkan diri di depan komputer. Aku dan Niklas terjebak dalam aksi diam-diaman. Sama sekali tak tertarik untuk melihatnya.
Beberapa menit kemudian, aku dijelaskan mengenai hal yang terjadi. Niklas menyerempet seorang pedagang kaki lima sampai gerobaknya terjatuh. Si bapak berbaju lusuh adalah korban. Taj ada luka serius, tetapi kondisi gerobak dagangannya cukup hancur.
Kami bernegosiasi untuk proses ganti rugi selama sekian menit. Prosesnya tak cukup alot karena si korban juga tidak mau memperpanjang masalah. Apalagi sampai melibatkan polisi dan hukum. Niklas juga demikian, dia siap ganti rugi berapa pun yang diinginkan keluarga korban.
Aku dipanggil ke sini karena Niklas tak membawa uang cash untuk langsung memberikan ganti rugi. Sementara tak mungkin memberikan bapak itu uang dengan cara mentransfernya lewat e-money atau mbanking. Untung saja aku membawa uang cukup karena keluarga korban juga tak meminta banyak.
Begitu kasus selesai, kami keluar dari kantor Polsek. Niklas menyalami si bapak dan keluarganya yang datang beberapa saat lalu.
"Sekali lagi saya mohon maaf atas apa yang terjadi, Pak," kata Niklas.
"Iya, lain kali Mas bisa hati-hati berkendaranya." Si bapak tersenyum ramah sesaat.
Kemudian dia dan seorang remaja yang mengaku sebagai keluarga segera berpamitan pada kami. Sepeninggal mereka dari hadapan kami, aku memilih berjalan meninggalkan Niklas menuju mobil. Di luar dugaanku, dia mengekor.
"Antar aku pulang," kata Niklas seenaknya saat masuk ke mobilku.
"Naik taksi saja. Aku ada urusan di sekolah. Masih ada rapat, bahkan sebentar lagi akan mulai."
Niklas mengusap wajahnya tampak frustrasi. Sepertinya dia sedang enggan berdebat karena kekacauan hari ini. Dia yang membuat kekacauan dan sudah kubantu, tetapi dia tidak berterima kasih sedikit pun.
Aku tak mengharapkan imbalan dan bukannya tak iklas. Memang beginilah Niklas, tak akan sudi mengucapkan terima kasih atau maaf padaku setelah apa yang aku perbuat di masa lalu. Niklas keluar dari mobil dan membanting kasar pintu mobilku.
"Lho, Pak Niklas, nggak pulang bersama sekalian?" tanya si petugas yang tadi mengantar kami keluar dari gedung.
"Arah kami beda," jawab Niklas.
———oOo———
Tak ada mobil Niklas saat aku pulang ke rumah. Kemungkinan dia langsung meminta orang bengkel mengambil mobilnya di Polsek. Aku masuk rumah dengan langkah pelan, sepi sekali. Bahkan tak ada tanda-tanda Bu Hesti menyambut.
Merasa tenggorokanku kering, aku bergegas ke dapur. Untung kakiku sudah agak baikan, sehingga aku tak terganggu lagi setiap melangkah. Suara pintu yang ditutup pelan membuatku menoleh ke belakang. Kekagetan tak bisa kusembunyikan saat melihat Bianca keluar dari ruangan Niklas.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku saat dia tersenyum ramah penuh paksaan.
"Oh, maaf ya membuatmu kaget. Aku dengar Pak Niklas kecelakaan dan mengantarnya pulang." Bianca menjawab setenang mungkin.
Jadi begitu, ya? Niklas menghubungi Bianca untuk menjemputnya di kantor polisi? Begitu, kah?
Bianca tersenyum kecut ke arahku. "Aku tau kamu istrinya Pak Niklas, Tsania. Bukannya nggak menghargai kamu, tapi Pak Niklas juga membutuhkan saya. Lihat, buktinya dia memanggil saya saat sedang kesusahan dan dalam musibah. Bukan memanggil kamu, istrinya sendiri."
"Kamu percaya diri sekali," Aku setengah bergumam.
"Apa aku membuatmu marah? Kedekatanku dengan Pak Niklas ... tenang saja, kami hanya rekan kerja. Aku hanya sekretaris, kok."
Meski berkata demikian, Bianca terdengar tak serius. Hanya sebuah akting belaka barangkali dan dia pikir aku bisa dibodohi semaunya?
Aku tersenyum samar karena ucapannya. Reaksi yang aku tunjukkan menghadirkan kernyit samar di dahi Bianca. Dia berpikir aku akan cemburu melihatnya bersama Niklas?
"Silakan lakukan apa pun dengan Niklas, tapi aku harap kalian melakukannya bukan di rumah ini. Aku nggak mau menodai rumah kakakku dengan perbuatan menjijikkan kalian," ungkapku.
"Jadi, kamu melihat aku malam itu, ya?" Bianca terlihat tak bersalah sama sekali.
"Kamu bangga melakukannya? Kamu dan Niklas ... kalian bangga berselingkuh di belakang Elma?"
"Tapi Bu Elma sudah pergi. Itu artinya aku bersenang-senang dengan Pak Niklas di belakang kamu. Apa kamu merasa sebal dan marah?" tanya Bianca dengan lancang.
Sebelum aku menjawab, obrolan kami tertahan karena Niklas keluar dari ruang kerjanya. Dia terlihat santai dengan kaos hitam yang menggantikan kemeja kerjanya beberapa jam lalu. Sepasang mata Niklas membagi tatap antara aku dan Bianca. Sekilas terlihat menyimpan kebingungan.
"Untuk apa aku marah?" tanyaku pada Bianca, mengabaikan Niklas yang terlihat heran. "Lagi pula aku bukan istrinya." Untuk ke sekian kali aku mengucapkan kata itu.
Tanpa mau mendengar respons Bianca atau Niklas, aku bergegas menaiki lantai dua. Peduli setan bagaimanapun ekspresi Niklas saat aku mengatakan kalimat tadi.