NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tertunda

Cinta Yang Tertunda

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: winsmoon

Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Setibanya di rumah, Siera langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur tanpa melepas sepatu atau tas yang masih tergantung di bahunya. Energinya benar-benar terkuras setelah reuni tadi. Lampu kamar masih menyala terang, tapi matanya terasa berat. Ia menatap langit-langit kamar dengan dada yang sesak. Bayangan wajah seseorang kembali muncul di pikirannya, membuatnya ingin berteriak.

“Ya ampun, Sie kok nggak bersih-bersih dulu, sayang?” suara lembut Bunda Anin terdengar dari arah pintu, membuyarkan lamunannya.

“Nanti aja, Bund. Tenaga aku habis...” jawab Siera malas, bahkan tak berusaha menoleh.

“Ada-ada aja, memang kamu tadi habis ngapain tadi? Sampai segini capeknya?” tanya Bunda Anin sambil mendekat, duduk di tepi ranjang, memperhatikan putrinya yang terkulai lemas.

“Habis ketemu manusia yang nggak tahu diri, Bund.” Nada suara Siera berubah, penuh amarah. Tangannya kini menutupi wajah, seolah ingin menghalangi semua emosi yang ingin keluar.

“Loh, siapa sayang? Cerita dong ke Bunda. Siera kan biasanya nggak segini marahnya,” goda Bunda Anin, mencoba mencairkan suasana.

Siera bangkit perlahan, duduk bersila di atas ranjang sambil membuang napas berat. Wajahnya memerah, antara lelah dan emosi yang meluap. “Bund, tahu nggak? Tadi Arka datang ke reuni. Katanya dia udah sebulan lebih di sini. Dan tahu nggak dia bilang apa? Cuma, ‘Hai, Sie. Lama nggak ketemu ya.’”

Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih, melainkan karena kesal yang tertahan. Ia menatap bundanya dengan ekspresi penuh luka. “Serius, Bund. Itu aja. Kayak nggak pernah ada apa-apa sebelumnya! Kayak semua salah dia bisa hilang begitu aja!”

Bunda Anin menyentuh bahu putrinya dengan lembut, mencoba menenangkan. “Sayang, mungkin ada alasannya kenapa dia begitu. Kamu tahu kan Arka biasanya nggak sembarangan.”

“Mau alasan apa pun, Bund, seenggaknya dia harus minta maaf dulu! Atau bilang sesuatu yang lebih dari sekadar ‘hai.’ Aku tuh nggak tahu lagi harus anggap dia apa, Bund. Teman? Bukan! Dia udah nggak peduli sama aku!” suara Siera meninggi, bibirnya bergetar, menahan perasaan yang hampir pecah.

“Eh, pelan-pelan dulu, sayang. Jangan langsung menyimpulkan. Kadang kita nggak tahu alasan seseorang,” Bunda Anin mencoba meredam emosi putrinya.

“Arrgghh! Aku benci banget sama dia, Bund! Rasanya pengen ngelupain dia aja selamanya!” Siera membanting bantalnya ke tempat tidur, seperti melampiaskan semua kekesalannya.

“Hush, nggak boleh gitu. Bunda nggak pernah ajarin Siera buat benci siapa pun,” tegur Bunda Anin lembut, tapi tegas.

“Tapi beneran, Bund. Dia pantas dibenci!” Siera memeluk lututnya, menunduk dalam diam. Tubuhnya sedikit bergetar, tanda emosinya sudah hampir mencapai batas.

Bunda Anin menghela napas panjang, lalu merangkul pundak Siera. “Sayang, membenci nggak akan buat kamu tenang. Kalau memang dia salah, biar waktu yang menjawab. Yang penting, jangan biarkan kemarahanmu melukai hatimu sendiri.”

Dering ponsel Siera tiba-tiba berbunyi, memecah obrolan antara Dia dan Bunda Anin. Siera langsung meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang.

Ketika membaca pesan yang masuk, matanya membulat.

“Hai, Sie. Ini gue, Arka.”

Ia terdiam beberapa detik, jantungnya berdebar tak beraturan. Nafasnya tertahan, dan tangan yang memegang ponsel sedikit gemetar. Ia menatap layar dengan campuran perasaan, terkejut, bingung, dan... meski tak ingin mengakuinya, ada rasa gugup yang aneh.

Apa lagi kali ini? pikirnya, kesal.

Siera melempar ponselnya ke atas kasur, membuat benda itu memantul ringan sebelum jatuh ke samping. Ia menyandarkan tubuhnya ke tembok di belakang, kedua tangannya terlipat di depan dada, rahangnya mengeras.

“Loh, kok HP-nya dibuang, sayang?” suara Bunda Anin terdengar, lembut tapi penuh rasa ingin tahu.

Siera mendengus pelan, lalu mengambil kembali ponselnya dan menunjukkannya kepada ibunya. “Lihat, Bund. Mau apa lagi dia kali ini?”

Bunda Anin meraih ponsel itu dan membaca pesan singkat di layar. “Hmm...” gumamnya, sebelum meletakkan ponsel itu kembali ke tangan Siera. “Bagus dong, sayang. Dia chat kamu. Siapa tahu dia punya sesuatu yang penting buat disampaikan.”

“Bunda bercanda, ya?” Siera mengangkat alis, ekspresinya penuh ketidakpercayaan. “Aku nggak peduli lagi, Bund. Segala hal yang berhubungan sama dia itu selalu nguras tenaga aku.”

Bunda Anin menatap Siera dengan pandangan sabar. Ia menyandarkan kedua tangan di atas pahanya, lalu berkata, “Kamu tahu, sayang, memendam perasaan kesal itu capek loh. Kalau terus kamu simpan, bukannya malah bikin kamu lebih lega.”

“Tapi aku nggak mau tahu, Bund. Dari cara dia yang tiba-tiba ada disini, terus datang ke reuni tadi, sampai sekarang, dia tuh cuma bikin aku makin muak,” jawab Siera tajam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tak jatuh.

Bunda Anin tersenyum tipis, menepuk lembut tangan putrinya yang masih menggenggam ponsel. “Mungkin ini kesempatan, sayang. Kalau kamu benar-benar nggak peduli, ya balas aja seadanya. Kalau ada yang mau kamu ungkapkan, ungkapkan. Tapi jangan diam aja. Kadang diam itu bikin hati makin berat.”

Siera mendengus lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti gumaman frustrasi. Ia menunduk, menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh keraguan. Pesan itu masih terpampang di sana, menunggu respons yang entah kenapa terasa sangat berat untuk diberikan.

Setelah menarik napas panjang, ia mengetik singkat:

“Kenapa?”

Pesan itu terkirim. Siera langsung meletakkan ponselnya kembali di meja di sampingnya. Ia menyilangkan tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke tembok di belakang. “Udah tuh, Bund. Tapi jangan harap aku mau basa-basi sama dia.”

Bunda Anin terkekeh kecil, melipat tangannya di pangkuan. “Ya, setidaknya sekarang kamu nggak cuma memendam kesal. Lihat aja apa yang dia mau. Kadang kita perlu dengar dulu sebelum memutuskan segalanya, sayang.”

Siera tak menjawab, hanya menghela napas panjang. Namun, dalam hatinya, kata-kata bundanya tadi terasa menusuk. Mungkin benar, ia sudah terlalu lama membiarkan rasa kesalnya mendominasi.

Belum semenit berlalu, dering ponsel Siera berbunyi lagi. Ia meliriknya dengan cemas, tapi tangannya tetap diam, tidak bergerak mengambil ponsel itu. Bunda Anin menatapnya sambil mengangguk pelan, memberi isyarat agar ia membaca pesan itu.

Dengan ragu, Siera mengambil ponselnya. Ia membuka layar dan membaca balasan Arka yang muncul di sana.

“Sie, ada waktu buat ngobrol?”

Hatinya dilanda kebingungan. Balasan apa yang harus ia berikan? Perlukah ia membalas? Atau biarkan saja pesan itu menggantung, seperti Arka yang dulu membiarkannya tanpa jawaban?

Siera menaruh ponselnya di pangkuan, menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap layar kosong, tapi pikirannya jauh dari situ. Suasana hening, hanya terdengar suara napas mereka berdua.

Bunda Anin akhirnya memecah keheningan. “Jangan terlalu benci Arka, ya, sayang. Kamu boleh lampiaskan segala kekesalan yang tujuh tahun belakangan ini kamu simpan. Tidak ada salahnya kamu marah sama Arka. Kadang itu cara terbaik untuk menyembuhkan hati yang luka. Tapi jangan sampai kebencian itu menelan kamu sendiri.”

Siera mengangkat wajahnya sedikit, menatap bundanya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Kata-kata bundanya benar-benar mengena, seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.

Bunda Anin melanjutkan, “Mungkin kamu butuh waktu. Tapi ingat, maaf itu nggak selalu untuk orang lain, kadang itu juga buat diri kita sendiri.”

Siera masih terdiam, hanya menyimak dengan penuh perhatian. Ia mengangguk pelan, meski hatinya masih belum sepenuhnya yakin.

“Oh ya,” Bunda Anin tiba-tiba mengubah topik, berusaha mencairkan suasana, “Hari Selasa nanti, temani Bunda dan Ayah untuk dinner, ya.”

Siera mengerutkan kening. “Dinner? Tumben banget, Bund.”

Bunda Anin tersenyum penuh arti. “Iya, soalnya kita mau menyambut teman Bunda. Pokoknya kamu pasti senang juga deh.”

“Siapa, Bund? Kok rahasia banget?”

“Udah, nanti kamu juga tahu kok,” jawab Bunda Anin sambil mengusap kepala Siera dengan lembut, meninggalkan misteri yang tak kalah membingungkan dari pesan Arka.

1
Nasriah
up
jenny ayu
kereen̈n👍👍👍
Nasriah
ceritanya kereeeen... up.. up... up
Mưa buồn
Gemesin!
Sol Ronconi
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
winsmoon: Terima kasih dukungannya✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!