NovelToon NovelToon
Tempus Amoris

Tempus Amoris

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Uppa24

realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hari yang manis

Waktu berlalu tanpa ia sadari. Udara semakin dingin, tetapi Elvanzo tidak bergerak dari tempatnya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Saat memandangi permukaan danau yang tenang, ia menyadari sebuah ironi: di luar, Aluna tampak seperti danau itu—tenang, hening, dan indah. Tapi di dalam, ia tahu ada arus yang begitu kuat dan sulit ditebak.

“Aluna,” bisiknya, suara itu hampir tertelan oleh angin malam. “Aku tahu kau berusaha kuat, tapi kau tidak harus sendirian. Jika kau tidak bisa mengatakannya sekarang, aku akan tetap menunggu. Kapan pun kau siap...”

Ia menundukkan kepala, kembali menghela napas panjang. Meski kecewa karena Aluna tidak mau berbicara, ia tidak akan memaksa. Ia hanya bisa berharap waktu akan membawa kepercayaan gadis itu kepadanya.

Setelah beberapa saat, Elvanzo memutuskan untuk kembali ke hotel. Namun sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi ke danau itu, seolah berjanji pada dirinya sendiri. "Aku akan menemukan cara untuk membuatmu percaya bahwa kau tidak sendirian. Aku akan terus mencoba."

Dengan pikiran yang masih berat, ia melangkah perlahan kembali, membiarkan malam menjadi saksi dari tekad yang ia tanamkan di hatinya.

...~||~...

Cahaya pagi menembus tirai tipis kamar hotel, menari lembut di atas dinding dan perlahan menyapu wajah Aluna yang tertidur pulas. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibandingkan malam sebelumnya, meski sedikit sembap masih tampak di sekitar matanya.

Elvanzo, yang bangun lebih awal, berdiri di dekat jendela. Tangan kanannya memegang secangkir kopi yang uapnya masih mengepul, sementara matanya memandang keluar, menikmati pemandangan kota yang mulai berdenyut dengan aktivitas pagi.

Suara samar kasur yang bergerak membuatnya menoleh ke arah ranjang. Aluna menggeliat pelan, membuka mata dengan pandangan yang sedikit kosong sebelum akhirnya menyadari di mana ia berada. Ia menoleh ke arah Elvanzo yang sedang menatapnya.

“Pagi,” sapa Elvanzo ringan, mencoba mencairkan suasana.

Aluna hanya mengangguk kecil. Suaranya belum keluar, tetapi raut wajahnya tidak sekeras biasanya. Ada kelembutan samar yang terpancar, meski ia berusaha menutupinya.

“Kau terlihat lebih baik,” lanjut Elvanzo sambil mendekat, meletakkan cangkir kopinya di atas meja kecil di sudut ruangan.

Aluna duduk di tepi ranjang, menatap tangannya sendiri sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, “Maaf soal semalam…”

Elvanzo duduk di kursi dekat ranjang, membungkuk sedikit untuk mencoba menangkap pandangannya. “Tidak ada yang perlu kau minta maaf, Aluna. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini. Apa pun itu, kau tidak harus menghadapinya sendirian.”

Aluna mengangguk pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Tatapannya tetap tertuju ke lantai, seolah masih mencoba memahami perasaannya sendiri.

“Kau lapar?” tanya Elvanzo, mencoba membawa percakapan ke sesuatu yang lebih ringan.

Pertanyaan itu membuat Aluna mendongak. Ada kilatan kecil di matanya, mungkin sedikit lega karena Elvanzo tidak mendesaknya. “Sedikit,” jawabnya singkat.

“Bagus. Aku sudah melihat ada kedai sarapan di seberang jalan. Kau tahu, aku tidak pandai memilih makanan, tapi aku yakin ada sesuatu yang bisa kau sukai di sana,” ucap Elvanzo sambil tersenyum kecil.

Aluna akhirnya membalas dengan anggukan lembut, dan senyum samar yang nyaris tak terlihat menghiasi wajahnya. “Baiklah.”

Dalam perjalanan menuju kedai sarapan, suasana masih tenang, tetapi tidak lagi terasa kaku. Elvanzo membiarkan Aluna menikmati keheningan yang ia butuhkan, sementara ia sendiri berjalan di sisinya, diam-diam memperhatikan bagaimana sinar matahari pagi menyentuh wajah gadis itu, memberinya nuansa hangat yang berbeda.

Saat mereka tiba di kedai, Elvanzo memecah keheningan dengan candaan ringan. “Jadi, apakah hari ini aku akhirnya akan tahu makanan favoritmu, atau kita hanya memilih secara acak seperti biasanya?”

Aluna meliriknya sekilas, kemudian menggeleng kecil sambil berkata, “Kau terlalu banyak bicara pagi ini.” Tetapi kali ini, nada suara Aluna terasa sedikit lebih cerah, membawa secercah harapan bahwa hari ini akan menjadi hari yang lebih baik.

Elvanzo tertawa kecil, senang dengan respons itu, lalu membuka pintu kedai, membiarkan Aluna masuk lebih dulu. Dalam hatinya, ia merasa yakin bahwa pelan-pelan, tembok yang dibangun Aluna akan runtuh. Dan ia bersedia menunggu, berapa lama pun itu akan memakan waktu.

Setelah menikmati sarapan yang ringan di kedai kecil di seberang jalan, Elvanzo dan Aluna kembali berjalan bersama menuju hotel. Sepanjang perjalanan, ada rasa yang aneh mengalir di dalam hati Elvanzo. Ada ketenangan yang baru terasa setelah malam yang penuh ketegangan dan tangis.

Selama ini, Elvanzo tahu betul betapa dinginnya Aluna. Ia bahkan berpikir bahwa gadis itu adalah sebuah tembok kokoh yang tak akan bisa dihancurkan. Suatu dinding keras yang bahkan tidak akan ada satu orang pun yang mampu menembusnya, apalagi ia—seorang yang terkesan selalu melihat segala hal dengan tenang, bahkan terkadang terlalu tenang.

Namun, belakangan ini, ada sesuatu yang berbeda. Sikap Aluna perlahan-lahan mulai berubah. Kata-kata yang dingin mulai sedikit terurai. Matanya yang biasanya kosong, mulai memancarkan sedikit kehangatan. Senyum tipis yang tadi pagi sempat ia berikan terasa lebih asli daripada yang Elvanzo bayangkan. Semua itu membuatnya sedikit terkejut dan, tanpa sadar, memberinya harapan yang membuatnya semakin tertarik untuk melangkah lebih dekat pada gadis itu.

"Kenapa kamu diam?" suara Aluna tiba-tiba memecah pikirannya.

Elvanzo menoleh, sedikit tersentak. "Aku? Tidak apa-apa, hanya berpikir."

Aluna meliriknya sekilas, dan Elvanzo merasa seolah ada perubahan dalam tatapan gadis itu. Bukan lagi pandangan dingin yang selama ini terbiasa ia terima, tetapi ada keingintahuan di sana, meskipun tak begitu jelas.

"Berpikir tentang apa?" tanya Aluna, suaranya sedikit lebih lembut dibandingkan sebelumnya.

"Aku berpikir tentang betapa anehnya... hubungan kita."

Aluna meliriknya lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih serius, meski tidak menghakimi. "Hubungan kita?"

Elvanzo tersenyum kecil. "Ya, maksudku... Kita seperti dua kutub yang saling berlawanan, bukan? Awalnya kau terlihat seperti... orang yang sulit didekati, tapi sekarang rasanya kita bisa berbicara dengan cara yang lebih natural. Itu sudah perubahan besar, menurutku."

Aluna sedikit mengernyitkan alisnya, tanda bingung, namun setelah itu ekspresi dinginnya perlahan memudar. "Aku… tidak tahu harus bilang apa," jawabnya pelan.

Elvanzo tertawa pelan. "Aku tidak sedang meminta jawaban, hanya ingin bilang… aku merasa sedikit lebih dekat denganmu. Itu saja."

Aluna terdiam untuk sesaat. Ia berjuang melawan dinding emosinya, berusaha agar tak terlihat canggung. Meskipun suaranya tidak setegas biasa, ia tetap bertanya. "Kenapa kamu peduli?"

Pikiran Elvanzo kembali berkecamuk, mengingat setiap momen bersama Aluna yang penuh ketegangan dan kebingungannya. "Aku… tidak tahu. Mungkin karena aku merasa seperti ada yang terpendam dalam dirimu. Sesuatu yang kau simpan rapat-rapat. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Aluna. Karena meski kau tidak berbicara tentang itu, aku bisa merasakannya."

Senyap. Waktu seakan berhenti sejenak antara mereka berdua. Aluna menundukkan kepala, mencoba mengendalikan perasaan yang mulai menggebu dalam dadanya. Ia tak tahu harus bagaimana menyikapi perhatian yang tulus dan sederhana itu. Begitu banyak perasaan yang ia coba sembunyikan di balik tembok yang selama ini ia bangun.

"Kenapa kamu selalu berpikir aku punya sesuatu yang harus kusembunyikan?" akhirnya Aluna bertanya, suaranya kini terdengar lebih jujur, tidak seperti biasanya.

Elvanzo hanya tersenyum lembut, mencoba menenangkan perasaan Aluna yang mulai goyah. "Mungkin aku hanya ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu disembunyikan. Semua orang punya sisi-sisi mereka yang gelap, dan itu tidak berarti kita harus berjuang sendirian."

Aluna menarik napas dalam-dalam, seperti mencerna kata-kata itu. "Terkadang aku merasa seperti beban bagi orang lain," gumamnya, hampir tak terdengar.

Elvanzo menatapnya dengan serius. "Kau bukan beban. Kau hanya... belum menemukan orang yang tepat untuk berbagi semuanya."

Dalam hatinya, Elvanzo merasa sebuah langkah kecil telah tercapai. Dia tahu, mungkin tembok Aluna belum sepenuhnya runtuh, tetapi dari perubahan sikap yang mulai ia tunjukkan, ada tanda bahwa sedikit demi sedikit, gadis itu membuka hatinya. Dan itu sudah cukup baginya untuk merasa bahwa langkahnya tidak sia-sia.

“Terima kasih,” ucap Aluna tiba-tiba. Kata-kata yang begitu sederhana, tetapi mengandung banyak makna.

Elvanzo hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun, dalam diam, dia tahu bahwa apapun yang terjadi setelah ini, ia sudah mulai meruntuhkan sebagian dari tembok yang telah lama membekap Aluna. Seiring berjalannya waktu, Elvanzo merasa semakin yakin bahwa kepercayaannya kepada gadis itu akan terus tumbuh—demikian pula kebukaannya, seiring dengan perasaan yang semakin jelas antara mereka berdua.

1
Lilovely
Mangat thor/Applaud/
Anonymous
semangat
Anonymous
aku suka banget ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!