Lusi, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Lusi berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Memecahkan Teka-Teki Angka
Mentari Minggu pagi menyinari Pasar Anyar, aroma rempah-rempah dan jajanan menguar di udara. Rangga, dalam kemeja lengan panjang yang dikancing rapi namun sedikit kusut, berjalan di samping Lusi yang mengenakan baju sederhana namun tetap terlihat anggun. Ini adalah pemandangan yang tak terbayangkan beberapa minggu lalu.
"Lusi," Rangga memulai, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya, "Apakah kau pernah melihat semangka sebesar ini?" Ia menunjuk ke sebuah semangka raksasa yang hampir sebesar tubuh Lusi.
Lusi tertawa kecil, suaranya merdu di tengah hiruk pikuk pasar. "Belum pernah, Pak. Di kampung saya, semangka biasanya lebih kecil, tapi lebih manis."
Rangga tersenyum, senyum yang tulus dan hangat, berbeda jauh dari senyum formal yang biasa ia tunjukkan di kantor. "Ah, begitu. Setiap daerah memang memiliki kekhasannya masing-masing, ya?"
Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, Rangga sesekali menunjuk dan menjelaskan berbagai jenis sayuran dan rempah-rempah. Lusi mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas yang membuat Rangga terkesan.
Di sebuah warung sederhana, mereka duduk berdampingan, menikmati segelas es kelapa muda dan beberapa kue tradisional.
"Rasanya... mengingatkan saya pada masa kecil," kata Rangga, menatap es kelapa mudanya. "Ibu saya sering membawakan saya ke pasar seperti ini."
Lusi mengangguk, menatap kue cucur di tangannya. "Saya juga suka suasana pasar seperti ini. Rasanya lebih...hidup."
"Lebih hidup?" Rangga mengulangi, menatap Lusi dengan penuh perhatian.
"Ya," Lusi menjawab, "Lebih terasa kehidupan nyata di sini, tidak hanya angka-angka dan kesepakatan bisnis seperti di kantor."
Rangga terdiam sejenak, memandang Lusi dengan tatapan yang dalam. "Mungkin kau benar," katanya pelan, suaranya terdengar sedikit berat. "Mungkin aku terlalu lama terkurung dalam dunia angka."
Lusi tersenyum, senyum yang penuh pengertian. "Tidak apa-apa, Pak. Kita semua butuh keseimbangan, bukan begitu?"
Rangga mengangguk, senyumnya melebar. Di antara hiruk pikuk pasar, di antara aroma rempah dan tawa, terjalin sebuah ikatan yang lebih kuat dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.
Di tengah kesederhanaan pasar tradisional, mereka menemukan kesamaan yang mendalam, menemukan sebuah koneksi yang menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Sore itu, cahaya senja menyelimuti ruang kerja Rangga. Suasana tegang terasa di udara. Di atas meja, berkas-berkas laporan keuangan berserakan, menunjukkan betapa rumitnya masalah yang sedang dihadapi Rangga. Ia mengusap wajahnya dengan lelah.
"Aku tidak mengerti, Lusi," gumam Rangga, suaranya terdengar frustrasi. "Angka-angka ini tidak masuk akal! Ada kesalahan besar di laporan keuangan kuartal ini, dan aku tidak bisa menemukannya."
Lusi, yang sejak tadi mengamati Rangga dari balik mejanya, mendekati dengan tenang. "Permisi, Pak Rangga. Boleh saya lihat laporan keuangannya?"
Rangga menyerahkan berkas tersebut dengan ragu. "Silakan, Lusi. Tapi aku sudah memeriksa berulang kali, dan aku masih tidak menemukan kesalahan."
Lusi menerima berkas tersebut, matanya fokus pada angka-angka di halaman pertama. Ia membaca dengan teliti, jari-jarinya sesekali menunjuk ke detail tertentu. Setelah beberapa saat, ia menunjuk ke sebuah kolom.
"Pak Rangga," katanya, suaranya tenang namun tegas. "Saya rasa ada kesalahan perhitungan di kolom ini. Sepertinya ada angka yang tertinggal."
Rangga memeriksa kolom yang ditunjuk Lusi. Ia mengerutkan kening, kemudian matanya melebar. "Benar juga! Aku melewatkan angka ini. Bagaimana kau bisa menemukannya?"
Lusi tersenyum tipis. "Saya memperhatikan ada ketidaksesuaian antara total pendapatan dan pengeluaran. Kemudian saya memeriksa setiap kolom secara detail."
Rangga menghela napas lega. "Terima kasih, Lusi. Kau menyelamatkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa bantuanmu."
"Sama-sama, Pak Rangga," jawab Lusi, senyumnya merekah. "Kita bekerja sebagai tim, bukan begitu?"
Rangga mengangguk, memandang Lusi dengan penuh kekaguman. Di tengah kekacauan angka-angka dan tekanan pekerjaan, mereka telah bekerja sama, saling mendukung, dan berhasil mengatasi masalah tersebut.
Momen itu semakin mempererat ikatan di antara mereka, membangun rasa saling percaya dan menghargai yang lebih dalam. Di luar jendela, senja telah berganti malam, tapi di dalam ruangan, suasana terasa hangat dan penuh harapan.