Shereny Claudine, seorang perempuan mandiri dan tegas, terpaksa mencari pekerjaan baru setelah putus dari kekasihnya yang berselingkuh serta kepergian ibunya. Tak ingin bergantung pada siapa pun, ia melamar sebagai pengasuh (baby sitter) untuk seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Arga. Tak disangka, ayah dari Arga adalah Elvano Kayden, pria arogan dan kaya raya yang pernah bertemu dengannya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Elvano, seorang pengusaha muda yang dingin dan perfeksionis, awalnya menolak keberadaan Shereny. Menurutnya, Shereny terlalu keras kepala dan suka membantah. Namun, Arga justru menyukai Shereny dan merasa nyaman dengannya, sesuatu yang sulit didapat dari pengasuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya, Elvano terpaksa menerima kehadiran Shereny di rumah mewahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larasati Pristi Arumdani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 : Hilang Arah
Seorang wanita berjalan dengan anggun. Wajahnya yang cantik serta memiliki tatapan mata yang syahdu. Rambutnya hitam legam seperti terawat dengan baik. Ia menggunakan blazer dan tas totebag pink yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Ternyata susah sekali mencari pekerjaan. Aku harus bekerja supaya bisa mendapatkan apa yang aku mau. Lagipula aku juga harus membayar hutang-hutang ibuku.” Wanita itu menyikap rambut indahnya dan memijat keningnya secara perlahan. Namun, perempuan yang ada di depannya hanya menatap iba. “Sheren, aku kan sudah bilang, terima saja tawaran Pak Ginanjar soal bekerja menjadi pramugari. Lagian Pak Ginanjar nggak minta apa-apa kan dari kamu?” Tanya perempuan tersebut terhadap Shereny. Gadis cantik yang memiliki hidung mancung serta tatapan mata yang tajam, Kayyisa Olivia. Sahabat dekat Shereny. Mereka sudah bersahabat selama 10 tahun. Kayyisa selalu memahami apa yang dihadapi oleh sahabatnya itu.
“Kay, Pak Ginanjar itu sering banget ngeliatin aku dengan tatapan seramnya itu. Ya, aku jadi mikir yang nggak-nggak dong.” Jelas Shereny. Kayyisa pun menggelengkan kepala dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lalu mau kamu kayak gimana Sher? Kamu mau kayak gini terus? Lagian Pak Ginanjar itu nggak bakal apa-apain kamu. Percaya deh sama aku.” Kayyisa berusaha untuk meyakinkan Shereny untuk menerima tawaran Pak Ginanjar, seorang direktur dari maskapai ternama. Pak Ginanjar merupakan teman dekat almarhum ayahnya. Shereny pun berpikir lebih keras untuk meyakinkan dirinya, menurutnya Kayyisa benar. Jika ia menolak pekerjaan tersebut, bisa saja ia kehilangan kesempatan.
“Kita nggak tahu kan kalau kamu bisa saja ketemu jodohmu?” Tanya Kayyisa sambil tersenyum kecil seperti meledek Shereny. Shereny hanya tersenyum kecil seperti meremehkan perkataan Kayyisa. Kayyisa menghela nafas sambil berdecak pinggang “Lagipula kamu nggak kepikiran buat nikah? Siapa tau kan ada cowok kaya raya yang mau nikahin lu? Hahaha.” Ujar Kayyisa. Shereny pun hanya berpaling wajah dan meminim kopinya. “Mimpi jangan ketinggian lah, Kay. Kalau jatuh, sakitnya itu loh.” Ucap Shereny. Kayyisa pun hanya menaikkan bahunya sambil tersenyum “Ya kan omongan adalah doa Sher.” Lalu mereka tertawa bersama.
Waktu sudah menjelang maghrib. Shereny pun hanya berdiri menatap langit yang mulai membiru dari jendela kamarnya. Shereny pun menoleh ke belakang ketika ibunya masuk ke kamarnya dan langsung memeluk tangan Shereny.
“Sher, maafin ibu ya kalau buat shereny pusing.” Ucap sang ibu dengan ekspresi rasa bersalahnya. Shereny hanya menghela nafas berat dan memeluk ibunya dengan erat. “Nggak apa-apa bu, Shereny akan melakukan apapun asal ibu bahagia dan nggak sakit-sakit lagi. Ibu tenang aja ya, Shereny janji akan memperbaiki ekonomi kita.” Sang ibu pun merasa terharu dengan perkataan Shereny yang begitu menyentuh.
Sang Ibu pun mengusap lembut pipi Shereny dan menanyakan kabar Reynold. "Ren, bagaimana kabar Reynold? Ibu sudah jarang melihat Reynold main kerumah. Kamu dan dia baik-baik saja kan?" Shereny hanya tersenyum kecut dan mengangguk dengan terpaksa. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya.
...****************...
Suasana sore di sebuah kafe kecil di sudut kota. Shereny Claudine duduk di salah satu meja, memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin. Di depannya, Reynold duduk sambil sibuk dengan ponselnya. Mata Shereny sesekali melirik ke arahnya dengan rasa kecewa. Shereny menatap tajam ke arah Reynold "Rey, kamu denger aku nggak? Dari tadi aku ngomong, tapi kayaknya kamu lebih peduli sama layar itu." Reynold pun menjawan tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel "Iya, iya, aku denger, kok. Kamu bilang kerjaan di kantor makin berat, kan? Udah, jangan terlalu dipikirin." Shereny pun menghela nafas "Nggak cuma itu, Rey. Aku bilang aku butuh dukungan. Aku ngerasa capek, tapi kamu malah begini. Bisa nggak kita ngobrol tanpa ada "orang ketiga" bernama ponsel itu?" Reynold mendengus kecil, akhirnya menaruh ponsel di meja "Oke, oke. Aku denger sekarang. Jadi, kamu mau ngomong apa?" Tatapan mata Shereny terhadap kekasihnya itu pun mulai lelah "Rey, aku nggak minta banyak. Aku cuma butuh kamu ada buat aku, meskipun cuma sebentar. Kita udah jarang banget ngobrol. Kamu selalu sibuk, nggak cuma sama kerjaan, tapi juga sama... "teman-teman" kamu." Reynold pun mengangkat alisnya "Maksud kamu apa? Teman-temanku? Serius, Reny? Kamu mulai suuzan lagi, ya?" Shereny pun meninggikan suaranya terhadap kekasihnya itu "Suuzan? Aku lihat sendiri, Rey. Kemarin aku lihat kamu sama cewek itu di mall. Tangan kalian... (menahan suara, mencoba menenangkan diri) ...aku ngeliatnya jelas, Rey. Reynold pun terkejut, tapi mencoba tetap tenang "Oh, itu... Itu cuma temen kantor, Reny. Kita cuma makan siang, nggak lebih. Kamu serius marah cuma gara-gara itu?"
Shereny pun hanya tertawa pahit "Cuma makan siang" tapi tangannya nggak bisa jauh dari kamu, ya? Aku tahu, Rey. Aku udah cukup sabar selama ini. Setiap ada tanda-tanda, aku selalu berusaha tutup mata. Tapi kali ini, aku nggak bisa."
Reynold menyandarkan punggung ke kursi, terlihat kesal "Jadi kamu lebih percaya pikiran negatif kamu daripada aku, pacar kamu sendiri? Keren, Shereny. Nggak nyangka kamu bisa seposesif ini." Shereny menghela nafasnya dan menatap Reynold dengan mata berkaca-kaca "Ini bukan soal posesif, Rey. Ini soal kepercayaan. Kepercayaan yang udah kamu hancurin. Aku capek selalu berusaha paham sama kamu, tapi kamu malah ngelakuin ini di belakangku."
Reynold pun menyilangkan tangan di dada "Terus, sekarang apa? Kamu mau putus gara-gara asumsi yang bahkan belum terbukti?" Shereny mengangguk pelan "Bukan asumsi, Rey. Hati aku udah terlalu sering merasa ada yang salah, tapi kali ini aku nggak mau buta lagi."
Reynold membelalakkan mata. "Serius, Reny? Cuma gini doang, kita putus? Kita udah lama bareng, dan kamu mau ngehancurin semuanya?" Shereny berdiri dari kursi, menatapnya dengan tatapan tegas "Aku nggak ngehancurin apa-apa, Rey. Kamu yang ngelakuin itu sendiri. Aku cuma memilih buat nggak tinggal di reruntuhan." Shereny mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kafe tanpa menoleh ke belakang. Reynold hanya duduk diam, menatap punggungnya dengan ekspresi tak percaya.
...****************...
Shereny duduk di tepi tempat tidurnya sambil memandangi ponselnya. Ada beberapa pesan dari Reynold yang masuk.
Pesan dari Reynold:
“Reny, kita bisa ngomong baik-baik, kan? Aku nggak mau kita selesai kayak gini.”
Pesan dari Reynold:
“Kalau kamu masih sayang aku, kita bisa perbaiki ini.”
Shereny menatap pesan itu lama, jari-jarinya melayang di atas layar. Tapi akhirnya, ia menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Shereny (berbicara pada dirinya sendiri) "Kalau dia benar-benar peduli, dia nggak akan butuh kesempatan kedua." Shereny menutup matanya sejenak, membiarkan air mata jatuh. Tapi kali ini, bukan air mata penyesalan. Ini air mata kebebasan dari luka yang terlalu lama ia simpan. Masa-masa Shereny dengan Reynold memperlihatkan bagaimana Shereny bertahan di dalam hubungan yang tak lagi sehat. Momen ini juga menjadi titik balik bagi Shereny untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan melepaskan seseorang yang tidak lagi menghargainya. Keberanian ini menjadi pondasi bagi perjalanan Shereny selanjutnya.