**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Pagi itu, suasana di restoran cukup tenang, dengan beberapa tamu menikmati sarapan mereka. Arga dan Kayla duduk di meja dekat jendela, menikmati pemandangan pagi sambil sarapan. Kayla, yang tidak bisa menahan kebiasaannya untuk berbicara terbuka, tiba-tiba melontarkan kalimat yang cukup mengejutkan.
"Wah, Arga, uangmu banyak ya! Kamu bisa membiayai aku selama liburan, nih!" ujarnya dengan nada ceria dan polos, sambil memandang Arga dengan senyum lebar. Kayla, yang memang dikenal dengan kelucuannya, berbicara tanpa terlalu memikirkan apa yang akan dia katakan, dan terkadang perkataan seperti itu keluar begitu saja.
Arga, yang sudah terbiasa dengan sikap ceroboh dan lucu Kayla, hanya terkekeh pelan, merespon dengan tawa kecil. Dia mengusap lembut kepala Kayla, tanda kasih sayang yang dalam. "Jangan terlalu banyak berharap, Kayla," jawab Arga dengan senyuman hangat, meskipun di matanya ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan.
Namun, saat itulah Mentari, yang juga sedang sarapan bersama Wijaya dan anak mereka, melihat mereka berdua. Mentari terkejut begitu melihat Arga dan Kayla di restoran yang sama. Ada perasaan yang langsung meluap di dadanya, terutama saat dia melihat bagaimana Arga memperlakukan Kayla dengan lembut dan penuh perhatian. Mentari menyaksikan Arga mengusap kepala Kayla dengan cara yang penuh kasih, dan tiba-tiba dadanya terasa panas, seolah ada api yang menyala di dalamnya.
Perasaan itu begitu mendalam, namun Mentari berusaha menahannya. Dia mencoba fokus pada anak dan suaminya yang sedang duduk di mejanya. Meskipun begitu, ketegangan yang ada jelas tak bisa dia sembunyikan. Bagaimanapun juga, Arga masih memiliki tempat di hatinya, dan melihatnya bersama Kayla, membuatnya merasa cemas dan tak nyaman. Tapi, dengan penuh pengendalian diri, Mentari berusaha menjaga ekspresinya agar tetap tenang, meskipun di dalam hati ada kegelisahan yang tak bisa dihindari.
Liburan yang seharusnya menjadi momen untuk bersantai dan menikmati waktu bersama keluarga ternyata terasa begitu berbeda bagi Mentari. Sejak keberangkatan mereka ke Bali, dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus membayanginya. Namun, takdir seakan tidak memberi ruang baginya untuk melupakan apa yang ada di hatinya.
Mentari berusaha menghindari Kayla dan Arga, berusaha menjaga jarak agar tidak terjebak dalam situasi yang membingungkan dan penuh kecemasan. Setiap kali dia melihat mereka, entah itu di restoran, di pantai, atau bahkan di kolam renang, perasaan cemburu dan keraguan selalu datang menghampiri. Keinginan untuk menjaga keluarganya dengan Wijaya tampak semakin sulit ketika bayang-bayang masa lalu bersama Arga terus muncul dalam pikirannya.
Namun, takdir memang aneh. Mereka selalu bertemu di tempat yang tak terduga. Pada suatu pagi yang cerah, saat Mentari berencana untuk beristirahat di area resor yang berbeda, tak lama setelah dia menemukan tempat yang sepi, dia justru melihat Arga dan Kayla yang sedang menikmati sarapan di meja yang berdekatan. Pandangan mereka bersatu dalam kehangatan, seolah tak ada yang menghalangi kedekatan mereka.
Mentari menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu ini adalah liburan bersama keluarganya, namun menghindar dari kenyataan seakan membuatnya merasa semakin terperangkap. Dalam hati, dia berharap pertemuan yang tak terduga ini akan segera berakhir, namun kenyataan tidak pernah semudah itu.
Pada saat yang lain, saat dia sedang berjalan di pantai, dengan sengaja berusaha menikmati ketenangan, takdir kembali mempertemukan mereka. Arga dan Kayla berjalan berdekatan, tertawa dan berbicara dengan penuh kebahagiaan. Mentari berusaha menjaga jaraknya, tapi hatinya tetap terguncang. Tidak peduli seberapa keras dia mencoba, takdir selalu membawa mereka ke dalam jalur yang sama, membuat perasaan yang sulit dia atasi terus muncul kembali.
Sementara itu, meskipun Mentari berusaha menahan perasaan dan menjalani hari-harinya dengan keluarga, dia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dirinya masih terikat pada masa lalu yang belum sepenuhnya dia lepaskan. Perasaan cemas, bingung, dan kadang-kadang rasa bersalah menghantui dirinya sepanjang liburan ini.
Mentari merasa perasaan yang sudah lama terkubur mulai mengguncang saat Arga meninggalkannya untuk entah kemana, meninggalkan Kayla sendirian di pinggir pantai. Dalam sekejap, segala perasaan cemburu dan ketegangan yang sudah disembunyikan seakan meledak. Tanpa pikir panjang, dia beranjak dari tempat duduknya dan berpura-pura izin ke toilet kepada Wijaya dan anaknya. Langkahnya terasa berat, namun dia tahu, perasaan itu harus diungkapkan.
Saat Mentari berjalan menuju Kayla, dia tidak tahu bahwa Kayla tidak menyadari kehadirannya. Ketika tiba di dekat Kayla, Mentari memanggilnya dengan nada yang dingin, "Kayla."
Kayla yang sedang termenung tiba-tiba terkejut, menoleh dan mendapati bosnya ada di sana. "Bu Mentari?" ucapnya dengan lirih, tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia kenal ramah dan penuh perhatian kini berdiri di depannya dengan ekspresi yang sangat berbeda.
Mentari tersenyum miring, namun senyum itu penuh dengan makna yang tak terucapkan. "Bagus, ya sekarang jadi gundik-nya Arga," katanya, nada suaranya tajam dan penuh sindiran. Kata-kata itu seperti pisau yang menghujam langsung ke hati Kayla. Dia melotot, tidak menyangka bahwa Mentari yang selalu baik kepadanya akan berkata seperti itu. Perasaan bingung, marah, dan kecewa bercampur aduk dalam dirinya.
Sebelum Kayla sempat membalas atau berkata apa-apa, Mentari dengan dingin mengucapkan kata-kata berikut, "Kamu, saya pecat." Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Mentari berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Kayla yang terdiam kaget, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kayla duduk dengan lemas, tubuhnya terasa lelah dan hatinya seakan runtuh. "Bagaimana ini? Aku dipecat... lalu hidupku bagaimana?" lirihnya dalam kebingungan yang mendalam. Frustasi menyelimuti dirinya, perasaan campur aduk antara malu, marah, dan bingung membuatnya hampir tidak bisa berpikir jernih. Semua yang terjadi begitu cepat dan tidak terduga. Kayla merasa seperti berada di persimpangan jalan yang gelap, tanpa tahu harus melangkah kemana lagi.
Arga datang dengan senyum, membawa dua buah kelapa muda yang segar, berharap untuk menikmati waktu bersama Kayla. Namun, ketika dia melihat wajah Kayla yang tiba-tiba tampak jauh berbeda—tidak ada lagi senyum ceria yang biasanya menghiasi wajahnya—hatinya langsung tergerak.
"Kenapa sayang?" tanya Arga lembut, berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
Kayla mendongak, matanya tampak merah, seolah baru saja menangis. Perlahan, dia menjelaskan dengan suara terputus-putus, "Arga, tadi... Mentari datang. Dia langsung... memecatku. Bagaimana hidupku selanjutnya?" Ucapannya penuh kebingungan dan kekhawatiran, seakan-akan dunia sekitarnya runtuh begitu saja.
Arga terkejut, hatinya langsung diliputi rasa cemas. Dia melihat Kayla yang tampak rapuh, begitu berbeda dari biasanya. "Apa? Memecatmu?" Arga bertanya, seolah tidak percaya. Tanpa bisa menahan rasa bingung, Arga mendongak dan melihat sekeliling, mencari-cari sosok Mentari. Dia berharap bisa melihatnya, tapi Mentari sudah pergi.
Dia merasa marah, bingung, dan cemas. "Kamu... kenapa dia melakukan itu?" Arga bertanya lagi, lebih keras kali ini, karena emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Kayla hanya bisa mengangkat bahunya, tampak tertekan dengan situasi yang datang begitu mendalam. "Aku tidak tahu, Arga. Tadi, dia bilang aku gundikmu, dan kemudian dia langsung memecatku begitu saja..." Kayla menjelaskan dengan suara parau, tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan mengapa Mentari bersikap begitu.
Arga meremas kelapa muda di tangannya, merasa sakit hati melihat Kayla dalam keadaan seperti ini. "Aku akan berbicara dengan Mentari," ujarnya dengan tegas. "Dia tidak berhak memperlakukanmu seperti itu." Namun, di dalam dirinya, Arga tahu bahwa situasi ini lebih rumit dari yang bisa dia hadapi begitu saja.
Mereka berdua terdiam, situasi yang penuh ketegangan menyelimuti mereka berdua, sementara bayang-bayang dari masa lalu dan hubungan yang rumit mulai menguasai setiap langkah mereka.
semangat Thor