Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dih, Kocak
“Levin, aku—” Dengan tak acuh Levin melewati gadis itu begitu saja, mengabaikan kata-kata yang hendak Dizza ucapkan. Dia merasa tidak ingin bicara atau mendengar apapun paling tidak untuk sekarang. Dia tidak ingin mengeluarkan isi hatinya dan salah bicara di depan Dizza. Untuk apa pula dia perlu mendengarkan konfirmasi dari gadis itu? kalau pada akhirnya hanya ada kedukaan yang dia dapatkan? Kalau dipikir-pikir alasan mengapa Dizza memintanya pulang lebih dulu juga masuk akal. Barang kali dia memang ingin berduaan saja dengan Edzhar tanpanya. Kalau sudah begitu, memang apa lagi yang bisa dia lakukan? Dia harus legowo, dan mungkin akan lebih bijak lagi kalau dia bisa bersikap tidak peduli. Biarlah kalau memang Dizza mau bersama dengan Edzhar atau siapapun yang gadis itu sukai. Meski mereka berteman sejak kecil, tetapi bukan berarti Dizza adalah miliknya. Hubungan platonic diantara mereka tidak berarti apa-apa. Jadi terserah dia saja. Gadis itu mau jadi milik siapa pun bukan urusannya, dia tidak berhak menghalanginya apalagi kalau jalan itu membuat Dizza bahagia. Levin tidak akan—
Tetapi sekali lagi langkah Levin terhenti. Perlahan dia memutar badannya, tatapan matanya pemuda itu terhenti pada sosok gadis yang juga berdiri di posisinya dengan terpaku. Sosok gadis ini adalah seseorang yang sudah menenaminya, sosok yang entah sejak kapan sudah mengisi hatinya. Memangnya bisa semudah itu bagi Levin? Relakah dia membiarkan gadis itu menjadi milik orang lain? sanggupkah dia menjalani hari-hari tanpa celotah tak penting, atau kemarahannya yang tidak perlu, juga masakannya yang lezat?
“Ah, sial! bodo amat!” sembari menggerutu Levin berderap ke arah Dizza, berdiri menjulang di depan si gadis yang kini malah menatapnya dengan tatapan super bingung. “Jangan tinggalkan aku.”
Kedua mata gadis itu menatap kedua mata Levin dan dia terlihat makin tak mengerti dengan tingkah polah Levin saat ini. “Siapa yang mau meninggalkanmu?”
“Kau.”
“Aku?” Dizza menunjuk dirinya sendiri dengan kedua kelopak mata membelalak. Terperangah atas tudingan tak berdasar yang Levin layangkan terhadapnya. “Darimana kau bisa dapat gagasan bodoh itu tiba-tiba?”
Levin memberi isyarat pada gerombolan Daneth yang masih duduk di posisi mereka di sisi terluar kantin. Mereka masih tampak asyik bercengkrama disana dan mungkin saja sudah tercipta cerita liar yang lebih memuakan lagi. Dizza pun memandang ke arah mereka. “Ada apa dengan mereka?”
Levin menghela napas bahkan dia sempat meneguk salivanya sendiri. Sekarang situasinya jadi lebih memalukan dari pada yang dia kira. Bagaimana dia bisa menjelaskan pada Dizza kalau dia melihat foto Dizza dan Edzhar sedang duduk bersama di sebuah toko kue berdua saja? apakah dia akan marah padanya atau menertawakannya? Yang jelas keduanya tidak terlalu bagus buat Levin.
“Itu—”
“Ah, lama. Biar aku tanya saja langsung.” Merasa gemas karena Levin terlalu lama memberinya jawaban. Dizza secepat kilat langsung menghampiri meja sang ratu kampus beserta gerombolannya. Menuntut pertanggung jawaban dari mereka semua atas tingkah Levin yang aneh kepadanya. Ya, Dizza bukan orang yang sabar untuk sesuatu yang tidak jelas.
“Jadi apa yang menyebabkan dia bersikap bodoh padaku? ada yang tahu alasannya?” tanya Dizza begitu dia menghampiri Daneth.
Daneth hanya tertawa di kursinya. Tidak mengira bahwa Dizza akan datang padanya dan menuntut seperti ini. “Oh ya ampun, apa pria besar itu mengadu padamu? Apa yang dia katakan?”
“Justru dia tidak mengatakan apa-apa, makanya aku ingin dengar langsung dari sumbernya,” sahut Dizza.
“Well, kami hanya membagi cerita yang menarik padanya soal kau dan Edzhar yang berkencan kemarin. Ada seseorang yang membagi foto kalian berdua. Kabarnya kau dan Edzhar sudah berpacaran, tidak seperti itu kan, Dizza?” tanya Daneth sambil memberikan delikan pada Dizza.
Dizza menghela napas. Ternyata sesuatu yang remeh. Dia tidak mengira kalau Levin akan bereaksi seperti ini hanya karena kabar tidak jelas yang disebarkan oleh orang tidak bertanggung jawab seperti mereka.
“Wah, kabar yang menarik. Bahkan aku saja sampai tidak menyangka akan ada opini seliar itu dari kalian,” timpal Dizza malas-malasan. “Tadinya kupikir ada apa, makanya aku bertanya langsung. Taunya hanya kabar burung tidak jelas. Kalau memang kisah hidupku semenarik itu buat kalian, kenapa kalian tidak tanya langsung saja padaku sekarang? atau kau bisa bertanya pada Edzhar juga. Kalian jadi membuat kami tidak nyaman,” lanjut Dizza. Kemudian dia berpaling pada Levin yang kebetulan sudah menghampirinya di sana meski dia berdiri cukup jauh darinya. “Lain kali jangan mudah percaya pada cerita hoax, Levin. Bisa-bisanya kau lebih percaya pada orang lain dari pada aku. Untuk hal-hal yang berkaitan denganku kan kau punya mulut untuk bertanya padaku langsung, jangan malah seperti orang bodoh begitu. Tiba-tiba tidak mood, dan bersikap tak jelas. Itu malah membuatku bingung. Asal kau tahu saja, aku memperlakukanmu dan Edzhar sama. Jangan termakan pikiranmu sendiri dan berasumsi liar soal kami. Aku membuatkan Edzhar kue, aku juga membuatkanmu bekal. Bukankah itu perlakuan yang sama dan adil sebagai teman?”
Perlu beberapa detik bagi Levin untuk mencerna semua perkataan Dizza. Sampai akhirnya dia bisa memahami semua yang gadis itu maksudkan. Kalimat panjang yang penuh dengan emosi di sana mengisyaratkan bahwa Dizza lelah menanggapi gosip miring soalnya. “Ja—jadi kau ...”
Dizza menghela napas. “Apa masih kuperjelas lagi?”
Levin menggeleng pelan.
“Jadi kau sudah mengerti kan dengan apa yang aku maksud?”
Levin menganggukan kepala.
“Sudah cukup kan?”
“Iya.”
Dizza kemudian berbalik lagi pada geng ratu kampus untuk sekadar menatap mereka satu persatu. “Aku harap aku mendengar sesuatu yang lebih baik kedepannya. Sejujurnya aku lelah mendengar omong kosong seperti ini. Dan sekarang entah yang sudah keberapa. Kemarin-kemarin aku membiarkannya karena kupikir terlalu merepotkan untuk melakukan klarifikasi. Tapi berhubung yang sekarang agak mengganggu, kuharap kau berhenti mengurusi urusan hidup orang lain dan kau memperhatikan dirimu sendiri. Queen Bee,” ujar Dizza dengan nada tajam di akhir. Bahkan dia secara terang-terangan mengatakan julukan kepada Daneth yang seketika membuat perempuan itu padam muka.
“Kau!”
“Ayo pergi, Levin!” kata Dizza yang langsung menyeret sahabatnya itu pergi dari sana.
Hal-hal seperti ini sangat merepotkan, Dizza paling ogah meladeni si drama queen. Kalau punya waktu lebih baik dia memilih menyibukan diri saja ketimbang menghadapi Daneth karena itu hanya membuang energinya.
Levin masih diam, dan ketika mereka berada di pelataran parkir. Dizza langsung menghadap lelaki itu lagi. “Ada yang ingin kau katakan sekarang, Levin?”
Levin menundukan sedikit kepalanya hingga bibir pemuda itu berada di dekat telinga si gadis. “Aku mau bekal darimu setiap hari,” bisiknya.
Dizza mendecak dan menutup bibir pria itu dengan telapak tangannya sambil mendorong kepala Levin menjauh darinya. “Ck, dasar bocah.”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱