Hidup Aina seperti diselimuti kabut yang tebal saat menemukan kenyataan kalau Fatar, lelaki yang dicintainya selama 7 tahun ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Namun Fatar tak sendiri, ada seorang wanita bersamanya. Wanita tanpa identitas namun menggunakan anting-anting yang sama persis dengan yang diberikan Fatar padanya. Aina tak terima Fatar pergi tanpa penjelasan.
Sampai akhirnya, Bian muncul sebagai lelaki yang misterius. Yang mengejar Aina dengan sejuta pesonanya. Aina yang rapuh mencoba menerima Bian. Sampai akhirnya ia tahu siapa Bian yang sebenarnya. Aina menyesal karena Bian adalah penyebab hidupnya berada dalam kabut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuatu Yang Aira Pendam
Arya mengantarkan Aina seperti biasa di depan tempat kost itu.
"Maaf ya, aku tak bisa mengajak kamu masuk soalnya tempat kost ini khusus kaum perempuan." kata Aina beralasan. Untungnya ia tahu dari ibu mertuanya kalau tempat kost ini khusus perempuan.
"Ok. Tak masalah. Sehat selalu ya Aina." Arya melambaikan tangannya sebelum pergi.
Setelah mobil Arya menghilang Aina kemudian melangkah menuju ke rumah mertuanya. Namun saat ia akan masuk ke dalam halaman rumahnya, ia mendengar ada suara mobil yang berhenti. Aina membalikan badannya dan terkejut melihat kakaknya yang turun dari mobil itu.
"Aina.....!" panggil Aira.
"Bagaimana kakak bisa tahu aku ada di sini?" tanya Aina.
"Kamu lupa ya kalau ponselmu terhubung dengan ponsel kakak sehingga kita bisa saling tahu keberadaan masing-masing sekalipun kamu sudah ganti nomor hp."
Aina berdesis kesal. Ia sampai lupa dengan program itu.
"Kakak mau apa?"
"Ayo kita pulang, Ai. Kasihan mama sakit." Aira menarik tangan adiknya.
"Aku nggak mau. Aku sudah menikah."
Aira menatap adiknya dengan wajah kesal. "Hanya karena kamu kecewa dengan kami, lalu kamu menikah dengan sembarangan orang? Tinggal di rumah seperti ini? Ya ampun, Aina. Masak air saja kamu nggak tahu, mencuci pakaian sendiri pun kamu nggak tahu. Lalu mengapa harus hidup susah seperti ini?"
"Aku bahagia dengan pilihanku. Aku sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri."
"Aina, jangan hukum kami seperti ini." kata Aira. Air matanya mengalir membasahi pipi mulusnya. Aina menatap kakaknya dan menemukan ada memar di wajah dan leher kakak nya.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Aina. Ia berusaha memegang wajah kakaknya namun perempuan itu menghindar. Ia mundur dua langkah.
"Ayo kita bicara di tempat lain." ajak Aira. Aina pun masuk ke dalam mobil kakaknya.
Tita sempat melihat menantunya yang pergi. Ia nampak bertanya-tanya siapa lelaki itu.
Aira mengajak adiknya pergi ke cafe favorit mereka dengan es kopi yang menjadi favorit Aina. Kalau dulu minum es kopi ini tentu bukan masalah bagi Aina dengan harganya yang mahal, namun sekarang, Aina harus berpikir dua kali untuk mengeluarkan uang banyak hanya untuk segelas es kopi.
"Kak, ada apa dengan wajah dan lehermu? Jangan katakan kalau itu karena kena benturan." tanya Aina begitu pesanan mereka datang.
Aira menarik napas panjang. Wajah cantiknya nampak muram. Ia menghapus air matanya yang perlahan jatuh.
"Mas Tio memukulmu?" tanya Aina dengan emosi yang tak tertahankan.
"Aku yang salah, Ai."
"Sekalipun kakak yang salah, mas Tio seharusnya tak melakukan KDRT padamu. Masa kan seorang jaksa sikapnya seperti itu. Terus, di mana Denis?"
"Denis ada di rumah mama. Aku membawa Denis bersamaku karena memang dia sedang libur."
"Mas Tio nampaknya pendiam. Kenapa bisa kasar begini? Dan kakak hanya diam saja?"
Aira nampak gelisah. "Jangan bicarakan tentang kakak. Bicaralah dulu tentang kamu."
"Apa yang harus dibicarakan. Kakak lihat kan aku baik-baik saja sekalipun papa memblokir semua kartu bank ku. Aku masih hidup dan bernapas karena Allah menghadirkan orang-orang baik dalam hidupku."
"Ai, kamu memang kelihatan baik-baik saja. Namun badanmu kurus. Pakaian yang kamu kenakan juga nampaknya hanyalah pakaian murahan di pasar. Bagaimana dengan tempat tidurmu, bagaimana dengan kamar mandinya? Bukankah kamu dikenal sebagai seorang yang sangat bersih?"
"Alhamdulillah kamar mandinya bersih, kamarnya bersih walaupun tak menggunakan marmer. Aku bisa bertahan karena semua rasa sakit yang kalian lakukan."
"Ai, suamimu itu hanya seorang satpam. Kakak takut justru kamu akan menyerah akhirnya."
"Aku bertahan atau menyerah, tak akan pernah menyakiti hatiku. Sudahlah kak, jangan urus diriku. Aku harus pulang karena ini sudah malam." Aina berdiri namun Aira menahan tangannya.
"Kamu tak ingin pulang dan melihat mama? Mama sakit, Ai."
"Tidak." Aina langsung pergi meninggalkan kakaknya. Ia langsung menemukan angkot saat keluar dari tempat itu.
Sedangkan Aira, ia masih membayar minuman yang mereka pesan lalu segera pergi dengan mobilnya. Namun, saat Aira akan meninggalkan tempat itu, ia melihat ada seorang pria di mobil sedang berwarna hitam. Pria itu sedang menatap ke arahnya. Walaupun pria itu menggunakan kacamata hitam, namun bentuk wajahnya tak mungkin Aira lupakan. Hamid?
Lelaki itu menaikan kaca mobilnya dan segera pergi dari sana. Aira pun segera pergi dengan sejuta pertanyaan dalam hatinya. Hamid, adalah lelaki yang menjadi pacar Aira waktu ia kuliah di Australia. Lelaki yang telah mendapatkan kesuciannya dan menyebabkan Tio suaminya selalu merendahkan Aira karena mendapatkan Aira yang sudah tak perawan lagi.
***********
"Belum tidur?"
Aina menoleh dengan kaget. "Kak Emir? Bukankah tadi ibu bilang kalau kakak akan bertugas sampai pagi karena teman kakak nggak masuk?"
"Sebenarnya begitu namun ternyata dia bisa datang juga. Makanya kakak pulang."
Aina bergeser sedikit dari tempatnya duduk saat Emir duduk di sampingnya. Gadis itu emang sedang duduk di gazebo belakang makanya ia tak mendengar ketika Emir datang.
"Sudah jam 10. Memangnya kamu tak mengantuk?" tanya Emir sambil memegang tangan Aina. "Tanganmu dingin."
"Aku tak mengantuk."
Emir meraih tangan Aina dan mengurungnya dalam genggaman tangannya yang besar. "Ada apa denganmu, Ai?"
Aina menunduk. Sepertinya ia tak bisa menyembunyikan apapun pada Emir. "Mama sakit. Aku ingin pergi dan melihatnya. Namun hatiku masih sakit dengan apa yang mereka lakukan padaku. Aku merindukan mereka. Tapi aku juga benci dengan semua kenyataan dimana mereka semua membohongiku. Aku nggak tahu harus bagaimana. Terkadang juga dalam mimpiku, aku masih memimpikan Fatar. Dia tersenyum seolah dia masih hidup. Dengan tatapan matanya yang penuh cinta dia seakan mengatakan kalau dia merindukan aku."
Emir langsung membawa Aina ke dalam pelukannya. "Menangis lah. Keluarkan semua kegundahan hatimu. Pergilah temui orang tua mu, jika kamu memang merindukan mereka. Namun jika pergi ke sana masih menyakitimu, tetaplah di sini. Ada aku yang akan menemani kamu. Sebisa yang aku mampu, aku akan berusaha membantumu untuk menyembuhkan lukamu."
Tangis Aina semakin dalam saat mendengar semua perkataan Emir. Lelaki tampan itu membelai punggung istrinya. Sesekali ia mengecup puncak kepala Aina untuk menenangkan perempuan itu.
Perlahan tangis Aina mulai mereda. Ia pun melepaskan pelukannya. "Maaf kak, baju Kakak menjadi basah."
Emir tersenyum. "Tak apa-apa. Air matamu hangat jadi aku tak merasa dingin."
Aina terkekeh mendengar kelakar suaminya. Ia memukul pelan dada Emir. "Aku suka dengan bau parfum mu, kak."
"Oh ya? Ini hanya parfum murahan."
Aina berdiri. "Aku mengantuk."
"Ayo kita tidur." Emir melingkarkan tangannya di bahu Aina lalu keduanya melangkah bersama memasuki rumah.
"Tadi aku dan Arya tak kemanapun. Ia hanya mengantarkan aku pulang." kata Aina saat ia sudah naik ke atas kasur.
"Aku tahu. Ibu bilang kalau kamu tiba di rumah jam 5 tepat. Namun kamu nggak sempat masuk ke rumah karena pergi lagi dengan seorang perempuan." Emir ikut naik ke atas ranjang.
"Kak Aira mengunjungi aku. Dia yang mengatakan kalau ibu sakit. Aku justru melihat wajah dan lehernya memar. Ternyata suaminya sering menyakiti dia."
"Oh ya? Memangnya suaminya bekerja di mana?"
"Suaminya seorang jaksa. Mereka dijodohkan semenjak kecil karena keluarga kami kenal baik. Entah karena apa sampai mas Tio menyakiti kakak ku seperti itu."
Emir hanya menyadarkan punggungnya di kepala ranjang. "Terkadang, sedekat apapun kita dengan seseorang tak akan menjamin bahwa kita mengenalnya dengan sangat baik."
Aina membaringkan tubuhnya. "Kamu benar, kak. Justru akan lebih baik kita bersama dengan orang yang tak begitu kita kenal." Lalu ia memejamkan matanya.
Emir menatap punggung Aina yang membelakanginya. Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya dan membuka profil seorang Arya Dirnata. Polisi muda yang sudah banyak mendapatkan penghargaan. Kapan kamu akan menyerahkan hatimu padaku, Aina? Batin Emir lalu kembali menatap gadis itu.
**********
Bagaimana perjuangan Emir memenangkan hati Aina?
krn mgkn sbnrnya Hamid, Wilma dan Emir adlh saudara seayah...
smoga brharap Emir GK trmsuk dlm lingkaran orang jht yg mo ancurin kluarga kmu ai.....smoga....