Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
First Date (3)
Jae Hyun dan Riin memasuki The Place Dining, restoran mewah yang terletak di Namsan Tower. Interiornya didominasi warna-warna netral seperti abu-abu dan putih dengan pencahayaan hangat dari lampu gantung modern yang tergantung rendah. Aroma makanan yang menggugah selera memenuhi ruangan, berpadu dengan suara piano lembut yang dimainkan secara live di sudut restoran.
Pelayan mengantar mereka ke sebuah meja dengan sofa abu-abu nyaman yang menghadap kaca besar. Dari sana, pemandangan malam kota Seoul tampak seperti permadani gemerlap yang tak berujung. Lampu-lampu gedung tinggi bersinar terang, sementara jalan-jalan berkelok terlihat seperti urat nadi yang mengalirkan kehidupan ke seluruh kota. Riin terpana sejenak, matanya tak bisa lepas dari pemandangan yang tersaji di hadapannya.
“Seoul benar-benar indah di malam hari,” gumamnya tanpa sadar.
Jae Hyun, yang duduk di sampingnya, melirik sekilas keluar jendela, kemudian mengangkat bahu. “Ya, terutama dari sini,” jawabnya singkat sambil membuka menu.
Setelah beberapa menit memilih, Jae Hyun memesan dua porsi steak medium rare, sepiring pasta carbonara, dan salad hijau dengan dressing lemon. Ketika pelayan menawarkan wine untuk melengkapi hidangan mereka, Jae Hyun menggeleng tegas.
“Tidak malam ini,” katanya. “Aku membawa motor.”
Riin memperhatikan pria itu dengan rasa heran. Sulit membayangkan Jae Hyun yang selama ini dikenal dengan sikap dingin dan sedikit arogan, bisa begitu perhatian pada hal kecil seperti keselamatan berkendara. Ada sisi lain dari dirinya yang perlahan terungkap, dan itu membuat Riin tak bisa memutuskan apakah ia menyukai hal ini atau justru merasa semakin bingung.
Setelah beberapa saat, hidangan mereka tiba, disajikan dengan nyaris sempurna. Uap hangat dari steak mengepul, menggoda indera penciuman. Salad hijau di piring Jae Hyun tampak segar dengan warna cerah dari irisan tomat ceri dan potongan alpukat.
Namun, Riin sejak awal hanya memfokuskan diri pada steaknya, membiarkan salad itu tersingkir begitu saja.
“Kau tidak suka saladnya?” tanya Jae Hyun, nada suaranya terdengar datar tapi ada sedikit keingintahuan.
“Aku tidak suka sayuran,” jawab Riin singkat, sambil memotong steaknya dengan hati-hati. Namun, ia agak kesulitan memotong daging tebal itu menjadi ukuran yang pas.
Jae Hyun menghela napas pendek, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengambil pisau dan garpu dari tangan Riin. Dengan cekatan, ia memotong steak itu menjadi potongan-potongan kecil yang mudah dimakan. Gerakannya tegas tapi teratur, seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang biasa ia lakukan.
“Sudah,” katanya sambil meletakkan kembali piring itu di hadapan Riin. “Makanlah.”
Riin tertegun. Ia menatap Jae Hyun yang kini sibuk dengan steaknya sendiri. Sikap ini terasa sangat berbeda dari Jae Hyun yang ia kenal. Di mana pria dingin dengan tatapan tajam itu? Apa ini sisi yang sebenarnya dari Jae Hyun?
‘Dia bahkan tidak terlihat seperti dirinya sendiri,’ pikir Riin.
Dengan perlahan, ia mulai menyantap steaknya, tetapi pikirannya terus berputar. Setiap kali ia mencuri pandang ke arah Jae Hyun, pria itu tampak tenang, seolah-olah hal ini hanyalah rutinitas baginya.
“Oh, ya,” ujar Jae Hyun tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. “Akhir pekan ini aku akan membawamu ke rumah orang tuaku.”
Riin berhenti mengunyah dan menatapnya. “Akhir pekan ini?” ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar.
“Ya,” jawab Jae Hyun, tanpa mengangkat wajah dari piringnya. “Aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali. Jangan terkejut kalau mereka banyak membahas soal pernikahan. Itu sudah biasa.”
Riin menelan makanannya dengan susah payah. “Pernikahan?” tanyanya, hampir tersedak dengan kata itu. “Kau yakin mereka tidak akan mencurigai kita?”
“Mereka tidak akan punya alasan untuk mencurigai apa pun,” kata Jae Hyun dengan nada yakin. “Aku akan menyiapkan semuanya. Tapi nanti, katakan saja bahwa kau yang memilih hadiah untuk mereka.”
Riin mengangguk pelan, meski dalam hati ia merasa ragu. “Apa ada hal lain yang perlu aku perhatikan selama di sana?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Jae Hyun menyandarkan tubuhnya ke sofa, berpikir sejenak. “Ah, soal itu…” Ia mengingat syarat yang diajukan Riin tentang tidak ada skinship. “Kau bilang tidak ingin ada kontak fisik, kan? Tapi di depan keluargaku, kita tidak bisa terlalu menjaga jarak. Setidaknya, aku harus memegang tanganmu atau mungkin memelukmu sesekali.”
Perkataan itu membuat wajah Riin memanas. Ia hampir menjatuhkan garpunya ke piring. Membayangkan hal itu saja sudah membuatnya gelisah, apalagi melakukannya.
“Memeluk?” ulangnya pelan. Suaranya sedikit gemetar. “Apa itu benar-benar perlu?”
Jae Hyun menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kita harus membuat mereka percaya. Kalau kita terlihat terlalu canggung, semuanya akan sia-sia.”
Riin mencoba mencerna kata-katanya. Ia tahu Jae Hyun benar, tetapi ia tidak pernah membayangkan dirinya harus berpura-pura sedekat itu dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintai.
“Soal itu…” Riin mengalihkan pandangannya ke luar jendela, berharap pemandangan indah Seoul bisa menenangkan pikirannya. “Aku akan memikirkannya lagi.”
Jae Hyun mengangkat bahu seolah tidak terlalu peduli. “Terserah. Tapi aku harap kau tidak membuat semuanya lebih sulit.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Riin mengaduk-aduk pasta di piringnya tanpa benar-benar berniat memakannya. Sementara itu, Jae Hyun meneguk air mineral dari gelasnya, tatapannya kembali fokus pada pemandangan di luar.
Bagi Riin, makan malam ini terasa seperti campuran antara ketidaknyamanan dan rasa penasaran yang aneh. Ada sisi dari Jae Hyun yang mulai terlihat—sisi yang tidak ia duga ada, tetapi di saat yang sama, ia tidak tahu apakah itu hanya bagian dari akting atau sesuatu yang lebih tulus.
***
Malam semakin larut ketika Jae Hyun dan Riin melangkah menuju stasiun cable car untuk kembali ke lokasi parkir. Suasana Namsan Tower yang sebelumnya ramai mulai lengang. Beberapa pasangan masih terlihat berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam. Lampu-lampu jalan yang temaram memberikan nuansa hangat meski udara semakin menusuk kulit.
Saat mereka memasuki cable car, suara pintu geser yang menutup terdengar jelas, menggema di tengah kesunyian malam. Mereka mendapatkan sudut tempat duduk yang cukup nyaman. Meski sama indahnya seperti saat mereka naik, kelelahan dan udara dingin membuat kehangatan pemandangan itu tak sepenuhnya mengusir rasa dingin.
Riin menarik nafas dalam-dalam, berusaha menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil. Ia hanya mengenakan blus tipis yang sama sekali tidak cocok untuk menghadapi malam sedingin ini. Jae Hyun, yang duduk di sebelahnya, menyadari hal itu tanpa perlu banyak berpikir. Ia melirik sekilas ke arah gadis itu, yang tengah berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan merapatkan kedua tangannya ke tubuhnya.
“Dingin?” tanyanya datar, tetapi ada nada perhatian di balik suaranya.
Riin menggeleng cepat, meskipun tubuhnya jelas berbicara sebaliknya. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Jae Hyun menghela napas pendek, mengabaikan jawaban gadis itu. Tanpa berkata-kata lagi, ia mulai membuka jaket denimnya. Gerakannya tenang, tidak terburu-buru, tetapi penuh ketegasan. Ia menyerahkan jaket itu pada Riin dengan tatapan yang tak bisa ditawar.
“Pakailah,” katanya, suaranya terdengar hampir seperti perintah. “Di perjalanan pulang nanti akan semakin dingin.”
Riin menatap jaket itu sejenak, lalu menoleh pada Jae Hyun. “Tapi kau sendiri bagaimana? Bukankah kau juga kedinginan?”
Jae Hyun mengangkat bahu ringan. “Aku tidak semudah itu jatuh sakit hanya karena udara dingin. Lagi pula, aku sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini.”
Ragu-ragu, Riin akhirnya menerima jaket itu. Bahannya yang tebal dan hangat segera memberikan kenyamanan pada tubuhnya. Ketika ia memakainya, jaket itu terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi anehnya, terasa pas dalam arti lain_seolah-olah jaket itu melindunginya bukan hanya dari dingin, tetapi juga dari rasa canggung yang tadi terus menyelimuti. Ia melirik Jae Hyun yang kini hanya mengenakan kemeja tipis. Pria itu tampak tidak terpengaruh oleh udara dingin, duduk dengan tenang sambil menatap ke luar jendela.
“Terima kasih,” ujar Riin pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Jae Hyun menoleh sebentar, mengangguk singkat tanpa memberikan komentar. Diam-diam, Riin merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ia melihat sisi Jae Hyun yang jarang_atau mungkin belum pernah_ia temui sebelumnya. Sisi yang hangat, penuh perhatian, dan hampir... manusiawi.
Namun, pikirannya segera dibanjiri keraguan. Mungkin ini hanya bagian dari hubungan kontrak kami, gumamnya dalam hati. Sikapnya yang hangat mungkin hanya formalitas, sesuatu yang ia lakukan karena merasa bertanggung jawab dalam peran ini.
Ketika mereka akhirnya keluar dari cable car, udara malam yang lebih menusuk segera menyambut. Jalan menuju area parkir cukup sepi, hanya sesekali terdengar langkah kaki dari pasangan lain yang berjalan beberapa meter di belakang mereka.
Jae Hyun berjalan di depan, memimpin langkah dengan mantap. Riin mengikuti di belakang, sedikit melambat karena udara dingin membuat tubuhnya terasa kaku. Pria itu menyadari hal ini dan berhenti, menoleh ke belakang dengan ekspresi tenang namun penuh ketegasan.
“Kenapa kau berjalan terlalu lambat?” tanyanya, tetapi nada suaranya lebih seperti peringatan daripada keluhan.
Riin buru-buru mempercepat langkahnya, meski lututnya terasa gemetar. “Aku hanya... agak kedinginan,” akunya akhirnya.
Jae Hyun mendekat, menghela napas seolah-olah ia merasa lelah karena harus berurusan dengan hal kecil seperti ini. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tangan Riin dengan lembut tetapi pasti, membawanya lebih dekat. Genggaman tangannya hangat, berbeda dari udara dingin yang menyelimuti mereka.
“Pegang jaket itu erat-erat. Kita hampir sampai,” katanya.
Sebelum Riin sempat menjawab, mereka tiba di tempat parkir, di mana motor besar Jae Hyun berdiri angkuh di bawah cahaya lampu jalan. Pria itu melepaskan genggamannya dan segera mengambil helm, menyerahkannya pada Riin. Dengan gerakan yang sama seperti sebelumnya, ia membantu memasang tali helm itu di bawah dagunya, jarinya bergerak cekatan namun lembut.
“Sudah nyaman?” tanyanya setelah selesai.
Riin mengangguk, merasa jantungnya berdebar aneh. “Ya, sudah.”
Jae Hyun mengambil helmnya sendiri dan memakainya, lalu naik ke atas motor. Ia menoleh ke arah Riin, memberi isyarat dengan dagunya. “Naik. Jangan lupa pegang erat.”
Riin menurut tanpa protes, naik ke belakang dan merapatkan tubuhnya pada punggung Jae Hyun. Ia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya melingkarkan tangannya di pinggang pria itu. Udara malam yang dingin menusuk, tetapi ada kehangatan aneh yang mengalir dari jaket Jae Hyun yang kini ia kenakan, dan dari kontak fisik yang tak terelakkan.
Ketika motor mulai melaju, Riin membiarkan pikirannya melayang. Udara dingin malam itu tidak lagi terasa begitu menyiksa, tetapi perasaan hangat yang ia rasakan justru menjadi hal yang lebih sulit ia abaikan.
Dan ia bertanya-tanya: Apakah semua ini benar-benar hanya bagian dari sandiwara, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesepakatan bersama?
***