Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Baru
"Namaku Leon Dominique," kata Leon memperkenalkan dirinya dengan santai, ekspresinya tetap tenang namun penuh percaya diri.
Wanita itu meliriknya sekilas, kemudian menjawab singkat, "Fiona Bailey." Nada suaranya terdengar datar.
Leon tersenyum tipis. "Nama yang indah. Ngomong-ngomong, apakah kau tahu tempat untuk menginap di sekitar sini?"
Fiona menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar, senyum yang penuh dengan makna tersembunyi. "Sepertinya aku harus meningkatkan penilaianku terhadapmu. Ada sebuah kota kecil tak jauh dari sini, hanya beberapa menit berjalan kaki."
"Bagus," Leon mengangguk ringan, matanya melirik langit yang mulai memerah. "Hari juga sudah semakin gelap. Lebih baik mencari tempat untuk beristirahat."
Fiona mulai melangkah lebih dulu, tubuhnya bergerak anggun meski tak menunjukkan sedikit pun kehangatan. Leon mengikutinya dengan santai, berjalan di sampingnya tanpa terburu-buru.
.
.
.
Malam telah sepenuhnya menyelimuti kota yang ramai ketika Leon dan Fiona akhirnya tiba di sebuah gerbang besar. Jalan-jalan kota dipenuhi pedagang, petualang, dan berbagai jenis manusia yang berlalu lalang. Suasana gemuruh obrolan dan langkah kaki memenuhi udara.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka menemukan sebuah penginapan yang terlihat nyaman. Namun, begitu mereka melangkah masuk, suasana di dalam langsung berubah. Pandangan setiap orang di ruangan itu tertuju pada mereka-atau lebih tepatnya, tertuju pada Fiona.
Pakaiannya yang mewah dan wajahnya yang memikat segera mencuri perhatian para pria di sana. Sebaliknya, Leon tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Dalam kerumunan pria berotot, dia terlihat seperti bayangan yang nyaris tidak diperhatikan.
Mereka melangkah menuju meja resepsionis, namun langkah mereka terhenti. Sekelompok pria besar dengan senyum menjijikkan menghalangi jalan mereka.
"Hei, Nona," ujar salah satu dari mereka dengan nada menggoda. "Apakah kau punya waktu luang malam ini?"
"Datanglah padaku. Aku janji, kau tidak akan menyesal," kata pria lain sambil menjilat bibirnya.
"Teknikku tidak tertandingi. Kau akan merasa seperti berada di surga," tambah yang lain dengan tawa kasar.
Fiona mengernyit, wajahnya menunjukkan ekspresi jijik. "Menjijikkan," katanya dingin. "Kalian tidak hanya vulgar, tapi juga tidak berpendidikan."
Dia menatap Leon di sampingnya, lalu dengan gerakan dramatis memeluk lengannya, menatap para pria itu dengan senyum manis yang penuh kepalsuan. "Maafkan aku," katanya genit, "tapi aku sudah memiliki pasangan."
Leon mendesah ringan, melihat trik yang sedang dimainkan Fiona. "Oh, jadi kau melemparkan masalahmu kepadaku?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
Fiona balas menatapnya dengan pandangan menggoda. "Bukankah kau yang menyarankan, sehingga hal seperti ini terjadi? Anggap saja ini ujian kecil. Aku tidak menyukai orang lemah. Buktikan kekuatanmu, maka mungkin aku akan mulai mendengarkanmu."
Leon hanya terkekeh, tetapi dia bisa merasakan tatapan penuh ancaman dari pria-pria itu.
"Hah! Pria kurus sepertimu? Ini akan mudah," ujar salah satu pria besar sambil mengepalkan tinjunya.
"Aku bahkan bisa mematahkanmu menjadi dua," tambah pria lainnya dengan tawa kasar.
Salah satu dari mereka melangkah maju, melayangkan pukulan besar ke arah Leon. Namun, Leon menghindar dengan mudah, gerakannya cepat dan tenang. Dia berputar ringan, dan dengan satu tendangan yang terarah ke lutut belakang pria itu, dia membuat tubuh besar itu jatuh tersungkur ke lantai.
Pria itu menjerit kesakitan, tetapi sebelum dia bisa bangkit, Leon menginjak lehernya dengan presisi. Suara tulang patah terdengar keras, membuat suasana ruangan seketika sunyi.
Leon memandang pria-pria lainnya dengan tatapan tajam. "Kekuatan besar tanpa akal adalah hal yang sia-sia," katanya dingin. "Jika kalian tidak ingin bernasib sama, aku beri kalian satu kesempatan. Bunuh diri kalian sendiri."
Suaranya terdengar lembut, tetapi ada kekuatan mematikan yang tersembunyi di baliknya. Kata-kata itu menggema di telinga mereka seperti mantra yang tak terbantahkan. Para pria itu mulai gemetar, dan satu per satu, mereka mengikuti perintah Leon dengan cara yang mengerikan-menusuk diri mereka sendiri, mematahkan leher mereka, atau menabrakkan kepala ke dinding.
Fiona, yang menyaksikan semuanya dengan santai, tersenyum tipis. "Kau benar-benar tidak mengecewakan," katanya, suaranya terdengar puas.
Leon memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu menoleh ke resepsionis yang tampak tidak terkejut sedikit pun. "Maaf soal kekacauan ini. Tolong bersihkan tempatnya."
Pelayan itu hanya mengangguk, wajahnya tetap tenang seperti sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini. "Tentu, Tuan. Akan kami urus segera."
Leon dan Fiona kemudian melangkah ke tangga, memilih kamar di lantai atas. Malam itu, mereka berdua mengunci diri di dalam kamar, dan suasana hangat perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih panas. Fiona, yang biasanya angkuh dan dingin, menunjukkan sisi lain dari dirinya.
Pagi itu, Leon duduk di tepi tempat tidur, mengamati sinar matahari pagi yang perlahan masuk melalui jendela. Di belakangnya, Fiona masih terlelap, tubuhnya terselimut rapat, menyisakan sedikit rambut berantakan di atas bantal. Di atas kasur, ada bercak darah samar, menandakan sesuatu yang baru saja dimulai malam sebelumnya.
Leon tersenyum kecil, pandangannya beralih ke tangannya sendiri. Ia bisa merasakan aliran energi yang lebih kuat dalam tubuhnya. "Auraku jauh lebih pekat," gumamnya. "Ini awal yang sangat baik."
Ketika ia masih asyik menikmati perasaan itu, tiba-tiba Fiona, yang ternyata sudah terbangun, melingkarkan lengannya di leher Leon dari belakang. Tubuhnya yang hangat menempel erat pada punggung Leon, dan ia menyandarkan dagunya di bahu pria itu.
"Hei, kenapa auraku hanya meningkat sedikit dibandingkan milikmu?" tanya Fiona dengan nada malas namun terdengar tidak puas.
Leon melirik ke arahnya sekilas, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Itu wajar saja," katanya ringan. "Aku baru saja membuka auraku, jadi peningkatan yang besar adalah hal yang alami. Lagipula, kalau diingat-ingat, bukankah kau yang mengeluarkan lebih banyak Liquid tadi malam?"
Fiona mendengus kesal, menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang manja. "Tidak adil! Bukankah kau bilang Aura, Echo, dan Liquid kita akan saling memperkuat? Tapi aku tidak merasakan perubahan besar!"
Leon tertawa kecil, tapi tidak menjawab. Sebaliknya, dia dengan cepat membalik posisi mereka, membuat Fiona terbaring kembali di tempat tidur. Ia menatapnya dari atas, mata Leon menyipit dengan tatapan tajam yang membuat Fiona sedikit tertegun.
"Kalau kau merasa tidak cukup," ucap Leon perlahan, suaranya rendah tapi menggoda, "maka aku bisa memberimu lebih. Mari kita lihat, kali ini, apakah kau bisa bertahan lebih lama."
Fiona tersenyum tipis, tatapan matanya memancarkan rasa tertantang. Ia mengangkat tangannya, melingkarkannya di leher Leon. "Itu terdengar seperti tantangan. Aku tidak keberatan mencobanya lagi. Lagipula, aku masih merasa sedikit... gatal."
Tanpa banyak bicara lagi, Leon menunduk dan membawa mereka kembali ke dalam pusaran gairah yang panas dan membara. Hubungan mereka berlanjut, tidak hanya memperkuat energi, tetapi juga menyegel ikatan yang semakin dalam. Matahari pagi perlahan naik, dan jam menunjukkan siang hari ketika akhirnya keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Di luar, dunia terus berputar, tapi bagi mereka berdua, waktu terasa berhenti-seolah-olah tidak ada yang lebih penting selain permainan berbahaya ini, yang penuh dengan misteri, kekuatan, dan godaan.