Reiner merupakan ketua Mafia/Gengster yang sangat di takuti. Ia tak hanya di kenal tak memiliki hati, ia juga tak bisa menerima kata 'tidak'. Apapun yang di inginkan olehnya, selalu ia dapatkan.
Hingga, ia bertemu dengan Rachel dan mendadak sangat tertarik dengan perempuan itu. Rachel yang di paksa berada di lingkaran hidup Reiner berniat kabur dari jeratan pria itu.
Apakah Rachel berhasil? Atau jerat itu justru membelenggunya tanpa jalan keluar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Anti Depresan?
"Tadi sebelum take off Leon berkirim pesan dan baru aku lihat. Aku tidak bisa menelponnya sekarang. Mereka datang ke mansion. Tapi untungnya anak-anak bisa menghandle nya!" terang Marlon yang menunjukkan sebuah pesan pada ponselnya yang termode pesawat.
Raut Reiner terlihat sedikit kesal sewaktu mendengar berita yang di laporkan oleh tangan kanannya itu.
"Seharusnya aku meledakkan kepala mereka kemarin. Aku sungguh muak dengannya, Marlon!" kata Reiner sembari mengepalkan tangannya.
Marlon memandang bos-nya yang wajahnya tampak keruh. Terlihat tak suka tiap mereka membahas Bryan.
"Berkali-kali Bryan datang. Tidakkah kau merasa mungkin saja mantan sahabatmu itu memiliki sebuah kejujuran?" ucap Marlon.
"No!" tolak Reiner tak ingin di debat.
"Tapi..."
"Vena mati karena dia perkosa. Dia bahkan sudah menembak perut adikku tiga kali. Tidakkah otak mu teringat akan hal itu?" Reiner tampak marah sebab Marlon mendebatnya.
Marlon seketika undur diri. Kebencian Reiner pada Bryan sepertinya sudah mendarah daging. Tak bisa di tawar barang sedikitpun. Ia tak mau menambah kekesalan di hati Reiner yang baru beberapa jam terlihat mau tersenyum.
Reiner mendengkus ketika Marlon kembali ke tempat duduknya. Masih belum hilang dari ingatan saat malam berhujan, ia tertegun di muka gerbang demi melihat mayat adik perempuan satu-satunya yang meregang nyawa dengan cara mengenaskan. Penuh luka, darah juga sudah membasahi pakaian adiknya itu.
Di titik itu, ia merasa kehidupannya seketika jungkir balik. Tak ada lagi kata kawan, tak ada lagi keramahan. Bahkan ia tak lagi mengenal apa itu kasih sayang.
***
Rachel membuka mata saat pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat. Ia sebenarnya tak benar-benar terlelap sewaktu Reiner merubah posisi tidurnya tadi. Dan ia mendengar semua pembicaraan antara Marlon dan Reiner tadi.
Adiknya di perkosa dan di bunuh? Siapa yang melakukannya? Mereka tadi menyebutnya Bryan? Ia jadi berpikir bahkan melamun. Malah saat pesawat sudah terparkir sempurna, ia masih termangu.
"Apa yang kau pikirkan? Aku akan menindihmu di sini kalau kau masih saja bengong!" hardik Reiner ketika melihat Rachel melamun.
Maka Rachel cepat-cepat melepaskan sabuk pengamannya lalu turun karena ngeri dengan ancaman yang terlontar. Ia turun dan mengikuti langkah panjang Reiner dengan tergesa-gesa. Ia melihat ada beberapa orang yang sudah menunggu di dekat mobil yang terparkir di apron.
Rasa heran dan takjubnya semakin bertambah. Mobil sedan mewah dengan warna hitam mengkilat akhirnya membawa mereka melesat. Sepanjang perjalanan ia menyempatkan melirik Reiner yang terus buang muka ke arah jendela. Menatap gerak semu jalanan dengan pikiran melayang.
Rachel jadi berpikir, sepertinya sudah ada dua hal yang membuat Reiner kesal. Pertama, orang yang tadi menelpon, kedua laporan dari Marlon. Dan entah mengapa Rachel jadi ingin memecah keheningan dengan mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ehem. Kita... akan kemana setelah ini?" tanya Rachel ragu-ragu. Takut kalau-kalau pertanyannya memancing kemarahan.
Reiner seperti tersadar dari lamunannya ketika mendengar pertanyaan dari Rachel. Lupa bahwa di sampingnya ada seorang perempuan yang masih bisa ia jadikan pelampiasan.
"Menghabiskan malam dengan mu!" sahutnya asal.
Rachel kontan menelan ludah. Tuh kan, sekarang berbeda lagi sikapnya. Padahal tadi sudah tidak semenyeramkan kayak biasanya.
"Emmm. Tidakkah anda lapar? Aku lapar. Bolehkah aku minta makan dulu?" Rachel menyuguhkan senyuman yang di buat-buat namun bisa membuat Reiner mengangguk.
"Kau dengar Marlon. Dia lapar!"
"Baik Tuan!"
Marlon segera meminta supir mereka untuk mencari restoran. Rachel tak menyangka bila kemauannya langsung di turuti. Tidak buruk juga harus berpura-pura bersikaplah manis seperti ini. Ini benar-benar bisa membuatnya menjadi untung.
Paling tidak, Ayahnya bisa mendapatkan jaminan perawatan. Dan dia juga terbebas dari adik juga ibu tirinya untuk sementara waktu. Hah, memikirkan semua ini malah membuatnya menjadi kesal. Hal itu terjadi karena teringat dengan Helen yang bahkan berniat menjualnya kepada Reiner. Terbesit dalam hati ingin membalas dendam.
"Awas saja kalian!"
***
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di restoran yang dindingnya terbuat dari kaca transparan tebal. Nuansa mewah jelas terasa dari sorotan lampu kristal yang menggantung.
Pengunjung yang datang juga kebanyakan berasal dari kelas atas. Tempat itu memang menjadi tujuan mengisi perut beberapa orang kaya dan orang berpengaruh di Vuma.
Rachel kini sudah menghadap beberapa sajian yang terhampar di meja besar. Di meja lain Marlon terlihat makan bersama supir dan beberapa anak buah mereka.
"Kenapa kau hanya diam. Cepat makan!" kata Reiner yang terganggu dengan sikap Rachel yang malah terus menerus menatap ke sekeliling.
Rachel cepat-cepat mengangguk. Di sana sudah tersaji beberapa makanan lezat yang pasti berharga tak murah. Melihat kemarahan Reiner, Rachel berinisiatif mengambilkan makanan ke piring Reiner agar pria itu tak lagi marah.
"Ikan sangat baik untuk kesehatan. Apalagi untuk orang sibuk seperti anda." ucapnya sesaat setelah meletakkan sepotong ikan saus asam. Ia tersenyum tak seperti biasanya.
Reiner terdiam. Namun dalam hati diam-diam membatin.
"Sejak aku mengatakan akan memberinya izin untuk menemui ayahnya, gadis payah ini benar-benar bersikap lembut dan manis. Cih, semoga dia tidak menipuku!"
"Kau bersikap sangat manis!" sindir Reiner sembari mengambil sepotong ikan tersebut lalu melahapnya dalam sekali suapan. Rasanya memang enak.
Rachel gelapan karena tatapan Reiner mulai menakutkan. Jangan sampai Reiner sadar kalau dia memang hanya berpura-pura baik. Dia masih ingin hidup bersama dengan Ayahnya.
" Bukankah sudah aku katakan. Itu semua karena kebaikan tuan pada Ayah!" Rachel tersenyum semanis-manisnya. Meskipun ia sendiri ingin muntah karena perbuatannya sendiri, tapi ia harus bisa menahannya.
Dan Reiner terlihat mencibir. "Cepat habiskan makananmu. Jangan banyak omong!' sengit Reiner yang sebenarnya cukup senang dengan perkataan Rachel.
"Baik tuan!"
Rachel makan dengan sikap ceria. Ia makan ini itu seolah tak terganggu dengan tatapan tajam Reiner. Pria itu memperhatikan cara makan Rachel yang terlihat menyenangkan. Rachel mengambil sepotong daging pedas dan melahap penuh semangat.
"Apa itu enak?" tanya Reiner yang sejenak menyesali pertanyaannya. Kenapa dia malah bertanya hal itu kepada Rachel?
"Mmm. Enak sekali. Tuan mau? A...."
Reiner sontak terkejut kala menerima suapan yang tiba-tiba. Membuatnya teringat dengan sikap Vena saat masih hidup. Gadis itu selalu ceria dan bersikap manja kepadanya. Membuatnya seketika pergi bahkan sebelum menerima suapan dari Rachel.
Rachel terheran-heran dengan sikap Reiner. Apakah dia salah? Dia hanya memberikan suapan. Marlon yang melihat bosnya pergi seketika mengikuti. Sebab sebenarnya sedari tadi Marlon memperhatikan interaksi Reiner dan Rachel.
Di dalam toilet, Reiner mencuci wajah dan tangannya. Wajahnya terlihat tegang dan mengeras. Sudah bertahun-tahun tapi rasa itu masih saja mengganggu. Ia selalu merasa tertekan sewaktu memori mengerikan itu menyerbu otaknya.
"Ada masalah?" tanya Marlon khawatir.
"Kau membawa obatku?"
"Hmmm!" Marlon mengangguk sembari mengaduk saku jasnya.
"Berikan!"
Marlon buru-buru memberikan obat kepada Reiner. Ia tak bisa tenang jika tak meminum obat itu. Selama ini, hanya Marlon lah yang setia berada di sisi Rainer dan paling mengerti apa yang ia butuhkan.
"Anda tadi membuat nona Rachel ketakutan!"
Reiner tak menjawab. Ia memilih menandaskan sebotol air yang di bawa oleh Marlon.
"Aku jadi lebih suka dia yang membangkang ketimbang seperti ini!"
Marlon terlihat murung usai mendengarkan jawaban Reiner. "Tapi mau sampai kapan anda seperti ini?"
Keduanya malah larut pada kesunyian. Reiner sendiri tak memiliki jawaban atas pertanyaan Marlon. Dan tanpa mereka sadari, Rachel rupanya menguping di luar.
"Sebenar apa yang terjadi pada laki-laki itu? Obat apa yang dia minum? Apa itu anti depresan?"
Slnya si rainer lg mumet sm nenek sihir