Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar Asrama dan Masalah pertama
Setelah berhasil melewati ujian masuk dengan cara yang lebih mirip stand-up komedi daripada pertarungan serius, Shin resmi diterima di Akademi Sihir. Tapi, seperti yang sudah bisa ditebak, perjalanan barunya di sini nggak akan mulus.
“Selamat, Shin. Kamu akan tinggal di Asrama Selatan,” kata seorang staf Akademi, wanita muda yang kelihatan sangat kaku. “Itu adalah asrama untuk siswa baru. Pastikan kamu menjaga sopan santun di sana.”
Shin menyeringai, mengangkat alisnya. “Sopan santun? Lo kayaknya nggak ngerti siapa yang lagi diajak ngomong, deh. Gue ini paket lengkap. Nggak sopan, konyol, dan... yah, lo bakal tau sendiri.”
Wanita itu mendelik kesal, tapi nggak ngomong apa-apa lagi. Dia cuma memberikan Shin kunci kamarnya sambil menunjuk ke arah gedung asrama.
Asrama Selatan adalah bangunan besar yang terlihat mewah untuk ukuran Shin. Selama ini, dia tidur di gubuk kecil di gunung, jadi melihat ruangan dengan atap tinggi dan lantai mengilap bikin dia bengong.
“Wah, keren juga. Gue kira bakal kayak penjara, tapi ternyata lumayan. Lumayan buat gue ngotor-ngotorin, sih,” gumam Shin sambil jalan ke kamarnya.
Begitu sampai di depan pintu kamar, dia langsung masuk tanpa basa-basi. Di dalam, dia menemukan dua ranjang, satu di kiri dan satu di kanan. Ranjang di kanan sudah penuh dengan barang-barang—buku sihir, tongkat kecil, dan jubah yang kelihatan mahal.
“Jadi gue punya teman sekamar? Semoga dia nggak nyebelin,” kata Shin sambil melempar tas kecilnya ke ranjang kosong di kiri.
Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Seorang pemuda dengan rambut pirang rapi dan wajah angkuh masuk sambil membawa koper besar. Wajahnya langsung berubah jadi jijik begitu melihat Shin.
“Siapa lo?” tanya pemuda itu dengan nada sinis.
Shin melirik cowok itu dari atas sampai bawah. “Harusnya gue yang nanya gitu. Lo siapa? Kenapa lo ngeliatin gue kayak gue maling?”
Pemuda itu menghela napas panjang, jelas merasa terganggu. “Aku Leo von Altair, pewaris keluarga bangsawan Altair. Dan aku nggak nyangka harus berbagi kamar dengan... dengan makhluk seperti kamu.”
Shin tertawa keras. “Makhluk? Lo ngomong kayak gue ini monster. Santai aja, bro. Gue cuma manusia biasa yang nggak bisa sihir. Nggak usah lebay.”
Leo mengangkat alisnya. “Kamu nggak bisa sihir? Apa Akademi ini sudah kehilangan standar mereka?”
Shin mengangkat bahu, masih santai. “Eh, gue juga bingung kenapa gue di sini. Tapi yang jelas, lo bakal suka sama gue. Gue ini seru banget buat diajak ngobrol. Coba aja.”
Leo mendengus, lalu mulai membereskan barang-barangnya tanpa memperhatikan Shin lagi. Tapi tentu saja, Shin nggak peduli. Dia langsung rebahan di ranjangnya sambil menguap lebar.
“Eh, ngomong-ngomong, lo tidur pake jubah gitu juga? Atau lo punya piyama spesial dari kain emas?” tanya Shin dengan nada bercanda.
Leo menatap Shin dengan tatapan datar. “Tolong diam. Aku butuh ketenangan.”
“Wah, lo boring banget, ya. Hidup lo pasti cuma belajar dan latihan. Percaya deh, lo butuh hiburan,” jawab Shin sambil ketawa kecil.
Leo nggak menjawab. Dia hanya menutup matanya, mencoba mengabaikan keberadaan Shin. Tapi tentu saja, Shin bukan tipe orang yang bisa diabaikan begitu saja.
Hari pertama Shin di Akademi dimulai dengan kekacauan kecil. Pagi-pagi, dia terlambat bangun karena kebiasaannya yang terlalu santai. Ketika Leo sudah siap dengan seragam rapi dan wajah serius, Shin masih terkapar di ranjang dengan rambut acak-acakan.
“Bangun, Shin! Kita harus ke kelas pertama!” teriak Leo.
Shin mengerang, menarik selimutnya. “Santai, bro. Guru nggak bakal marah cuma gara-gara gue telat lima menit.”
“Lima menit? Kamu sudah terlambat sepuluh menit!” Leo hampir kehilangan kesabarannya.
Akhirnya, setelah didorong-dorong oleh Leo, Shin bangun juga. Tapi dia nggak buru-buru. Dia malah berjalan ke kamar mandi dengan santai, lalu keluar lagi dengan seragam yang dipakai asal-asalan. Rambutnya tetap berantakan.
“Gue siap! Ayo, cepet jalan,” kata Shin sambil nyengir.
Leo menatap Shin dengan frustasi. “Apa kamu tidak punya rasa malu?”
“Rasa malu? Buat apa? Gue ganteng, kok,” jawab Shin santai.
Mereka akhirnya sampai di kelas dengan tergesa-gesa. Semua siswa sudah duduk rapi di tempat mereka, sementara seorang guru tua dengan jubah hitam berdiri di depan kelas, jelas-jelas kelihatan kesal.
“Ah, siswa baru. Kamu pasti Shin,” kata guru itu dengan nada sarkastik begitu melihat Shin masuk.
Shin nyengir lebar. “Bener banget, Pak. Gue Shin, siswa paling berbakat di sini.”
Guru itu mendengus. “Bakat apa? Membuat orang lain kesal?”
Seluruh kelas tertawa, tapi Shin malah menanggapinya dengan santai. “Eh, kalau itu bisa jadi pelajaran, gue pasti dapet nilai A+.”
Guru itu menggelengkan kepala, jelas-jelas udah nggak mau berdebat lagi. “Duduk dan diam. Kita mulai pelajaran.”
Shin duduk di kursinya, sementara Leo menunduk malu di sebelahnya. Tapi Shin nggak peduli. Dia menikmati setiap momen kekacauan yang dia buat.
Pelajaran pertama adalah tentang dasar-dasar sihir. Guru itu menjelaskan teori panjang lebar tentang bagaimana energi sihir mengalir di tubuh, bagaimana cara merasakan sihir, dan sebagainya. Tapi Shin? Dia malah mulai menggambar monster lucu di bukunya.
“Shin! Apa yang kamu lakukan?” tanya guru itu tiba-tiba, menunjuk ke arahnya.
Shin mengangkat bukunya, menunjukkan gambar monster kecil yang kelihatan lucu tapi konyol. “Gue lagi bikin monster, Pak. Siapa tahu bisa gue pake buat ngebuka segel sihir gue.”
Seluruh kelas tertawa lagi, sementara guru itu menatap Shin dengan tatapan lelah. “Kamu... benar-benar sulit dipercaya.”
“Eh, itu pujian, ya? Makasih, Pak,” jawab Shin dengan senyum lebar.
Hari pertama Shin di Akademi berakhir dengan lebih banyak tawa dan kekacauan. Meskipun banyak orang menganggapnya menyebalkan, beberapa siswa mulai tertarik dengan kepribadiannya yang santai dan konyol.
Sementara itu, di luar kelas, seorang pria misterius dengan jubah hitam berdiri di atas menara Akademi, mengamati Shin dari kejauhan. Matanya menyipit, penuh rasa penasaran.
“Anak itu... dia berbeda. Tapi apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam dirinya?” bisiknya pelan sebelum menghilang ke dalam bayangan.