Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
Dalam kegelapan, Nadia mulai mendekati kebun tua yang tumbuh rimbun di antara pepohonan tinggi. Pandangannya terhalang oleh dedaunan yang lebat, tapi di tengah kegelapan itu, ia melihat sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di balik semak-semak dan pohon pisang.
Nadia berlari menuju gubuk itu, melintasi rerumputan yang tinggi hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Tubuhnya gemetar ketika ia menyelinap masuk, lalu bersembunyi di dalam pojokan gelap, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Keringat dingin membasahi tengkuknya, sementara napasnya mulai tenang meskipun tubuhnya masih bergetar hebat.
******
Sementara itu. Angga, yang sedang berpatroli untuk ronda, melangkah menyusuri jalan setapak di pinggir desa. Sebagai anak kepala desa, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memastikan keamanan di sekitar desa, terutama di malam yang tenang seperti ini.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah gubuk kecil di tengah kebun warga yang tampak gelap dan sepi. Namun, ada sesuatu yang aneh—seperti ada bayangan yang bergerak di dalamnya. Angga mengerutkan kening, mencoba memperjelas penglihatannya. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekati gubuk tersebut. Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat, memastikan bahwa langkahnya tidak terlalu berisik.
Saat mendekati gubuk, Angga terkejut ketika melihat sosok yang sangat ia kenali—Nadia. Gadis itu duduk di sudut gubuk, tubuhnya gemetar, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya terlihat pucat dengan bekas air mata di pipinya. Pakaian Nadia pun sedikit kotor, dan pundaknya bergetar karena dingin yang merasuk di malam hari.
"Nadia?" Angga memanggil pelan, mencoba untuk tidak mengejutkannya.
Nadia menoleh, wajahnya sedikit terkejut namun kemudian terlihat lega ketika menyadari bahwa itu adalah Angga, orang yang selalu ada untuknya. Namun, meskipun lega, ada rasa takut yang belum sepenuhnya hilang dari tatapannya.
Angga memandangi wajah Nadia yang pucat dan penuh keringat, telapak kakinya yang kotor dan terluka karena berlari tanpa alas kaki. Raut cemas di wajah Angga tampak begitu jelas ketika ia bertanya, "Nadia, kau sedang apa? Ada apa denganmu?"
Nadia tidak menjawab, hanya menatapnya dalam kebisuan. Ketika Angga mengulurkan tangan, mencoba meraih jemarinya untuk membantu berdiri, Nadia merasa hatinya tercabik. Ia ingin merasakan genggaman hangat itu, tapi ia tahu, ia harus menahan diri. Dengan berat hati, ia menepis tangannya, membuat Angga terkejut dan bingung.
Angga memandangnya dengan mata yang penuh tanya, sementara Nadia merasakan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan isak, tak berani menatap mata Angga yang dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran.
Namun, ketika perasaan hangat itu mulai merayap di hatinya, ia teringat pada kenyataan pahit yang menghancurkan segalanya. Ia sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak lagi layak untuk dicintai dan diperjuangkan oleh Angga.
Nadia tetap diam, menahan tangis yang seolah memohon untuk keluar. Dia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Bagaimana dia bisa menjelaskan semua ini kepada Angga? Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dirinya yang dulu, yang Angga cintai, kini telah ternoda?
"Jangan hiraukan aku, kita sudah tidak ada hubungan apa apa lagi." Nadia berusaha mengucapkannya dengan setegar mungkin.
Angga menggelengkan kepalanya, berharap apa yang ia dengar barusan salah dan berusaha mengabaikannya. Kemudian ia perlahan mendekat dan mengulurkan tangan untuk memegang bahu Nadia. “Nadia, tolong… apa yang terjadi? Kamu bisa cerita padaku.” Suara Angga begitu lembut, tetapi juga penuh kecemasan. Tatapannya begitu dalam, seakan mencari jawaban dalam mata Nadia yang kini penuh air mata.
Nadia menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tahu ia tak punya keberanian untuk mengakui semuanya pada Angga. Apalagi, janji yang ia buat pada Sandra beberapa jam lalu seakan menghantui pikirannya. Janji yang ia buat dengan berat hati, untuk memutuskan hubungan mereka.
"Aku…” Nadia memulai dengan suara serak, kemudian menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. “Aku tidak… tidak pantas berada di sini, Angga.”
Angga tersentak, kaget. “Maksudmu apa, Nad? Apa yang kamu coba katakan?” Dia menggenggam kedua bahu Nadia, berusaha menarik perhatiannya, memaksa untuk menjelaskan. “Nadia, kumohon, apa yang sebenarnya terjadi?”
Nadia menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. “Angga, aku…” Dia menarik napas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. “Aku tidak mencintaimu lagi."
Ucapan itu menggantung di udara, membuat segalanya terasa sunyi dan berat. Angga mundur beberapa langkah, tatapannya dipenuhi keterkejutan dan rasa tidak percaya. “Apa? Nadia, kenapa tiba-tiba seperti ini?”
Nadia menggeleng, berusaha menghindari tatapan Angga. Ia tahu bahwa jika ia terus menatapnya, tekadnya mungkin akan goyah. Ia ingin sekali mengungkapkan kebenaran, memberitahu Angga tentang semua yang terjadi, tetapi ia tahu bahwa itu hanya akan menyakitinya lebih dalam.
“Ini… ini harus terjadi,” bisiknya pelan. “Kamu… kamu pantas mendapatkan yang lebih baik. Aku… aku sudah tidak pantas lagi untukmu.”
Angga semakin bingung, dan ada kemarahan samar yang mulai tampak di matanya. “Kamu bicara apa, Nad? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Apa ada orang yang menyakitimu? Tolong, jangan buat aku bingung seperti ini!”
Nadia merasakan detak jantungnya semakin keras, seakan menekan dadanya hingga terasa nyeri. Di satu sisi, ia ingin mengakhiri semuanya dengan cepat dan tanpa penjelasan lebih lanjut, tetapi di sisi lain, melihat Angga yang begitu hancur membuat hatinya terasa remuk.
“Aku tidak bisa, Angga,” suaranya bergetar, tetapi ia mencoba untuk tegar. “Tolong… jangan cari aku lagi.”
Tanpa menunggu tanggapan Angga, Nadia berbalik dan melangkah pergi dengan tubuh bergetar. Langkahnya tertatih, dan setiap langkah terasa seperti ribuan jarum menusuk hati. Setiap langkah menjauhi Angga adalah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain.
Di belakangnya, Angga memanggil dengan suara serak. “Nadia! Kumohon, tunggu! Nad…”