Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Bite at a Time
Chandra melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka dua, melewati jam makan siang. Ia tahu ini sudah sedikit terlambat, tetapi rasa rindu yang samar, yang mungkin tidak mau ia akui sepenuhnya, membuat langkahnya tak terhenti. Ia ingin bertemu dengan Shabiya, berbicara, melihat bagaimana istrinya menjalani hari-hari sibuk di kantor. Dan, jika memungkinkan, mengajaknya keluar sejenak_entah untuk makan siang terlambat atau sekadar minum kopi.
Langkahnya menuju kantor Shabiya terasa pasti, seperti aliran sungai yang mengalir tenang namun kuat. Gedung tempat Shabiya bekerja terletak tak jauh dari kantornya sendiri, salah satu alasan mengapa rumah baru mereka terasa begitu strategis. Begitu ia melangkah masuk, suasana kantor Shabiya segera terasa berbeda dibandingkan kantornya sendiri. Lebih hidup, penuh warna, dengan energi para karyawan yang sibuk namun tetap terlihat elegan. Namun ada sesuatu yang tetap membuat Chandra merasa asing di sini_ini adalah kerajaan Shabiya, wilayah di mana istrinya berkuasa, dan bukan miliknya.
Sekretaris Shabiya, seorang wanita muda dengan senyum profesional, segera berdiri ketika melihat Chandra. “Pak Chandra, selamat siang. Ibu Shabiya sedang di dalam. Apakah Anda ingin saya sampaikan pesan?”
Chandra mengangguk. “Beritahu dia aku datang.”
Wanita itu menekan tombol interkom di mejanya, menginformasikan kedatangan Chandra dengan nada formal. Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya kembali kepada Chandra. “Silakan, Pak Chandra, Ibu Shabiya menunggu Anda.”
Chandra mengangguk sopan dan melangkah menuju pintu kantor Shabiya. Saat ia mendorong pintu dan memasuki ruangan, ia bisa melihat istrinya duduk di balik meja, sedang mengetik sesuatu di layar komputer dengan fokus yang tajam. Cahaya siang menyinari ruangan melalui jendela besar di belakang Shabiya, membuat ruangan itu terasa hangat dan nyaman, namun tetap dipenuhi dengan nuansa profesional yang kental. Di tengah kesibukan itu, Shabiya tampak begitu berwibawa, seorang wanita yang tidak hanya cerdas tetapi juga sangat kuat.
Shabiya mendongak ketika mendengar pintu terbuka. Ada kilatan kejutan di matanya saat melihat Chandra, tetapi senyum tipis segera terbit di bibirnya, meski samar.
“Hai,” sapanya dengan lembut, tapi nada formal masih melekat dalam suaranya, mencerminkan suasana kantor yang menuntut profesionalisme. "Ada apa?"
“Aku datang untuk mengajakmu makan siang,” Chandra langsung membuka pembicaraan, suaranya tenang tetapi penuh perhatian. “Tapi sepertinya sudah agak terlambat untuk itu,” lanjutnya, melihat jam tangan sekali lagi. “Bagaimana kalau kita hanya minum kopi?”
Shabiya menghela napas pelan dan bersandar di kursinya, sedikit kelelahan. “Aku belum makan siang, sebenarnya,” jawabnya dengan sedikit tawa lelah. “Terlalu banyak yang harus dikerjakan, jadi aku menundanya.”
Sekilas, wajah Chandra mengeras. Matanya menyipit sedikit, dan sudut bibirnya menegang. Sesuatu dalam dirinya, yang sudah lama terpendam, segera muncul ke permukaan_rasa protektif yang sering ia rasakan ketika menyangkut wanita yang ia...pedulikan. dan melupakan makan siang? Itu tidak bisa diterima.
“Kau belum makan siang?” suaranya rendah, hampir seperti geraman yang tertahan. Ia melangkah lebih dekat ke meja, matanya menatap tajam ke arah Shabiya. “Kau terlalu sibuk sampai mengabaikan kesehatanmu sendiri?”
Shabiya mendongak dari layar komputernya, mencoba menjaga nada santai meskipun lelah. “Chandra, aku sibuk. Kau tahu bagaimana jadwal di kantor ini.”
“Tapi kau tidak makan,” Chandra memotong, ekspresinya tegas. “Kau harus makan pada waktunya, Shabiya. Pekerjaan akan selalu ada. Tubuhmu perlu istirahat dan makanan.” sorot matanya tajam, penuh campuran rasa khawatir dan kesal.
Shabiya memutar matanya, menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi yang jelas-jelas menantang. “Aku tidak akan sakit hanya karena sekali lupa makan siang.”
Chandra mengangkat alis, menatapnya seolah-olah ia baru saja mengucapkan sesuatu yang paling tidak masuk akal. "Apa aku harus mengawasi setiap kali kau bekerja?”
“Kalau itu berarti kau berhenti mengomel, mungkin aku akan mempertimbangkannya,” balas Shabiya, sengaja menyulut perdebatan lebih jauh.
Chandra berdiri tegak, menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan ekspresi yang penuh kendali diri. “Aku tidak mengomel. Aku khawatir. Ada perbedaan besar.”
Shabiya menatap suaminya dengan tatapan tajam, namun tidak marah. Hanya sekilas mempertimbangkan, bagaimana cara menghadapi pria yang begitu dominan namun penuh perhatian ini. “Aku tahu, Chandra. Tapi kadang kita harus menunda beberapa hal demi menyelesaikan yang lain. Kau tahu itu juga, bukan?”
“Aku tahu,” Chandra mengakui, meski suaranya masih terdengar keras. Ia mendekat, duduk di kursi di depan meja Shabiya, tatapan matanya tidak pernah lepas dari istrinya. “Tapi aku tidak suka jika kau mengabaikan dirimu sendiri. Tidak peduli seberapa sibuk pekerjaanmu.”
Shabiya mendesah, tahu bahwa ia tidak akan menang jika terus berargumen. Ia melirik arlojinya dan akhirnya menyerah, meskipun dengan setengah hati. “Baiklah. Tapi ini bukan karena kau memaksaku. Aku hanya ingin menyelesaikan ini agar kau berhenti mengganggu.”
Sudut bibir Chandra melengkung ke dalam senyum kecil, meskipun ia jelas-jelas berusaha menahannya. “Terserah kau mau menyebutnya apa. Tapi aku akan memastikan kau makan sebelum kau kembali bekerja.”
“Apa aku punya pilihan?” Shabiya berdiri, mengambil tasnya, lalu berjalan melewati Chandra menuju pintu.
Chandra mengikutinya, senyum kecilnya berubah menjadi ekspresi puas. “Tidak, tidak ada pilihan. Dan aku yakin kau sudah tahu itu.”
Shabiya mendengus, tapi ada kilatan kecil senyum di sudut bibirnya saat mereka keluar dari kantornya bersama. Meski kadang menyebalkan, perhatian Chandra adalah sesuatu yang ia tahu tidak semua orang miliki.
***
Restoran yang dipilih Chandra untuk makan siang bersama Shabiya berada di sudut jalan yang tidak jauh dari kantor istrinya, sebuah tempat yang tersembunyi namun penuh pesona. Tempat itu dipenuhi dengan sentuhan modern minimalis, dengan meja-meja kayu halus dan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana nyaman, namun tetap berkelas. Di luar, kota tampak sibuk seperti biasa, deru kendaraan dan aktivitas manusia bergemuruh, tapi di dalam restoran itu, waktu terasa melambat.
Chandra memesan menu dengan cepat, memilih sesuatu yang ringan namun bergizi untuk mereka berdua. Shabiya, di sisi lain, lebih santai, membiarkan Chandra yang memilih makanan mereka. Meski ada bagian dalam dirinya yang merasa ini seperti tindakan dominan lain dari Chandra, Shabiya memilih untuk tidak membahasnya sekarang. Suaminya begitu perhatian, meskipun dengan cara yang kadang terasa sedikit mengendalikan. Namun, di tengah kesibukannya hari itu, perhatian Chandra justru terasa menenangkan.
Ketika makanan tiba, hidangan mereka terhidang dengan apik di atas piring porselen putih yang elegan. Salad sayuran segar dengan saus balsamic, daging panggang yang lembut, dan roti gandum tersaji dengan aroma yang menggugah selera. Shabiya mengambil garpunya, mulai menyentuh makanannya. Namun, dengan refleks yang hampir tidak sadar, ia segera menyingkirkan sayuran dari piringnya, meletakkannya di samping dengan gerakan cepat.
Chandra, yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik istrinya dengan diam, mengernyit. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap sayuran yang terpinggirkan di piring Shabiya dengan sorot mata penuh perhatian.
"Kau tidak suka sayuran?" tanyanya dengan nada tenang, tapi jelas, seperti yang biasa ia gunakan ketika sedang berdiskusi di ruang rapat. Namun kali ini, nada itu penuh dengan ketertarikan personal.
Shabiya menengadah, sedikit terkejut karena ia tidak menyangka Chandra akan memperhatikan hal sekecil itu. "Aku bukan penggemar berat sayuran hijau," jawabnya singkat sambil tersenyum tipis, seperti hendak mengabaikan masalah ini.
Tapi Chandra, tentu saja, tidak begitu mudah melepaskan hal kecil yang menurutnya penting. "Sayuran itu penting untuk kesehatanmu," lanjutnya, matanya mengamati wajah Shabiya dengan cermat. "Terutama saat kita mulai memikirkan masa depan. Kau tahu, jika suatu hari nanti kau hamil, tubuhmu akan membutuhkan nutrisi tambahan. Sayuran kaya akan vitamin yang baik untuk kehamilan."
Kata-katanya terucap begitu saja\, tanpa rencana khusus\, tapi efeknya segera terasa. Shabiya menatap suaminya dengan ekspresi kaget. Pikiran tentang kehamilan belum sempat terlintas dalam benaknya secara serius\, setidaknya tidak sejak pernikahan mereka yang terasa begitu tiba-tiba dan penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Mereka belum membicarakan masa depan sejauh itu_hanya sebatas Chandra mengingkan seorang anak_keturunan yang sah. Dan kini\, di tengah obrolan santai tentang makan siang\, Chandra tiba-tiba saja menyinggung soal itu lagi.
"Hamil?" Shabiya mengulang kata itu, mencoba mencerna maksudnya.
Chandra, yang mendengar keraguan dalam suaranya, menatap Shabiya dengan penuh kesungguhan. "Tentu saja," jawabnya tanpa ragu. "Mungkin belum sekarang, tapi nanti. Dan itu pasti. Kita sudah pernah membahasnya, Shabiya. Kau ingat?"
Shabiya menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam cara Chandra berbicara yang selalu berhasil mengguncang pikirannya. Pria itu begitu pasti dalam segala hal, termasuk dalam hal-hal yang belum mereka diskusikan lebih serius.
Ia mengerti maksud Chandra. Mereka adalah suami-istri, bukan hanya karena kewajiban atau perjodohan. Pernikahan ini mungkin dimulai dengan sebuah kesepakatan yang penuh dengan keraguan, tapi sekarang, hubungan itu semakin dalam, semakin nyata. Suatu hari nanti, memiliki anak akan menjadi bagian dari perjalanan mereka.
Namun, saat ini, Shabiya belum siap membicarakan hal itu. Terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.
"Aku mengerti," jawabnya perlahan, sambil menatap sayuran yang masih tersingkir di piringnya. "Tapi... untuk sekarang, aku rasa kita bisa menunda topik tentang anak." Ia mengalihkan pandangannya kembali pada Chandra, mencoba menyuntikkan sedikit humor ke dalam percakapan yang mulai terasa berat. "Bagaimana kalau kita mulai dengan memaksa aku untuk makan sayuran saja?"
Chandra tersenyum, senyum lembut yang tak jarang terlihat di wajahnya. "Itu bisa diatur," katanya sambil menyerahkan garpu dan kembali menatap sayuran di piring Shabiya. "Mulai sekarang, kita atur satu hal pada satu waktu. Dan sayuran adalah hal pertama."
Chandra menatap Shabiya yang masih menunda mengambil sepotong sayuran. Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan garpunya ke brokoli di piring Shabiya dan menyodorkannya ke depan istrinya. "Cobalah," katanya, dengan nada penuh tantangan yang terbungkus perhatian.
Shabiya memandang garpu itu dengan skeptis, lalu kembali menatap Chandra. "Apa kau selalu begini memaksa?" tanyanya, nada suaranya tajam, meski ia mencoba menyamarkan senyum kecil di sudut bibirnya.
Chandra menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kau benar."
Kata-katanya menggantung di udara, dan Shabiya merasa hatinya sedikit melunak. Ia mengulurkan tangan, mengambil garpu dari tangan Chandra, dengan gerakan lambat. Tanpa berkata apa-apa, ia memasukkan potongan itu ke mulutnya dan mengunyah perlahan.
Chandra tersenyum kecil, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada Shabiya. "Lihat? Tidak seburuk itu, kan?"
Shabiya mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan senyumnya sendiri. "Jangan terlalu bangga dulu. Kita lihat saja apakah aku bisa makan satu lagi."
***