Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Kecil di Tengah Hutan
Pagi itu, matahari perlahan menyembul di cakrawala, mewarnai langit dengan warna oranye keemasan. Kapal besar yang mereka tumpangi terus berlayar, namun belum sampai di tujuan berikutnya. Akira, dengan semangat yang meluap-luap, berdiri di geladak, matanya berbinar menikmati keindahan matahari terbit. Di sebelahnya, Sai, Yui, dan Hiyori tampak terpukau, menatap pemandangan dengan penuh kekaguman. Namun, Yusei tetap dengan ekspresi datarnya, memandang lurus ke depan tanpa menunjukkan emosi. Kiria, seperti biasa, terlihat cuek, bahkan tak sedikit pun memperhatikan pemandangan indah di sekelilingnya.
Ketika hari mulai terang, dari kejauhan mereka melihat sebuah pulau kecil yang tampak cantik dan asri. Pulau itu terlihat seperti tempat yang sempurna untuk liburan, namun sayangnya, letaknya di luar rute pelayaran kapal mereka. Kapal pun terus melaju, meninggalkan pulau itu di belakang.
Menjelang siang, akhirnya mereka tiba di negeri Silvarea, sebuah negara yang terkenal karena kemakmurannya dan sebagai pusat perdagangan. Silvarea dikelilingi oleh lautan dan diapit oleh beberapa negara besar seperti Veslandia. Negeri ini memiliki daya tarik wisata yang beragam, mulai dari pantai yang indah, gunung, danau, hingga padang pasir yang luas di tengahnya. Gurun pasir ini sering dianggap sebagai rute pintas untuk melintasi negeri tersebut, tetapi perjalanan di sana sangat berisiko. Bahaya yang mengintai serta sulitnya menemukan sumber air membuat hanya sedikit orang yang berani menempuh jalur itu.
Ada pula legenda tentang kerajaan kecil yang tersembunyi di tengah gurun. Konon, kerajaan itu sangat megah dan terbuat dari batu-batu kokoh. Meskipun sering dianggap sebagai mitos, ada beberapa orang yang mengaku berasal dari kerajaan tersebut. Namun, ketika orang lain mencoba mencarinya, mereka selalu gagal menemukannya, seolah-olah kerajaan itu lenyap dari dunia nyata.
Setelah beristirahat sejenak di pelabuhan, mereka melanjutkan perjalanan mengelilingi negeri Silvarea, menghindari jalur pintas gurun pasir yang berbahaya. Di sepanjang perjalanan, mereka menikmati pemandangan yang memukau. Mereka melewati ladang-ladang yang subur, sungai-sungai yang jernih, dan desa-desa kecil yang ramai. Namun, malam tiba sebelum mereka sampai di tujuan. Demi mempercepat perjalanan, mereka memutuskan untuk terus bergerak.
Tim dibagi menjadi dua kelompok untuk bergantian berjaga selama perjalanan malam. Tim 1, yang terdiri dari Akira, Kiria, dan Yui, mendapat giliran pertama. Sementara itu, tim 5—Yusei, Sai, dan Hiyori—beristirahat di dalam kereta bersama para bangsawan yang mereka kawal.
Malam semakin larut ketika giliran tim 1 berjaga, terdiri dari Akira, Kiria, dan Yui. Kereta perlahan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi hutan kecil. Pepohonan di kiri dan kanan jalan menjulang tinggi, menciptakan bayangan gelap yang menambah kesan seram. Suara hewan malam sesekali terdengar, sementara gerobak yang mereka kawal terus melaju, dikendarai oleh seorang sopir yang tampak gugup karena keheningan malam.
Untuk mengusir rasa kantuk dan suasana tegang, Yui dengan nada ceria berkata, "Hei, bagaimana kalau kita saling berbagi cerita horor? Aku yakin kalian punya pengalaman menyeramkan."
Akira langsung menoleh sambil menyeringai, "Ah, kau berani memulai topik itu, Yui? Baiklah, aku punya cerita yang bisa membuatmu sulit tidur malam ini."
Sementara itu, Kiria hanya mendengus pelan, terlihat tidak tertarik. Namun, ia tetap mendengarkan dengan tatapan acuh.
Akira memulai, suaranya agak pelan, seolah ingin menambah suasana menyeramkan. "Dulu, di panti asuhan tempatku dan Yusei dibesarkan, ada koridor gelap yang selalu kami hindari saat malam. Suatu malam, aku memberanikan diri berjalan di sana sendirian karena lupa membawa pedang latihanku. Saat itu, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Kupikir itu Yusei, jadi aku tidak peduli. Tapi ketika aku menoleh..." Akira berhenti, sengaja membuat Yui tegang.
"Apa yang terjadi?" tanya Yui, matanya membelalak.
"Seseorang berdiri di sana, tanpa wajah, hanya bayangan hitam, dan ia mengulurkan tangannya seolah ingin mengambil sesuatu dariku. Aku langsung lari sekencang-kencangnya dan tidak pernah lewat koridor itu lagi." Akira tertawa kecil, tetapi matanya menunjukkan bahwa kisah itu bukan sepenuhnya lelucon.
Giliran Yui berbicara. "Ceritaku terjadi di rumah keluargaku di desa. Ada sebuah kamar di lantai dua yang jendelanya menghadap ke hutan. Suatu malam, aku sedang membaca di kamar itu. Ketika aku melihat ke jendela, aku melihat seorang gadis kecil berdiri di luar. Ia hanya menatapku tanpa ekspresi, meskipun lantai dua cukup tinggi."
"Dan kau tidak lari?" tanya Akira dengan nada heran.
"Aku mencoba memberanikan diri. Aku berpikir mungkin itu hanya imajinasiku, tetapi ketika aku mematikan lampu, gadis itu tersenyum dan mengetuk kaca." Yui menelan ludah, menahan rasa takut yang muncul kembali. "Sejak itu, aku tidak pernah tidur di kamar itu lagi."
Kiria, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyahut. "Benar-benar anak kecil. Takut pada cerita bodoh seperti itu. Sihir adalah satu-satunya hal nyata yang harus kita khawatirkan, bukan bayangan atau gadis hantu. Tapi baiklah, jika kalian memaksa."
Ia tersenyum sinis sebelum melanjutkan, "Aku pernah menghadapi sesuatu yang benar-benar menyeramkan: sekelompok penyihir lemah yang mencoba menantangku. Bayangkan betapa lucunya mereka ketika mereka menyadari siapa lawan mereka."
Akira mendengus kesal. "Itu bukan cerita horor, itu ego."
"Bagiku, tak ada yang lebih menyeramkan daripada kebodohan. Dan kau, Akira, adalah contoh sempurna," balas Kiria sambil tersenyum dingin.
Di tengah percakapan, tiba-tiba Akira merasakan sesuatu. Akira mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasakan kehadiran makhluk-makhluk asing yang mengintai dari balik pepohonan. Tiba-tiba, sebuah bayangan merah melesat cepat melompati kereta, menangkis anak panah yang meluncur dari arah gelap. Bayangan itu adalah Kiria. Dengan penuh percaya diri, ia langsung melompat ke arah para bandit yang menghadang di depan. Kiria, yang ternyata sudah menyadari keberadaan musuh sebelumnya, berteriak kepada Akira, "Yang di sini kuserahkan kepadamu, anak jelata!" sambil terus melesat ke depan.
Sopir kereta hendak menghentikan kendaraan, tetapi Kiria memerintahkannya untuk terus berjalan. Dalam waktu singkat, Kiria berhasil mengalahkan bandit di depan dengan gerakan yang gesit dan elegan. Di belakang, Akira dan Yui bekerja sama untuk menyingkirkan bandit yang tersisa. Setelah berhasil, mereka meninggalkan para bandit tanpa memperlambat perjalanan.
Para bangsawan yang menyaksikan aksi Kiria terlihat sangat terkesan dan memuji keterampilan siswa-siswa magang itu. Sementara itu, tim 5 tidak menyadari apa pun karena tertidur lelap. Akira tampak sedikit kesal karena aksinya didahului oleh kiria, untungnya Hiyori tidak melihat keleletannya tersebut.
Langit dini hari memancarkan warna biru gelap, dihiasi bintang yang berkilauan lemah. Tim 5 baru saja memulai giliran jaga mereka di tepi hutan. Udara dingin dengan hembusan angin sepoi-sepoi menyentuh kulit, membuat suasana terasa menekan. Di tengah keheningan, Yusei berdiri tegak di depan, matanya yang hitam legam menatap lurus ke dalam gelapnya hutan. Rambutnya bergerak lembut tertiup angin, tubuhnya tampak kokoh meski hawa malam menusuk.
Tak lama, dari celah dedaunan, muncul sesosok bayangan. Perlahan sosok itu melangkah keluar—seorang wanita dengan pakaian putih panjang yang melambai tertiup angin, rambutnya tergerai hingga pinggang. Sosok itu tersenyum lembut, tetapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatnya terasa tidak wajar. Ia mengangkat tangannya, melambai pelan ke arah Yusei, seperti memanggilnya.
Yusei tetap diam, tak menunjukkan emosi apa pun. Ia tidak bergeming sedikit pun, hanya matanya yang memperhatikan gerak-gerik sosok itu. Namun, tatapan matanya seperti berbicara banyak—bukan rasa takut, melainkan pemahaman.
Dari belakang, Hiyori, salah satu anggota tim, penasaran dengan apa yang sedang dilihat Yusei. Ia mengikuti arah pandangannya, dan saat matanya bertemu dengan sosok itu, tubuhnya langsung membeku. Wajahnya berubah pucat, napasnya tercekat, dan tangannya gemetar hebat.
"Y-Yusei... siapa itu?" suara Hiyori bergetar, nyaris tak terdengar.
Sosok berpakaian putih itu tidak bergeming, masih dengan senyuman yang sama. Hiyori mundur perlahan, langkahnya goyah hingga akhirnya terjatuh. Ia terduduk, tangannya menutupi mulutnya, mencoba menahan jeritan yang hampir keluar.
Namun Yusei akhirnya berbicara, suaranya tenang dan dingin, "Tenang saja, dia tidak akan mengganggu kita."
Hiyori mendongak, menatap Yusei dengan sorot tak percaya. "K-Kau tahu siapa dia?"
Yusei tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sedikit ke arah Hiyori, sorot matanya seolah berbicara lebih dari kata-kata. "Dia bukan untukmu. Dan kau tidak akan paham."
Kata-kata itu membuat Hiyori semakin bingung. Ia mencoba bangkit, tapi lututnya masih lemas. "Tapi... dia... dia terlihat nyata. Kenapa dia hanya melambai? Apa yang dia inginkan?"
Yusei mengalihkan pandangannya kembali ke sosok itu. "Dia bukan manusia. Apa pun yang kau pikirkan, lupakan saja. Semakin kau memikirkannya, semakin besar pengaruhnya padamu."
Hiyori terdiam, mencoba memproses ucapan Yusei. Tapi ketenangan Yusei yang hampir tak manusiawi membuat suasana semakin mencekam. Seolah-olah Yusei bukan hanya mengerti keberadaan sosok itu, tapi juga memiliki hubungan yang tak terlihat.
Sosok berpakaian putih itu perlahan mulai memudar, menghilang seperti kabut yang ditiup angin. Yusei tetap berdiri di tempatnya, tak ada tanda-tanda kekhawatiran di wajahnya. Namun, di sudut matanya, ada kilatan yang sulit dijelaskan, seperti kenangan yang kembali menghantuinya.
Ketika sosok itu benar-benar hilang, Yusei berbalik dan berjalan melewati Hiyori yang masih terduduk. "Bersiaplah. Malam ini belum berakhir."
Hiyori akhirnya berhasil bangkit, meski tubuhnya masih gemetar. Ia mengikuti Yusei dengan pandangan bingung dan takut. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Yusei menyembunyikan sesuatu—bukan hanya tentang sosok tadi, tetapi mungkin tentang siapa dirinya sebenarnya.
Di kejauhan, suara angin membawa bisikan samar, seperti suara tawa lembut dari hutan yang gelap. Bisikan itu terdengar jelas di telinga Hiyori, tetapi Yusei tidak tampak terganggu sama sekali.
Dan malam itu pun berlanjut, dengan misteri yang semakin membayangi Yusei dan sosok wanita berpakaian putih yang tidak akan mudah dilupakan.