Anindya Alyssa seorang wanita manis yang memiliki warna kulit putih bersih, bekerja sebagai waiters di salah satu hotel yang cukup terkenal di kotanya. Hidup sebatang kara membuat harapannya untuk menjadi sekretaris profesional pupus begitu saja karena keterbatasan biaya untuk pendidikan nya.
Namun takdir seakan mempermainkan nya, pekerjaan sebagai waitres lenyap begitu saja akibat kejadian satu malam yang bukan hanya menghancurkan pekerjaan, tetapi juga masa depannya.
Arsenio Lucifer seorang pria tampan yang merupakan ceo sekaligus pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur. Terkenal akan hasil produksi yang selalu berada di urutan teratas di pasaran, membuat sosok Lucifer disegani dalam dunia bisnis. Selain kehebatan perusahaan nya, ia juga terkenal akan ketampanan dan juga sifat gonta-ganti pasangan setiap hari bahkan setiap 6 jam sekali.
Namun kejadian satu malam membuat sifatnya yang biasa disebut 'cassanova' berubah seketika. Penolakan malam itu justru membuat hati seorang Lucifer takluk dalam pesona seorang waiters biasa.
Lalu bagaimana kisah Assa dan Lucifer?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Anindya menghela nafas lega setelah selesai makan siang dengan tenang di kantin kantor. Sejujurnya ia kabur dari ruangan Arsen karena ingin makan siang sendiri, dan ia sangat yakin jika nanti Arsen akan memarahi dirinya yang pergi tanpa mengatakan apapun.
Anindya beranjak dari duduknya, ia segera pergi untuk kembali ke ruangannya. Sesampainya di lantai tujuan, Anin sedikit mengerutkan keningnya melihat pintu ruangan Arsen yang tidak sepenuhnya tertutup.
Anin mendekat, ia hendak mengetuk pintu ruangan bos nya itu namun terhenti saat telinganya mendengar suara aneh.
"Ahhhh … Pak, pak Arsen. Saya nggak kuat, Pak!" suara erangan parau itu terdengar begitu keras.
Anindya terdiam, ia menjauhkan tangannya dari pintu kemudian bergegas pergi dari sana. Anin berlari ke kamar mandi lalu masuk ke salah satu bilik dan duduk diatas kloset yang tertutup.
"Siapa lagi yang menjadi boneka untuk pak Arsen, apakah pria itu benar-benar tidak bisa merubah sifatnya. Tak cukupkah dia menghancurkan masa depanku, sehingga karyawannya sendiri harus menjadi korbannya juga." Gerutu Anindya mengepalkan tangannya.
Anin mendengus, ia menarik panjang tisu toilet lalu menggulung nya asal. Anin memperhatikan gulungan tisu itu lalu membuangnya dengan kasar ke dalam tempat sampah.
"Sampai kapan aku harus disini, jika aku masuk itu sama saja aku mengantar nyawa." Celetuk Anindya mengacak rambutnya sendiri.
"Tadi kau abis ngapain di ruangan Pak Arsen?" suara terdengar menghentikan Anin yang hendak keluar.
"Apalagi, tentu saja aku bersenang-senang." Jawab seorang wanita diikuti suara kran air yang mungkin dinyalakan.
Anin menajamkan pendengarannya, ia mendengus lalu segera keluar. Tak peduli pada keterkejutan dua wanita yang masih belum menyelesaikan pembicaraan mereka.
"Kau, sejak kapan kau disana?" tanya Lena, kepala divisi kepegawaian.
"Maaf, Bu?" tanya Anindya balik.
"Kau menguping pembicaraan kami?" tanya teman Lena dengan tajam.
"Biarkan saja dia dengar, dia bisa apa. Sebagai sekretaris tapi tak bisa menyenangkan bosnya, lagipula pak Arsen tak akan mau dengan gadis murahan sepertinya." Celetuk Lena menunjuk Anindya disertai senyuman remah.
"Terima kasih atas pendapat anda, Bu. Saya permisi," pamit Anindya langsung pergi dari toilet.
Anin kembali ke ruangannya yang mana merupakan ruangan Arsen juga, saat ia masuk ia langsung disambut oleh kesunyian. Tidak ada siapapun disana, ruangan Arsen kosong dan mungkin saja si pemilik sedang makan siang setelah lelah bersenang-senang.
"Untung saja." Gumam Anindya mengusap dadanya lega.
Anindya duduk di kursi kerjanya, ia mulai mengerjakan tugas nya kembali dengan begitu serius.
Waktu terus berjalan, Anindya akhirnya selesai mengerjakan tugasnya tepat jam pulang kantor. Ia baru sadar jika Arsen tak kunjung kembali ke ruangannya hingga sore menjelang seperti sekarang.
"Apa pak Arsen sudah pulang ke rumah." Gumam Anindya mulai merapikan meja kerjanya.
Anindya meraih tas kecil miliknya, tiba-tiba ponselnya berdenting yang mana menandakan ada pesan masuk.
Pak Arsen
"Pulang sekarang sebelum aku menyeretmu di depan semua karyawan."
Anindya tampak panik, ia segera berlari keluar dari ruangannya dan menuju lift. Sesampainya di gf, Anin segera keluar dan melihat Asisten Lee sudah menunggu nya.
"Asisten Lee, maafkan saya karena telah membuat anda menunggu. Mari kita pulang," ajak Anindya hendak masuk ke dalam mobil namun dihentikan.
"Mobil yang itu, Nona." Cegah Asisten Lee menunjuk mobil hitam yang terparkir di dekat gerbang kantor.
"Tapi itu mobil siapa?" tanya Anindya heran.
"Tuan Arsen sudah menunggu anda sejak 2 jam lalu." Jawab Asisten Lee membuat mata Anindya membola.
"APA?!!!" pekik Anindya terkejut.
Anindya segera berlari mendekati mobil Arsen, ia mengatur nafasnya sejenak lalu mengetuk kaca mobil atasannya itu.
Kaca perlahan turun, terlihat wajah Arsen yang tegas dengan pandangan menatap lurus. Rahang tegas pria itu terlihat begitu jelas menampakkan kekesalan disana.
"Selamat sore, Pak." Sapa Anindya dengan suara gugupnya.
"Masuk." Ketus Arsen tanpa mengalihkan pandangannya.
Anindya segera masuk dan duduk tepat di kursi penumpang, ia memakai seatbelt nya lalu terdiam sebelum Arsen akhirnya tancap gas dengan kecepatan sedang, memecah keramaian kota sore itu.
"Pak, maafkan saya telah membuat anda--" Ucapan Anindya terhenti saat Arsen tiba-tiba mengerem.
"Siapa yang memberimu hak untuk pergi tanpa seizinku, Assa?" tanya Arsen pelan namun penuh ancaman.
"Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf," jawab Anindya menundukkan kepalanya.
"Saya butuh jawaban, bukan kata maaf. Kau siapa berani berbuat seenaknya." Tukas Arsen semakin menyudutkan Anindya.
"Ingat, posisimu hanya wanita pemuas ku!" lanjut Arsen seketika membuat hati Anin terasa ingin copot.
Anin meremat tangannya, ia menahan air mata yang ingin jatuh lalu mengangkat kepalanya.
"Saya tidak pernah ingin untuk menjadi seorang wanita seperti itu, Pak. Seharusnya anda tahu, bahwa saya tidak ingin, biarkan saya pergi!" ucap Anindya dengan suara semakin sesak.
"ASSA!!!!" bentak Arsen membuat mulut Anindya terasa kelu.
"Kau benar-benar mempermainkan emosi ku, lihat apa yang akan aku lakukan setelah kita sampai dirumah!" tambah Arsen mengancam kemudian kembali menjalankan mobilnya.
Anindya hanya diam, ia memijat pelipisnya dengan sedikit kasar saat mengingat bahwa dirinya begitu bodoh. Kenapa harus ia mengiyakan tawaran Arsen saat itu.
Sesampainya di rumah Arsen, Anindya langsung diseret masuk oleh sang pemilik. Beberapa karyawan tampak ingin menolong Anin, namun mereka tak punya cukup keberanian.
Anindya di hempaskan ke ranjang, Arsen mengunci pintu lalu memasukkannya ke dalam kantung celana nya.
"Biarkan s-saya pergi, Pak." Lirih Anindya semakin mundur sambil menarik selimut sampai batas dada.
"DIAM!" bentak Arsen lagi.
Arsen ikut naik ke atas ranjang, ia menangkup wajah Anindya. "Berapa kali harus aku katakan bahwa kau tidak akan bisa pergi sebelum aku puas dengan tubuhmu, lagipula jika kau pergi mau kemana? Menjadi gelandangan, iya?" tanya Arsen menantang.
Anindya melepaskan tangan Arsen dari wajahnya, ia segera turun dari ranjang lalu mendekati pintu meski ia tahu pintu itu terkunci.
"Lebih baik menjadi gelandangan yang punya harga diri daripada harus menjadi wanita seperti yang anda katakan." Jawab Anindya berusaha berani meski sekujur tubuhnya gemetar.
"Oh, kau menantangku?" tanya Arsen dengan tenang.
Arsen turun dari ranjang, ia hendak mendekati Anin namun tak sempat karena wanita itu tiba-tiba membanting vas bunga yang ada disana dan meraih pecahan nya.
"Saya lelah, Pak. Saya pikir dengan menerima tawaran anda sebagai sekretaris hidup saya bisa lebih baik, tetapi nyatanya tidak. Saya semakin menderita!" lirih Anin sambil menggenggam pecahan vas bunga hingga cairan berwarna merah terlihat mengalir dari tangannya.
"Assa, kau jangan main-main. Buang itu!" perintah Arsen masih tenang.
"Pergi dari sini, Pak." Pinta Anindya pelan.
"Tidak, ini rumahku." Balas Arsen menolak.
"Berikan kuncinya, biar saya yang pergi." Pinta Anindya lagi tanpa menatap Arsen.
Tanpa Anindya sadari jika sejak tadi Arsen berusaha mendekatinya perlahan, hingga akhirnya pria itu berhasil merengkuh tubuh kecilnya dan membuang kaca yang ada di tangannya.
"Lepaskan, Pak!!!" pinta Anindya memberontak dalam pelukan Arsen.
"Sssttt … tenanglah, Anin. Maafkan aku, tenanglah." Bisik Arsen mengusap rambut panjang Anindya.
Like, komen dan vote 🥰
To be continued