Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Di Antara Rasa Percaya dan Pengkhianatan
Malam yang dingin terasa semakin mencekam bagi Naura.
Di kamarnya, ia duduk di sudut tempat tidur dengan ponsel yang terus menggenggam erat.
Naura memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan yang menghantui pikirannya.
Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin jelas bayangan itu muncul.
Wajah Anita, kata-katanya yang penuh teka-teki, sikap dingin Bimo tadi sore—semuanya berputar menjadi mimpi buruk yang nyata.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Naura, kamu nggak apa-apa?" suara ibunya terdengar khawatir.
Naura menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku nggak apa-apa, Bu. Cuma capek."
"Kalau ada apa-apa, kamu cerita, ya. Kami di sini untuk kamu."
Air mata Naura hampir tumpah mendengar suara lembut ibunya.
"Iya, Bu. Terima kasih."
Ketika suara langkah ibunya menjauh, Naura kembali memandang ponsel di tangannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti orang asing di kehidupannya sendiri.
***
Keesokan paginya, Naura memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia menelepon salah satu temannya yang tinggal di kota, Rani, seseorang yang ia tahu memiliki koneksi luas.
“Naura? Kamu nggak biasanya nelpon pagi-pagi. Ada apa?” tanya Rani dengan nada ceria.
“Aku... butuh bantuanmu,” jawab Naura, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
“Bantuan apa? Kamu terdengar serius banget.”
Naura menggigit bibirnya, ragu sejenak.
“Aku perlu tahu tentang seseorang. Suamiku. Mas Bimo.”
Hening di ujung telepon.
Lalu, Rani berkata dengan hati-hati, “Naura, kamu yakin mau ngelakuin ini? Kalau kamu cari sesuatu, kamu harus siap dengan apa pun yang bakal kamu temukan.”
“Aku nggak punya pilihan, Rani. Aku harus tahu kebenarannya,” jawab Naura tegas, meskipun hatinya penuh keraguan.
“Oke, aku akan coba cari tahu. Tapi beri aku waktu. Dan, Naura … kamu hati-hati, ya.”
Naura menutup telepon dengan tangan gemetar. Pikirannya semakin kalut. Terlebih tentang semua orang yang rasanya aneh karena nyaris semua memberikan peringatan.
Ia tahu, langkah ini berisiko. Tapi ia tidak bisa lagi diam dan menerima semua kebohongan yang terasa semakin nyata.
***
Hari itu, Bimo tidak menghubungi Naura sama sekali. Biasanya, ia akan mengirim pesan atau menelepon untuk menanyakan keadaan ayah Naura. Tapi kali ini, tidak ada kabar sama sekali.
Menjelang sore, Naura duduk di ruang tamu bersama ibunya, membantu mengupas sayuran untuk makan malam.
Ibunya menatapnya dengan cermat sebelum berkata, “Kamu sama Bimo nggak ada masalah, kan?”
Naura terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Kenapa Ibu tanya begitu?”
“Semalam, Ibu dengar kalian bicara. Suara kalian agak keras. Kalau ada apa-apa, kamu jangan pendam sendiri, ya.”
Naura mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan.
“Nggak apa-apa, Bu. Cuma salah paham kecil.”
Ibunya mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyimpan kekhawatiran.
“Bimo itu laki-laki yang baik. Ibu yakin, kalau kamu bicara dari hati ke hati, semuanya akan selesai.”
Naura tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh.
***
Malam itu, sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal mengejutkan Naura. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
“Halo?”
“Naura.” Suara itu berat dan dingin, tapi kali ini tidak asing. Itu suara Anita.
“Kamu?” Naura berbisik, matanya melebar.
“Bimo sedang tidak di rumah, 'kan? Kalian pasti tidak tinggal bersama. Aku tahu dia sering ke kota malam-malam begini,” kata Anita dengan nada datar.
Naura terdiam, pikirannya langsung dipenuhi spekulasi.
“Kamu tahu dia di mana?”
“Aku tahu banyak hal tentang Bimo yang kamu nggak tahu,” jawab Anita sinis.
“Dan aku pikir, sudah saatnya kamu tahu juga.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu punya keberanian untuk bertemu aku?” tantang Anita. “Kalau iya, datanglah ke kafe di Jalan Raya pukul delapan. Aku akan tunggu kamu di sana.”
Naura ragu sejenak, tapi kemudian ia menjawab, “Baik. Aku akan datang.”
***
Ketika waktu menunjukkan pukul delapan, Naura berdiri di depan sebuah kafe kecil yang remang-remang.
Tangannya gemetar saat mendorong pintu masuk. Suasana di dalam terasa hangat, dengan suara musik pelan mengisi ruangan.
Di sudut kafe, Anita melambaikan tangan. Ia tampak anggun dalam balutan blus hitam, tetapi sorot matanya dingin dan penuh misteri.
“Kamu datang juga,” ucap Anita ketika Naura duduk di hadapannya.
“Aku mau tahu apa yang kamu sembunyikan tentang Mas Bimo,” kata Naura tanpa basa-basi.
Anita tersenyum tipis. “Langsung to the point, ya? Aku suka itu.”
Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop cokelat, dan menyerahkannya pada Naura.
“Buka ini. Kamu akan tahu semuanya.”
Naura membuka amplop itu dengan tangan gemetar.
Di dalamnya terdapat beberapa foto. Foto-foto itu memperlihatkan Bimo bersama seorang wanita lain, tertawa dan tampak akrab.
Salah satu foto bahkan menunjukkan Bimo memegang tangan wanita itu dengan lembut.
Air mata Naura mengalir tanpa henti.
“Apa ini?”
“Itu kebenaran tentang suamimu,” jawab Anita dingin.
“Wanita dalam foto itu adalah tunangan lamanya. Mereka masih sering bertemu, bahkan setelah dia menikah denganmu.”
Naura merasa dunianya runtuh. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bukti di tangannya terlalu nyata untuk diabaikan.
“Kenapa kamu lakukan ini?” bisik Naura, suaranya bergetar.
“Karena kamu berhak tahu. Dan karena aku peduli padamu, Naura,” jawab Anita sambil menatapnya tajam.
Naura hanya bisa duduk terpaku, menangis dalam keheningan. Ia bahkan rela berhenti bekerja setelah menjadi istri, inikah balasannya?
Mendadak, dada Naura terasa sesak.
Naura menggenggam foto-foto itu dengan tangan gemetar.
Pandangannya kabur oleh air mata, tapi setiap detail dalam gambar itu terasa menghantamnya tanpa ampun.
Bimo, pria yang ia cintai dan percayai, tampak bahagia bersama wanita lain.
“Apa ini lelucon, Anita? Kamu hanya ingin menghancurkan aku, kan?” Naura mencoba menyangkal, suaranya penuh luka.
Anita menyandarkan punggungnya ke kursi, memasang senyum dingin.
“Aku nggak punya alasan untuk menghancurkanmu, Naura. Yang aku tunjukkan ini fakta. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi aku yakin kamu tahu, jauh di dalam hatimu, ada sesuatu yang selama ini salah.”
Naura menunduk, merasa dadanya sesak. Ia ingin melawan kata-kata Anita, tapi keraguan yang sudah lama mengendap kini muncul ke permukaan, membuatnya sulit bernapas.
“Aku … aku akan bicara dengan Mas Bimo. Dia pasti bisa menjelaskan semuanya,” kata Naura dengan suara gemetar.
Anita tersenyum sinis. “Tentu, bicaralah. Tapi aku yakin, dia akan mengelak. Seperti biasa.”
Naura mengabaikan sindiran itu dan beranjak dari tempat duduknya.
Namun, sebelum ia melangkah keluar, Anita berkata dengan nada mengejek, “Hati-hati, Naura. Kebenaran terkadang lebih menyakitkan daripada kebohongan.”
Naura tidak menjawab. Ia melangkah cepat keluar dari kafe, meninggalkan Anita dengan perasaan campur aduk di dadanya.
***
Sesampainya di rumah, Naura melihat lampu di ruang tamu masih menyala.
Ia masuk dengan langkah berat, berharap menemukan Bimo di sana. Dan benar saja, pria itu sedang duduk di sofa, memegang ponselnya sambil terlihat gelisah.
“Mas,” panggil Naura, suaranya serak.
Bimo mendongak. “Kamu dari mana? Aku cari-cari kamu.”
“Aku keluar untuk menenangkan diri,” jawab Naura singkat.
Ia melangkah mendekat, lalu meletakkan foto-foto yang ia bawa di meja depan Bimo.
“Apa ini, Mas?”
Wajah Bimo seketika berubah. Ia meraih foto-foto itu dan memandanginya dengan ekspresi sulit ditebak.
“Dari mana kamu dapat ini?” tanyanya, nada suaranya berubah tajam.
“Itu nggak penting. Yang aku ingin tahu adalah, apa semua ini benar?” Naura menatap Bimo dengan air mata yang menggenang.
Bimo melempar foto-foto itu ke meja dan berdiri.
“Naura, kamu nggak seharusnya mempercayai hal-hal seperti ini. Aku nggak tahu siapa yang memberi kamu foto-foto ini, tapi jelas mereka hanya ingin merusak rumah tangga kita.”
“Mas, aku nggak butuh alasan. Aku cuma mau kebenaran!” Naura berteriak, tangisnya pecah.
“Apa benar Mas masih bertemu dengan wanita itu? Apa benar aku cuma bagian dari rencana yang Mas sembunyikan?”
Bimo mendekat, menggenggam bahu Naura.
“Naura, dengarkan aku. Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Jangan biarkan orang lain merusak hubungan kita.”
“Tapi kenapa ada banyak kebohongan, Mas? Kenapa Mas nggak pernah benar-benar terbuka sama aku?” Naura menepis tangannya, menatapnya dengan penuh luka.
Bimo terdiam, rahangnya mengeras.
“Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi kamu harus percaya, aku melakukan semua ini demi kita.”
“Demi kita?” Naura tertawa pahit. “Atau demi Mas sendiri?”
Hening menyelimuti ruangan. Naura merasa hatinya seperti diiris perlahan, sementara Bimo terlihat seperti sedang berjuang dengan pikirannya sendiri.
“Aku butuh waktu,” akhirnya Bimo berkata.
“Aku akan menjelaskan semuanya nanti, tapi sekarang bukan waktunya.”
“Mas selalu begitu,” bisik Naura. “Menunda, menghindar, dan akhirnya aku yang harus menanggung semuanya.”
Bimo melangkah menuju pintu. “Aku harus pergi. Jangan tunggu aku malam ini. Kecuali kamu mau pindah dan tinggal di apartemen denganku.”
“Mas!” Naura memanggilnya, tapi Bimo tidak menoleh.
Pintu tertutup dengan bunyi keras, meninggalkan Naura sendirian dalam keheningan yang menyakitkan.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan