seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 13
Rumah kaca mawar hitam milik Ayana. Ruangan itu penuh dengan nuansa damai, tetapi terasa seperti tempat yang menyimpan kesedihan mendalam. Ayana tengah duduk di kursi rotan, memandangi bunga-bunganya dengan ekspresi kosong. Cahaya matahari pagi menembus kaca, menciptakan pantulan yang hangat namun mengiris hati. Suara ketukan di pintu rumah kaca terdengar, membuat Ayana sedikit tersentak.
Ayana dengan nada lembut, tanpa menoleh
"Devano? Masuk saja, aku di sini."
Pintu terbuka perlahan, tetapi tidak ada suara langkah yang dikenal Ayana. Ayana menoleh, dan tatapannya langsung membeku ketika melihat sosok Biantara berdiri di ambang pintu. Pria itu mengenakan setelan kasual, tetapi auranya tetap memancarkan wibawa. Ada kilatan emosional dalam matanya yang sulit disembunyikan.
Ayana terkejut, hampir berbisik
"Biantara...? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Biantara berjalan masuk, menutup pintu perlahan. Ia tidak langsung menjawab, melainkan memandangi mawar-mawar hitam di sekeliling ruangan itu. Ada senyuman tipis, tetapi senyuman itu penuh kepahitan.
"Mawar hitam ini... Kamu masih menyukainya"Biantara dengan nada lembut
Ayana menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang jelas terasa. Tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu di sini, Bian?"pungkas ayana
Biantara mendekat perlahan, tetapi menjaga jarak. Ia menatap Ayana, ekspresinya berubah serius.
"Aku tahu semuanya, Ayana. Tentang malam pernikahanmu, tentang paksaan yang kamu alami, bahkan tentang kondisimu sekarang."
Ayana langsung membeku. Wajahnya memucat, dan ia menggelengkan kepala dengan panik.
"Tidak, kamu tidak berhak tahu tentang itu. Itu bukan urusanmu, Bian."
Biantara dengan nada penuh emosi beekata
"Itu urusanku, Ayana! Aku seharusnya melindungimu saat itu. Aku meninggalkanmu, membiarkanmu menghadapi semuanya sendirian. Dan lihat apa yang terjadi padamu sekarang!"
Ayana bangkit dari kursinya, berusaha menenangkan dirinya meski suaranya bergetar.
"Aku sudah membuat pilihan, Bian. Aku sudah menikah. Hidupku sekarang bukan urusanmu lagi."
Biantara menatap Ayana dengan tatapan penuh rasa sakit. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya.
"Pilihan? Itu bukan pilihanmu, Ayana. Itu keputusan yang dipaksakan padamu. Aku tahu kamu tidak bahagia. Aku tahu kamu masih mencintaiku, sama seperti aku masih mencintaimu."
Ayana terdiam, air mata mulai menggenang di matanya. Ia membelakangi Biantara, tidak sanggup menatapnya.
"Aku tidak bisa, Bian. Aku tidak bisa meninggalkan Devano. Dia tidak pernah menyakitiku. Dia selalu ada untukku." ucap Ayana dengan suara sedikit berbisik
Biantara mendekat sedikit, suaranya menjadi lebih lembut.
"Aku tahu dia pria baik, Ayana. Tapi kebaikan saja tidak cukup untuk membuatmu bahagia. Aku melihat penderitaanmu. Aku merasakannya. Dan aku tidak akan membiarkanmu terus hidup seperti ini."
Ayana berbalik, air matanya mengalir. Ia menatap Biantara dengan campuran rasa sakit dan kerinduan.
"Kenapa kamu datang sekarang, Bian? Setelah semuanya? Kenapa kamu tidak datang lebih awal, sebelum semuanya menjadi serumit ini?"
Biantara menatap Ayana dengan tatapan penuh penyesalan.
"Karena aku pengecut. Karena aku berpikir kamu akan lebih baik tanpaku. Tapi aku salah, Ayana. Dan aku tidak akan membuat kesalahan itu lagi."
Hening sejenak. Hanya suara angin yang meniup perlahan di luar rumah kaca. Ayana akhirnya duduk kembali, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Biantara berdiri di tempatnya, tidak ingin mendesak Ayana lebih jauh.
"Aku akan pergi, Ayana. Aku tidak ingin membuatmu semakin tertekan. Tapi aku akan ada di sini, menunggumu, jika kamu memutuskan untuk memilih kebahagiaanmu sendiri."Biantara dengan nada lembut
Biantara berbalik, berjalan keluar dari rumah kaca. Ayana tetap diam, air matanya terus mengalir. Setelah Biantara pergi, ia memandang bunga-bunga mawar hitamnya, mencoba menemukan jawabannya di tengah kekacauan emosinya.
Ya, setelah mengetahui kabar itu, Bian tak pernah bisa tenang, hatinya meronta-ronta ingin segera menemui Ayana secepatnya,namun situasi Ayana yang selalu berada di rumah membuatnya nekat menerobos masuk menemui istri orang lain.
Suasana rumah yang biasanya tenang berubah tegang ketika Devano tiba dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya penuh amarah, matanya memancarkan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam. Maid yang melapor kepadanya sebelumnya terlihat ketakutan dan menunduk di sudut ruangan. Devano langsung mencari Ayana.
Devano sedukit berteriak dengan nada marah
"Ayana! Di mana kamu?!"
Ayana, yang baru saja keluar dari rumah kaca, terlihat kaget melihat Devano pulang lebih awal. Wajahnya langsung berubah panik ketika melihat ekspresi suaminya yang jarang ia lihat seperti ini.
"Devano? Ada apa? Kenapa kamu terlihat marah?"tanya Ayana dengan nada hati-hati
Devano mendekati Ayana dengan langkah cepat, menghadapnya dengan tatapan tajam.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Ayana! Siapa pria itu? Siapa yang dengan berani menerobos masuk ke rumahku untuk menemuimu di saat aku tidak ada?! Apa kamu sadar ini sudah melewati batas?!" darahnya mendidih dan tentu saja sebagai seorang suami dia berhak marah karena seorang pria telah menerobos masuk tanpa sepengetahuannya namun itu di luar kendali Ayana sendiri, ayana tidak pernah menyangka biantara akan senekat itu menemuinya.
Ayana terkejut, wajahnya memucat. Ia mundur beberapa langkah, mencoba menenangkan Devano.
"Bian... Bian hanya ingin berbicara, Devano. Aku tidak memanggilnya, aku bahkan tidak tahu dia akan datang."
Nama Biantara yang disebut membuat emosi Devano semakin memuncak. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kontrol sepenuhnya.
"Biantara?! Jadi benar dia?! Apa kamu sadar apa yang sudah dia lakukan? Apa kamu lupa siapa aku, Ayana? Aku suamimu! Aku yang ada di sisimu selama tujuh tahun ini, bukan dia!"
Ayana menundukkan kepalanya, air matanya mulai menggenang. Ia merasa terpojok, tetapi ia tahu bahwa membela Biantara hanya akan membuat situasi semakin buruk.
"Aku tahu, Devano. Aku tahu kamu suamiku. Aku tidak pernah memanggilnya. Dia datang sendiri tanpa pemberitahuan, dan aku pun tidak tahu bagaimana cara menghentikannya."
Devano menghela napas berat, tetapi emosinya tidak surut. Ia merasa dikhianati, meskipun ia tahu Ayana tidak bermaksud seperti itu.
Devano dengan nada lebih dingin berkata
"Ayana, aku sudah mencoba mengerti. Aku sudah mencoba sabar. Tapi ini sudah terlalu jauh. Aku tidak akan membiarkan pria lain memasuki rumahku untuk mendekati istriku. Aku punya harga diri, Ayana."
Ayana mulai menangis, tangisnya pelan namun penuh rasa bersalah. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya, tetapi akhirnya ia berbicara.
"Maaf, Devano. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku... aku hanya bingung."
Devano menatap Ayana dengan campuran rasa sakit dan kemarahan. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi, mencoba menenangkan dirinya.
"Aku hanya ingin tahu satu hal, Ayana. Apa kamu masih mencintainya?"
Pertanyaan itu menghantam Ayana seperti pukulan berat. Ia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Keheningan itu membuat Devano merasa semakin terluka.
"Jawab aku, Ayana. Karena jika iya, aku tidak tahu apakah aku bisa terus berjuang sendirian dalam pernikahan ini." devano sedikit berteriak dengan rasa frustasinya
Ayana menatap Devano dengan mata yang basah oleh air mata. Ia tahu Devano terluka, tetapi hatinya juga penuh kekacauan. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berbicara.
"Aku tidak tahu, Devano. Aku mencoba melupakan dia, mencoba mencintaimu. Tapi aku... aku tidak tahu bagaimana caranya."
Jawaban itu membuat Devano memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan air matanya sendiri. Ia tidak pernah ingin mendengar jawaban itu, tetapi ia tahu itu adalah kebenaran.
"Ayana, aku sudah memberikan semua yang aku punya untukmu. Tapi jika hatimu tetap milik orang lain, aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku lakukan."tutur Devano dengan nada pelan namun tegas
Devano berbalik, meninggalkan Ayana yang terduduk di lantai sambil menangis. Suasana rumah menjadi sunyi, hanya suara tangisan Ayana yang terdengar di rumah kaca yang kembali menjadi saksi bisu penderitaannya.