Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Tak pernah terbesit dalam khayalan Kelana untuk menikahi gadis belia. Apalagi saat Bening mencium tangannya sebagai seorang istri untuk kali pertamanya. Semuanya tak terasa seperti nyata baginya, namun entah mengapa Kelana merasa senang karena Bening sudah menjadi Istrinya, meskipun permintaannya ternyata di luar Nayla.
‘Ini serius Bening ingin kuliah di Korea? Dibiayai jadi artis sebagai imbalannya?’ batin Kelana, merasa harus lebihan giat lagi dalam bekerja.
Memang itu lah tujuan Bening mau bekerja sama dengan Kelana. Gadis itu hanya kasihan pada ibunya yang tak mungkin mampu membiayai cita-citanya yang setinggi planet di angkasa. Bening tahu diri dengan kemampuan ekonomi ibunya, maka dari itu ia sangat senang mendapatkan tawaran kerja sama bersama Kelana, tanpa tahu dampak buruknya.
“Selamat, kalian sudah sah jadi suami istri di mata agama, silahkan tanda tangani bukti nikah sirinya.” Pak penghulu menyodorkan kertas tanda bukti itu di hadapan Kelana.
Tanpa rasa ragu sedikit pun, dengan cepat Kelana menandatangani surat bukti pernikahan itu. Momen yang tak ia duga juga akan melakukan pernikahan siri, padahal surat-surat untuk pernikahan resminya dengan Kadara sudah ia siapkan dari sejauh-jauh hari.
‘Nasib memang tidak ada yang tau, kukira aku akan bahagia saat menikahi Kadara sampai pamer di mana-mana, tapi akhirnya malah jadi begini,’ batin Kelana, sambil memandang tanda tangan yang sudah terlukis.
“Om?” Bening menyikut lengan Kelana. “Jangan ngelamun,” bisiknya.
“Kamu tanda tangan juga.” Kelana menggeserkan kertas itu ke hadapan Bening setelah sadar dari lamunan.
“Di sini, Om?” Bening menunjuk kotak paraf untuk mempelai wanita.
“Di sini.” Kelana menunjuk mata kirinya.
“Oh.” Bening hendak bertanda tangan di mata Kelana.
“Jangan dicolok mata suaminya, Mbak,” larang pak penghulu.
“Di sini, Bening.” Kelana menunjuk kertas. “Bukan di sini.” Lanjut menunjuk mata dengan mimik berusaha sabar.
“Ya lagian om ditanya serius malah ngajak bercanda.”
Bening akhirnya menandatangani bukti nikah secara agama itu. Gadis cantik dan imut itu pun senyum-senyum membayangkan sedang menandatangani kontrak debut.
‘Ya Allah Bening, kamu masih terlalu polos untuk jadi seorang istri, Nak,’ batin Ajeng merasa miris.
‘Duh, kalau Dewi dan Rusli tau Kelana sudah menikah, gimana reaksi mereka ya? Tapi nggak mungkin juga aku batalkan pernikahan Kelana dengan Dara, sedangkan pesta pernikahannya sudah mereka siapkan. Mana Harum juga belum tau, dia pasti shock adiknya akan punya istri dua,’ batin Agustina.
“Kalau begitu kami permisi dulu.” Pak Penghulu dan beberapa orang saksi itu pun bangkit dari duduk.
“Terima kasih atas waktunya ya, Bapak - bapak.” Agustina menjabat tangan mereka sambil menyelipkan amplop berisi bayaran.
“Saya juga mau pulang, Mas. Ini vidionya sudah disave.” Pria yang bertugas mengambil vidio pun memberikan ponsel hasil rekaman pada Kelana.
“Terima kasih, ini untuk kamu.” Kelana menjabat tangan pria itu sambil memberikan amplop bayaran juga.
Hening.
Ke empat manusia penghuni rumah itu hanya bisa membisu dalam mata berbicara, setelah tak ada orang asing lagi di rumah mereka. Ajeng masih kecewa pada anak majikannya, Bening senyum-senyum karena masa depan dan cita-citanya sudah ada yang menjamin, sedangkan Agustina sedang memikirkan cara untuk menjelaskan semuanya pada Kadara.
“Sudah beres,” ujar Kelana, memecah keheningan bak di pemakaman. Pria itu pun tak sabar ingin bertemu hari esok.
“Beres apanya, Kelana? Urusannya masih panjang,” ujar Agustina.
“Jangan dipanjang-panjangkan kalau nggak mau panjang,” sahut Kelana.
“Gimana nggak panjang, kalau Dara tau kamu sudah punya istri, gimana? Dara pasti marah karena jadi istri ke dua,” jawab Agustina.
‘Memang itu tujuanku,’ batin Kelana.
“Semoga saja Bening nggak hamil, sekolah Bening bisa berhenti kalau Bening sampai hamil,” ujar Ajeng.
‘Bagaimana bisa hamil, ada yang masuk juga tidak,’ batin Kelana lagi.
“Ya udah kalau gitu saya ke kamar dulu. Saya mau ngerjain PR,” ujar Bening.
“Kerjain PR-nya di kamar saya saja, bawa semua barang-barang kamu ke kamar saya,” sahut Kelana.
“Kenapa harus pindah, om?”
“Karena kamu sudah jadi istri saya.”
“Nanti Dara tidur di mana?” tanya Agustina.
“Di kamar tamu. Kamar itu khusus untuk Dara, sedangkan kamarku khusus untuk Bening,” sahut Kelana yang sudah memikirkannya.
“Syukurlah kalau Bening akan jadi yang utama. Saya mohon jangan sakiti Bening, Mas. Saya akan siapkan kamar tamu untuk Mbak Dara. Saya juga akan bantu Bening memindahkan barangnya ke kamar Mas Kelana,” sahut Ajeng.
Mau bagaimana pun Ajeng ingin putrinya di perlakukan dengan baik oleh menantunya. Perasaannya pun agak lega karena putrinya akan ditempatkan di kamar utama.
“Saya akan memperlakukan Bening dengan baik. Bahkan saya akan mengutamakan Bening daripada Dara. Ibu tenang aaja,” sahut Kelana.
“Nggak bisa gitu, Kelana. Mau bagaimana pun kamu harus adil pada istri-istri kamu. Kamu akan dosa kalau nggak adil,” jawab Agustina.
‘Palingan Dara langsung minta cerai, atau membatalkan pernikahan?’
Kelana menjawab di dalam batinnya. Ia seolah sudah tau sifat Kadara yang tak mungkin mau memiliki madu, apalagi hanya dijadikan istri ke dua.
Namun Ajeng tak setuju dengan ujaran majikannya itu. Ia tetap ingin putrinya diutamakan dari pada istri ke dua menantunya. Karena mau bagaimana pun, seorang ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Ia tak ingin putrinya disingkirkan oleh Kadara.
“Ayo Bening, kita bereskan barang kamu untuk pindah ke kamar Mas Kelana,” ajak Ajeng.
“Biar saya bantu.”
Kelana mengikutiku istri dan ibu mertuanya, meninggalkan Agustina yang masih shock putranya akan memiliki istri dua.
**
**
**
[Kelana, besok kamu jadi nikah, kan?] Pesan chat dari Harum.
[Tolong balas, takutnya pernikahan kamu batal, jadinya Mbak nggak perlu datang.] Pesan Harum lagi.
[Pernikahannya jadi. Besok Mbak datang langsung aja ke rumah Kadara?] Balas Kelana.
[Loh, memangnya kita nggak datang sama-sama?]
[Nggak usah, pernikahanku sudah nggak spesial lagi.] Send.
[Adik Mbak kenapa lagi? Apa bener yang dibilang Dara? Kamu udah sering sentuh dia?] tanya Harum.
[Mbak lebih percaya aku atau Dara?] Send.
[Mbak bingung mau percaya sama siapa. Mau percaya kamu, takutnya Dara nggak bohong. Soalnya laki-laki sekarang mana ada yang bisa tahan nggak sentuh pacarnya. Apa lagi kamu sama Dara udah pacaran lama, jadi bisa aja kamu udah sentuh Dara.]
[Jadi Mbak nggak percaya sama adik Mbak sendiri? Kalau memang aku udah sentuh Dara, mungkin aku udah kena jengger ayam juga. Tapi organku masih sehat walafiat.] Send.
[Apa perlu Mbak periksa punya kamu juga untuk memastikannya?]
[Tidak Perlu!]
Kelana melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia kecewa karena kakaknya juga bisa termakan fitnah Kadara, gara-gara sangat lumrah orang berpacaran tapi sudah melakukan hal lebih.
Namun Kelana masa bodoh dengan hal itu. Ia hanya perlu membuktikan pada ibu dan kakaknya itu bahwa dirinya masih Kelana yang bersih seperti dulu, sekaligus ingin membuktikan Kadara memang bukan wanita baik-baik.
“Lagian sebegitu nggak percayanya kah, Mbak Harum sampe mau periksa milikku?” Kelana membayangkan miliknya diperiksa kakak kandungnya sendiri.
“Enak saja, yang boleh lihat hanya wanita yang aku cintai,” gumamnya lagi.
“Om, ngomong sama siapa? Bantuin kek, malahan ngomong sendiri,” ujar Bening, yang sedang kesulitan memasukkan kardus besar ke ukuran pintu yang tak seimbang.
“Tadi katanya nggak mau dibantu? Ibu kamu mana?” Kelana pun mengambil kardus bawaan istrinya itu.
“Ibu lagi beresin kamar sebelah, buat istrinya om. Ciyeeeee yang besok mau nikah,” goda Bening.
“Ngapain ciye’in orang? Mendingan kamu ciye’in diri sendiri yang sudah nikah juga, dan jadi istri saya.” Kelana meletakan kardus Bening di atas meja.
Bening membisu karena tak mungkin men-ciye-kan diri sendiri.
“Ini isinya alutsista buat perang dunia ke 4, kah? Berat amat seperti beban hidup saya.” Kelana mendorong kardus itu namun tak bergeser karena terlalu berat.
“Segitu mah nggak berat, Om. Isinya cuma baju, buku-buku, tas, perlengkapan sekolah, sama barbel doang kok, om,” sahut Bening, sembari membongkar isi kardusnya.
“Barbel?”
“Iya, ini.” Bening mengeluarkan barbel buatan yang terbuat dari kaleng berisi coran semen.
“Astagaaa ... Untung kardusnya nggak jebol, kalo sampe jatuh ke kaki, gimana? Lagian ngapain kamu bawa barang begitu?” Kelana heran melihat Bening yang ada-ada saja kelakuannya.
“Barbel buatan ini sama seperti Dudung, Om. Barang ini peninggalan Almarhum bapak saya. Bahkan barbel ini bapak saya yang buat khusus untuk saya latihan otot. Bapak ingin anaknya kuat dan bisa bela diri.”
Kelana mangut-mangut menghargai cerita Bening, karena ia tahu rasanya menjadi seorang anak yang ditinggal meninggal oleh sosok ayah.
“Ya sudah kalau gitu barbelnya taruh di kardus saja, jangan dikeluarin kalau nggak dipakai.”
“Oke, om. Kalau buku-buku sekolahku taruh di mana? Boleh taruh di sana?” Bening menunjuk meja Kelana yang hanya diisi mainan robot-robotan dan mobil-mobilan anak kecil.
“Boleh.”
Kelana duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Bening yang sedang sibuk beberes barangnya, ia pun tak menyangka kamarnya akan dihuni oleh wanita yang bukan Kadara.
‘Dara, kukira kamar ini akan jadi milik kita. Bahkan aku sering membayangkan kamu tidur di sini sebagai istriku. Tapi sekarang, aku malah jijik jika satu kamar dengan kamu. Siapa laki-laki selingkuhanmu itu?’ batin Kelana.
“Om? Ngelamun mulu dari tadi? Nggak takut kesurupan?” Bening menyadarkan lamunan Kelana.
“Nggak,” sahut Kelana, namun ia membuang rasa sedihnya itu saat melihat Bening mengeluarkan sebuah laptop dari kardusnya.
“Kamu punya laptop?” tanya Kelana.
“Ya punya lah, om. Laptop ini dibeli dari hasil kerja ibu selama di sini.” Bening pun telah berhasil menyulap meja mainan itu menjadi meja belajar.
“Kamu butuh laptop buat belajar, ya?”
“Bukan, om. Buat nonton Drakor.”
Kelana terkejut saat mendengar pengakuan gadis dengan hidung yang sangat mancung sempurna itu. Ia kira istrinya itu gadis yang rajin belajar, tapi ternyata rajin nonton Drakor.
“Biar apa nonton Drakor? Anak seusia kamu itu harusnya banyak-banyak belajar. Bukan banyak nonton Drakor,” ujar Kelana sok menasihati.
“Saya nonton Drakor juga buat belajar kok, Om. Belajar jadi artis.” Bening tersenyum hingga bibir tipis itu menampakkan gigi rapinya.
Kelana terhipnotis saat melihat kecantikan Bening yang paripurna. Namun ia langsung mengembalikan kesadarannya Karena Bening bukan tandingannya.
“Ya sudah terserah kamu saja, kalo sudah selesai beres-beresnya, cepat kerjakan PR. sudah jam 10 lebih.”
“Terus?”
“Waktunya tidur lah. Besok saya harus bangun pagi karena mau menikah.”
“Ya udah, om tidur duluan aja biar nggak kesiangan.” Bening pun mulai duduk untuk mengerjakan PR-nya.
Selagi Bening sibuk dengan belajarnya, Kelana berinisiatif sendiri untuk menggelar kasur lipat di atas lantai. Mau bagaimana pun ia masih ingat dengan janjinya untuk tidak mengapa-apakan Bening, apalagi mertuanya berpesan untuk menjaga Bening.
“Loh, om ngapain?” Bening melihat Kelana yang sudah siap berbaring menggunakan selimut.
“Tidur, kamu pikir mau dagang?”
“Maksudnya ngapain om tidur di bawah? Om bisa tidur di atas sama saya,” polosnya.
“Bening, saya ini laki-laki dewasa. Saya bisa berdiri kalau tidur satu ranjang sama perempuan. Saya nggak mau merusak kamu.”
“Berdiri? Apanya yang berdiri sih, om? Tidur ya merem, memangnya bisa tidur sambil berdiri?”
“Memang susah bicara sama bayi bau minyak telon,” gumam Kelana, lantas memilih memejamkan mata.
“Apa?” Bening samar-samar mendengarnya.
“Nggak papa, kalau PR-nya selesai, langsung tidur saja. Biar saya tidur di bawah,” sahut Kelana sambil terpejam.
Hening.
Kelana sudah mengantuk, namun telinganya dapat mendengar pergerakan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Bahkan suara kentut yang keluar dari fantat Bening pun, bisa Kelana dengar dengan jelas.
Namun lama-lama Kelana jadi tak bisa tidur dengan tenang, saat mendengar hebohnya suara aktivitas Bening. Pria itu pun membuka matanya untuk menegur istrinya itu, namun Bening sudah tak ada di meja belajarnya lagi.
[Waeeee?]
[Saranghanta-go!]
[Nado saranghae!]
[Aish jinjja, geurae?]
Suara aneh itu terdengar di telinga Kelana, namun tak ditemukan asal suaranya.
“Anak itu ke mana?”
Kelana membawa tubuh untuk bangkit karena khawatir pada bayi besar itu. Namun saat netranya mengarah ke atas ranjang, ternyata Bening sudah berpindah tempat ke atas kasur.
Posisi tubuh Bening tengkurap dengan ke dua kaki menekuk ke belakang hingga betis panjangnya melambai-lambai. Posisi ke dua sikutnya menumpu pada bantal, ke dua telapak tangannya menopang pipi dan dagu, sorot matanya pun mengarah pada laptop yang sedang menyala. Di tambah lagi suasana kamar yang mendadak gelap karena lampunya dimatikan. Dan hanya cahaya dari laptop Bening lah yang membantu Kelana bisa melihat keadaan kamarnya.
“Bening, kamu nggak tidur?” tanya Kelana.
“Nanti saya tidur kok, om.” Bening menyahut namun matanya tetap fokus ke laptop.
“Kamu ngapain malam-malam begini, Bening?”
“Nonton Drakor.”
“Astaga bayiii ....” Kelana memijit pertengahan alisnya. “Tidur, besok kamu sekolah.”
“Om aja yang tidur, besok kan om menikah.”
“Tapi saya nggak bisa tidur kalau berisik, Bening. Ini juga kenapa lampunya dimatikan?” Pandangan Kelana jadi remang-remang bahkan berkunang-kunang.
“Biar lebih seru, om.”
“Seru apanya, sih! Apa serunya nonton begituan!” Kelana mulai emosi.
“Om liat aja sendiri kalau mau tau rasa serunya nonton Drakor. Nonton itu bikin stres kita hilang tau, Om.” Bening tetap nonton.
“Oya?” Kelana membawa tubuh untuk bangkit, lantas naik ke atas ranjang itu. Ia tertarik karena pikirannya sedang stres stadium akhir.
“Bagian mana yang bisa ngilangin stres?” tanya Kelana.
“Itu om, cowoknya ganteng-ganteng.” Bening menunjuk aktor Korea yang sedang berbicara dengan kekasihnya.
“Ini wanitanya juga cantik.” Kelana mulai antusias sampai ikut tengkurap di samping Bening.
“Waduh!” Kelana terkejut saat sang aktor pria mencium bibir kekasihnya.
“Aaaaakh!” Bening menjerit di bekapan bantal saat melihat akting yang menurutnya sangat romantis.
“Lama sekali ciumannya. Seru, nih!” Kelana mulai fokus nonton Drakor.