Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diskusi ulang
***
Aku langsung terlonjak kaget saat tiba-tiba merasakan sebuah telapak tangan mendarat pada dahiku. Karena kaget aku buru-buru bangun, sehingga membuat kepalaku berdenyut karena bangun dengan tiba-tiba. Aku mengaduh sesaat.
Ternyata aku ketiduran.
"Geya, kamu nggak papa?" tanya Mas Yaksa khawatir.
Aku mengangguk seraya tersenyum meyakinkan. "Nggak apa, Mas, cuma gegara langsung bangun aja."
"Tapi kata Javas kamu lagi sakit."
"Enggak, cuma lagi males ketemu Mas aja, soalnya aku masih kesel sama Mas Yaksa, jadi aku bohong dikit," cengirku malu-malu.
Mas yaksa menatapku tidak suka. "Tolong, jangan dibiasain berbohong meski sedikit sekalipun, apalagi kalau sama anak. Kamu paham, Geya?"
Kepalaku langsung menunduk takut. "Iya, Mas, Geya paham."
Pandangan Mas Yaksa kemudian beralih pada Alin yang nampak asik dengan mainannya. "Harusnya kamu yang jagain Alin, bukan sebaliknya. Ayo, turun ke bawah!" ajaknya kemudian.
Aku merengut. "Aku dan Alin itu tugasnya saling ngejagain, Mas, bukan cuma aku yang ngejaga Alin." kemudian aku berdiri, "kamu yang gendong Alin, Mas."
"Kalau nangis gimana?"
"Ya, jangan dibikin nangis lah."
Mas Yaksa menatapku datar, namun, tak lama setelahnya ia mencoba menawarkan diri untuk menggendong Alin dan kali ini mau. Aku tersenyum senang.
"Padahal Mas kan Ayah kandungnya, kamu secara genetik juga cuma tantenya, tapi kenapa Alin lebih deket sama kamu sih?"
"Javas juga," sahutku membuat Mas Yaksa terlihat sedikit kesal, "ya gimana, ya, Mas, mereka tahu yang mana orang cantik," sambungku kemudian dengan nada bercanda. Tapi di luar dugaan, Mas Yaksa malah menganggukinya.
"Hah? Setuju apa, Mas?"
"Kamu cantik."
Aduh, semoga pipiku tidak tiba-tiba terlihat memerah sih. Aku mendadak salah tingkah dipuji cantik secara blak-blakan begini. Biasanya memang orang kalau memujiku cantik secara blak-blakan memang, tapi sekarang posisinya beda. Biasanya cuma orang lain dan sekarang suamiku sendiri? Apa ya enggak lemes lututku?
"Geya, kamu demam?" tanya Mas Yaksa kembali terlihat khawatir, "pipi kamu merah," sambungnya membuatku ingin menceburkan diri ke kolam renang yang ada di rumah ini.
Mampus!
***
"Capek banget?"
Aku langsung merenggangkan otot-ototku yang kaku lalu menguap. Setelahnya aku menegakkan tubuh dan mencari posisi nyaman.
"Enggak, Mas, biasa aja. Kenapa?"
"Tapi kamu ketiduran lagi di sofa."
"Hehe, emang aku gampang tidur aja sih, Mas, aslinya."
Mas Yaksa manggut-manggut paham lalu duduk di sebelahku. "Ngobrol sebentar masih bisa kan? Mas mau ngajak kamu bahas soal tadi."
Kali ini giliran aku yang manggut-manggut. "Bisa kok, Mas. Mau bahas di sini apa di dapur? Mau aku buatin kopi?" tawarku kemudian.
"Enggak usah, nggak papa," tolak Mas Yaksa, "kita perlu bikin kesepakatan ulang nggak sih menurut kamu? Apa kita batalin aja soal kamu yang harus induksi laktasinya, setelah Mas pikir-pikir, mungkin memang Mas yang terlalu egois karena minta kamu buat jadi ibu asi buat Alin, padahal secara genetik kamu ini Tante-nya. Kamu juga bahkan belum pernah hamil sebelumnya."
Waduh, mendengar Mas Yaksa berkata demikian, aku mendadak tidak enak.
"Mas Yaksa jangan ngomong begitu, Mas sama sekali nggak egois kok. Aku tahu niat baik Mas, Mas Yaksa cuma mau yang terbaik buat Alin. Aku pun demikian, aku udah mikirin semuanya lebih mantang, dan insha Allah, aku siap jadi ibu asi buat Alin, Mas."
"Tapi semua ini nggak akan mudah, Geya. Mas nggak mau egois, kita biarkan Alin tumbuh dengan susu formula seperti sebelumnya saja, toh, dia sehat dan ceria, tidak ada masalah sama sekali, insha Allah, Alin akan baik-baik saja."
"Kalau aku nggak jadi ibu asi untuk Alin, gimana sama kesepakatan kita kemarin, Mas?"
"Kamu istri, Mas, kita sudah resmi jadi suami-istri. Itu artinya Mas mau mendapatkan hak, Mas."
"Mas," panggilku agak kesal. Aku tidak setuju dengan idenya. Dengan cepat aku menggeleng tegas, "aku enggak setuju."
"Kenapa? Kamu istri, Mas, Geya, kita udah sah jadi suami-istri, halal hukumnya melakukan hal tersebut. Segitu nggak maunya kamu Mas sentuh?"
"Bukan masalah aku mau atau nggak mau, Mas, aku cuma ngerasa belum siap. Beberapa hari yang lalu statusku adalah adik ipar Mas Yaksa, dan sekarang Mas minta aku 'melayani' Mas?"
Mas Yaksa menghela napas berat sambil meraup wajahnya frustasi sekaligus putus asa.
"Mas," panggilku pelan, "Geya mau belajar mencintai dan sayang sama Mas Yaksa, karena Mas Yaksa suami aku. Tapi, tolong, beri aku waktu, ya? Kita kembali ke kesepakatan awal. Aku akan tetap jadi ibu asi buat Alin dan aku nggak akan bekerja. Meski dalam satu bulan aku belum jatuh cinta sama Mas, aku siap 'melayani' Mas sesuai kewajiban aku."
Mas Yaksa tampak menatapku tidak percaya. "Kamu serius?" tanyanya tidak yakin.
Aku mengangguk untuk meyakinkannya.
"Tolong jangan beri Mas harapan palsu, Geya," ucap Mas Yaksa serius.
Aku sedikit terkekeh. "Mas Yaksa udah nggak tahan banget ya?" godaku jahil.
Bukannya marah, Mas Yaksa ikut terkekeh. "Kalau Mas jawab iya, kamu percaya nggak?"
Aku pura-pura memasang wajah seperti sedang berpikir. "Percaya nggak percaya sih."
"Tidur sekarang, yuk!" ajak Mas Yaksa, cepat-cepat ia menambahkan kalimatnya, "mulai malam ini, kita udah harus tidur bareng, Geya. Jangan lupa!"
Aku meringis, pura-pura biasa saja. Padahal aslinya ketar-ketir juga.
"Iya, Mas, iya."
"Ya udah, ayo! Tunggu apa lagi?"
"Mas Yaksa duluan aja deh!" kataku sedikit gugup.
Mas Yaksa menaikkan sebelah alisnya heran, lalu terkekeh tak lama setelahnya. "Kenapa? Kamu takut Mas apa-apain?"
Aku balik bertanya. "Mas mau ngapa-ngapain aku?"
Tanpa ragu Mas Yaksa mengangguk. "Iya, tapi nanti kalau udah dapet lampu ijo dari kamu. Sekarang kita tidur dulu, ayo! Mulai besok Mas harus berangkat ngantor soalnya," ajak Mas Yaksa.
Aku dengan langkah ragu-ragu akhirnya mengekor di belakang Mas Yaksa. Jantungku berdebar kencang sekali, saking kencangnya aku takut nanti kalau kami sudah seranjang berdua akan terdengar oleh Mas Yaksa.
"Kamu bisa lepas jilbab kamu kalau kita sedang di kamar berdua," ucap Mas Yaksa saat kami sampai di kamar, "atau bertiga kalau pas ada Alin," sambungnya saat menyadari putrinya juga ada di sana, sedang terlelap di dalam ranjang bayinya.
Aku mendadak salah tingkah. Rasanya aku masih malu harus membuka jilbabku di depan Mas Yaksa.
"Kamu belum siap juga?" tanya Mas Yaksa saat menyadari wajah gugupku.
Aku meringis malu.
Mas Yaksa mengangguk dan mencoba untuk tidak memaksaku. "Ya sudah, nggak papa, kalau memang dirasa belum siap. Boleh dilepas nanti kok. Mas mau tidur duluan ya, Mas harap kamu nggak tidur di kamar sebelah. Ranjang kita muat berdua, Mas akan taruh guling sebagai pembatas juga nanti."
"Hehe, iya, Mas," responku seadanya.
To be continue,