Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Bekerja
***
Akhirnya setelah beberapa bulan cuti, dengan bantuan Mas Yaksa tentu saja, hari ini akhirnya aku akan kembali bekerja. Kalau bukan karena status dan jabatan Mas Yaksa di rumah sakit tempat aku bekerja mana mungkin aku bisa cuti cuma-cuma selama ini? Oh tentu saja tidak bisa.
Hari ini aku shift siang, jadi masih bisa mengurus keperluan Javas dan Alin maupun Mas Yaksa sendiri. Seperti yang baru saja kulakukan menyiapkan pakaian yang hendak Mas Yaksa kenakan.
"Jadi berangkat kerja hari ini?"
Aku menoleh dan mendapati Mas Yaksa baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya, rambut yang basah dan wanginya yang segar. Meski sudah beberapa kali melihatnya tapi tetap saja aku masih merasa sedikit salah tingkah karena kami berada di ruangan yang sama.
"Nggak jadi?"
"Jadi, Mas."
"Lalu kenapa belum siap-siap?"
"Shift siang."
"Oh. Kalau shift siang biasa pulang jam berapa?"
"Kelar jam sembilan. Sampai rumahnya nggak pasti."
Pergerakan tangan Mas Yaksa yang tadinya sedang menggosok rambut basahnya mendadak terhenti, ia menatapku.
"Memang mau mampir ke mana malam-malam sampai nggak pasti pulang jam berapa?"
"Ya namanya di jalan nggak bisa diprediksi, Mas."
"Kalau yang jemput Mas boleh?"
Aku mengangguk tanpa ragu. "Jemput jam sembilan atau kalau aku pas shift malem boleh Mas Yaksa yang ngelakuin."
Mas Yaksa mengangguk paham lalu kembali melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambutnya. Sementara aku langsung menghampiri Alin yang terlihat sudah bangun dari tidurnya.
"Halo, selamat pagi, princess," sapaku sambil mengulurkan kedua tangan yang langsung disambut oleh Alin, "tuh, lihat Ayah kamu sudah mandi. Kakak juga udah bangun, udah mandi juga, si adek masa baru bangun. Bau asem lagi." Aku menghujami Alin beberapa kecupan hingga membuat bayi yang belum genap berumur satu tahun itu terbahak karena kegelian.
"Oh ya, Mas, kamu nggak bilang ke pihak rumah sakit kalau aku yang jadi istri baru kamu kan?"
"Cuma pihak HRD yang tahu dan Mas sudah minta mereka untuk merahasiakan. Kamu tenang saja, Geya."
Aku tersenyum lalu mengangguk. "Makasih dan maaf ya, Mas, karena ngerepotin."
"Mas suami kamu, Geya, kalau kamu lupa."
"Enggak lupa, Mas," sanggahku membela demi.
"Kalau nggak lupa harusnya kamu nggak ngerasa merepotkan bukan?"
Tak punya jawaban yang pas untuk kembali menyanggah, aku mengangguk dan mengiyakan.
"Semangat untuk hari ini, Geya."
"Hehe, makasih, Mas. Mas juga ya."
***
Setelah memastikan ASI Alin cukup selama aku tinggal bekerja, aku kemudian memutuskan masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Alin sedang tidur siang, hari ini sepertinya keberangkatanku akan baik-baik saja tanpa adegan Alin yang tidak mau ditinggal. Ya, semoga saja.
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku kemudian duduk di meja rias dan mulai merias diri. Saat asik memoles bibir, tiba-tiba kurasakan getaran pada ponselku. Aku meliriknya sekilas, kemudian memutuskan untuk meraihnya saat menemukan nama Mas Yaksa di sana.
Eh, ngapain nih tumben banget ngechat?
Mas Yaksa :
Pak Joko udah sampai?
Anda :
Gk tau, masih di kamar
Touch-up
Mas Yaksa :
Alin?
Anda :
Sent a picture
Tidur
Kayaknya hari pertama aku kerja gk akan ada drama Alin nangis
Mas Yaksa :
Good
Semangat!
Anda :
Makasih Mas ☺️
Selesai bertukar pesan dengan Mas Yaksa, aku kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas lalu menyampirkan pada pundak. Menyemprotkan parfum ke badan lalu mendekati box bayi. Niatku ingin mencium pipi Alin sekali lalu berangkat, tapi begitu aku berdiri di samping box bayi, kedua mata Alin sudah terbuka dan menatapku. Seketika aku panik.
"Hai," sapaku spontan sambil mengangkat sebelah tangan, "aduh sayang, kok udah bangun sih? Kan baru banget tidurnya." Tak berselang lama, Alin tiba-tiba mengulurkan kedua tangan, meminta aku menggendongnya. Mau tidak mau aku pun menurutinya.
"Abis ini ikut Mbak Sita ya? Mama pergi kerja?" Aku kemudian mengajak Alin menuruni anak tangga untuk mencari keberadaan Mbak Sita, "Mbak! Mbak Sita!"
"Iya, Bu, ada apa? Loh, kok Alin udah bangun?"
Aku meringis. "Iya nih, tahu kayaknya mau saya tinggal. Bisa urus Alin sekarang? Saya harus berangkat nih takut telat, soalnya hari pertama setelah cuti lama. Nggak enak."
Mbak Sita kemudian mengambil alih Alin dari gendonganku. Beruntung ia tidak protes.
"Kalau mau tolong kamu ajak tidur lagi ya, soalnya tadi masih bentar banget tidurnya."
"Baik, Bu."
"Kalau gitu saya berangkat ya. Dadah, Alin, besok lagi ya mainnya, soalnya nanti kalau pas Mama pulang kamu pasti udah tidur." Aku mencium kedua pipi chubby Alin secara bergantian, "saya titip Alin ya, Mbak. Jangan nakal loh sama Mbak Sita!" sambungku kemudian.
Alin langsung menangis saat aku berlahan berjalan menjauhinya. Karena tidak tega aku pun mempercepat langkah kakiku biar tidak semakin membuat Alin menangis. Karena Mbak Sita bisa menenangkan Alin.
Ternyata berat juga ya ninggal anak untuk bekerja. Apalagi kalau dengar mereka menangis seperti barusan, rasanya aku mendadak merasa egois.
Apakah keputusanku memutuskan untuk kembali bekerja adalah keputusan yang tepat?
"Berangkat sekarang, Mbak?"
Sambil tersenyum tipis aku mengangguk dan mengiyakan.
***
Aku sedikit tersentak kaget saat tiba-tiba merasakan sebuah lengan yang menggandengku, saat aku menoleh ke arah si pelaku ternyata Mbak Lusi. Aku baru saja mengantar salah satu pasien yang baru dapat kamar sedangkan Mbak Lusi mungkin baru selesai menemani dokter jaga visit.
"Hehe, nggak nyangka ketemu Bu Dirut di sini. Abis dari mana?"
"Anter pasien. Mbak Lusi?"
"Nemenin dokter Anan visit."
"Gimana hari pertama balik kerja?"
"Masih semangat sih, tapi kangen dikit sama anak di rumah," cengirku kemudian.
"Cie, yang udah jadi ibu-ibu memang beda sih ya, yang dikangenin anak. Aku juga gitu kok apalagi pas mereka lagi lucu-lucunya, duh, Ge, rasanya nggak mau berangkat kerja aja."
Aku mengangguk setuju. "Mana tadi Alin sempet nangis pas aku tinggal berangkat, Mbak, sedih banget rasanya."
"Ya kamu sih aneh, udah sah jadi istri Pak Dirut tinggal ngurus anak-anak sama bapaknya, eh, kamunya malah milih ngurus pasien Bpjs."
"Dunia kejam bagi perempuan yang nggak berpenghasilan, Mbak," balasku kemudian.
Mbak Lusi langsung mencibir. "Kamu jadi istri direktur rumah sakit, nggak berpenghasilan gimana orang tiap bulan pasti ditransfer. Itu juga penghasilan, Ge, hasil kerja keras ngurus anak sama bapaknya," selorohnya kemudian.
Sebenarnya apa yang dikatakan Mbak Lusi ada benarnya, meski untuk bagaian bapaknya aku masih belum terlalu mampu untuk mengurusnya.
"Ya tetep beda lah, Mbak."
Mbak Lusi mendengus. "Sama aja sebenernya, cuma emang dasar kamu aja yang maruk makanya masih pengen tetep kerja. Iya kan?"
Aku tertawa kemudian mengangguk dan mengiyakan begitu saja, daripada ribet dan makin kemana-mana.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.