"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Loveless Morning
Setelah menempuh perjalanan singkat dengan taksi dari kantor, Elea akhirnya tiba di rumahnya yang tinggali bersama Adrian. Ketika Elea membuka pintu depan, aroma khas teh hitam yang Adrian biasa minum menyambutnya, mengisyaratkan bahwa suaminya sudah di rumah.
Ruangan itu hangat dan nyaman, dindingnya dihiasi lukisan abstrak yang dipilih Adrian saat renovasi tahun lalu. Meski segala sesuatunya tampak sempurna di luar, ada kekosongan yang selalu menyelubungi hubungan mereka—sebuah kesenjangan emosi yang Elea tak pernah bisa jembatani sepenuhnya.
“Adrian?” panggilnya seraya melepaskan sepatu di dekat pintu.
“Di sini,” jawab Adrian dari ruang tamu. Suaranya terdengar santai, berbeda dari nada dingin yang biasanya ia gunakan.
Ketika Elea masuk, ia mendapati Adrian duduk di sofa, membaca sesuatu di tablet sambil memegang cangkir teh. Rambutnya yang gelap terlihat rapi, dan dasinya sudah dilepas, menunjukkan bahwa ia mungkin baru selesai bekerja meski sudah di rumah sejak tadi.
“Kau terlihat ceria malam ini,” kata Elea sambil duduk di sofa sebelahnya.
Adrian menoleh, menyunggingkan senyum tipis. “Hari ini berjalan baik. Bagaimana denganmu?”
Elea mengangkat bahu, sedikit ragu. “Hari yang panjang. Tapi cukup produktif.”
Obrolan mereka berlangsung ringan untuk beberapa waktu. Adrian bahkan menawarkan untuk membuatkan secangkir teh untuk Elea, sesuatu yang jarang ia lakukan. Elea hampir menikmati momen itu, meskipun di dalam hatinya, ia tahu suasana seperti ini tak akan bertahan lama.
Setelah beberapa saat, Adrian mendekatinya dan meletakkan tangan di pundaknya. “Kau terlihat lelah,” katanya dengan nada lembut.
“Sedikit,” jawab Elea.
“Ayo ke kamar,” ajak Adrian tiba-tiba, suaranya terdengar lebih dalam, menggoda.
Elea terkejut dengan perubahan sikap Adrian, tapi ia tidak menolaknya. Ada rasa rindu dalam dirinya—rindu akan keintiman yang jarang mereka bagi belakangan ini.
***
Keduanya tengah berbaring di ranjang. Elea menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan lampu gantung kecil, pikirannya berkelana ke banyak hal—mimpinya, pekerjaannya, dan Darren. Ia berbalik menghadap Adrian, yang tampak santai dengan satu tangan di belakang kepala.
“Adrian, aku ingin membicarakan sesuatu,” kata Elea perlahan.
“Hm?” Adrian menoleh, matanya terlihat setengah mengantuk.
“Aku sedang menulis novel,” lanjut Elea.
Adrian mengangkat alis, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Kau masih menulis?”
“Tentu saja,” jawab Elea, mencoba mempertahankan nada tenang. “Bukankah aku sudah bilang kalau aku bermimpi menjadi seorang penulis besar? Aku berharap suatu hari nanti aku bisa berhenti bekerja di kantor dan menghasilkan uang hanya dari menulis.”
Adrian menatapnya lama sebelum menghela napas. “Elea, aku tidak mengerti kenapa kau masih membuang-buang waktumu untuk hal itu.”
Kata-kata itu menghantam Elea seperti pukulan. “Membuang-buang waktu?”
“Ya,” Adrian melanjutkan tanpa ragu. “Menulis tidak menghasilkan apa-apa. Bukankah lebih baik kau fokus pada pekerjaanmu atau, entahlah, pada pekerjaan rumah?”
Elea terdiam sejenak, mencoba menahan emosinya. “Aku percaya ini bisa menghasilkan uang suatu hari nanti. Banyak penulis yang mulai dari nol dan akhirnya sukses.”
Adrian tertawa kecil, nada suaranya mengejek. “Tapi buktinya sampai hari ini kau tidak mendapatkan uang sepeserpun dari menulis, kan?”
Elea merasa darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin bertengkar. “Adrian, menulis bukan hanya soal uang. Ini soal passion, soal sesuatu yang membuatku merasa hidup.”
“Passion?” Adrian menggeleng, ekspresinya mencemooh. “Elea, kau terlalu dewasa untuk percaya pada hal seperti itu. Hidup ini tentang realitas. Realitasnya adalah kita butuh uang, dan menulis bukan jalan yang realistis.”
Elea terdiam, merasa seperti ditampar. Di dalam hatinya, ia berharap Adrian akan mendukungnya, memberikan semangat seperti yang Darren lakukan tadi. Namun, seperti biasa, Adrian hanya melihat segalanya dari perspektif pragmatisnya.
“Aku tidak ingin berdebat,” kata Elea akhirnya, suaranya dingin. Ia memalingkan wajah, membelakangi Adrian.
Adrian tidak berkata apa-apa lagi, hanya berbaring diam di sebelahnya. Namun, keheningan itu berbicara lebih keras dari apa pun. Elea merasa sendirian meski Adrian ada di sampingnya.
Pikirannya kembali melayang pada percakapan dengan Darren di kantor tadi. Darren, meskipun sering meledeknya, telah memberikan dukungan yang Adrian tak pernah bisa berikan. Elea bertanya-tanya, apakah mungkin ia terlalu banyak berharap dari Adrian? Atau apakah Adrian memang telah berhenti peduli?
Suara jarum jam berdetak pelan di sudut kamar, menandai malam yang semakin larut. Elea menutup matanya, mencoba mengabaikan rasa sakit di hatinya. Tapi meskipun ia mencintai Adrian, perasaan itu mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh sikap acuhnya. Dan itu membuat Elea semakin yakin bahwa ia harus berjuang untuk mimpinya, dengan atau tanpa dukungan Adrian.
***
Cahaya matahari pagi menerobos tirai dapur yang setengah terbuka, memantulkan kilauan lembut di atas meja makan dari kayu. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang yang keluar dari pemanggang. Elea duduk di salah satu ujung meja, mengenakan kemeja kasual dan celana kain longgar. Di depannya, sebuah piring berisi omelet yang hampir tak tersentuh.
Adrian duduk di seberangnya, mengenakan setelan jas gelap meski dasinya masih menggantung longgar di lehernya. Ia sibuk memeriksa ponselnya, sesekali menyeruput kopi tanpa menoleh ke arah Elea.
Keheningan di antara mereka terasa tebal dan menyakitkan. Semalam, meskipun hangat, kini terasa seperti ilusi belaka. Elea memandangi Adrian dengan tatapan lelah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan.
Namun, Adrianlah yang lebih dulu berbicara. Tanpa mengangkat pandangan dari ponselnya, ia berkata dengan nada datar, “Aku ingin mengingatkanmu lagi soal tulisanmu, Elea.”
Elea menghentikan gerakannya yang tengah mengaduk teh. Matanya langsung terangkat, menatap Adrian dengan bingung sekaligus waspada.
“Adrian, aku sudah cukup mendengarkan ceramahmu soal ini,” jawab Elea, mencoba terdengar tenang meski suaranya sedikit gemetar.
Adrian akhirnya meletakkan ponselnya, lalu menatap Elea dengan ekspresi serius. “Dan kau masih keras kepala soal ini, kan? Aku serius, Elea. Kau sebaiknya berhenti menulis dan fokus pada hal-hal yang lebih penting. Pekerjaanmu di kantor, pekerjaan rumah, hal-hal itu jauh lebih berarti.”
Elea merasakan sebuah tekanan di dadanya. Ia mencoba mengatur napasnya agar tidak langsung meledak. “Menulis itu penting untukku, Adrian. Aku sudah pernah bilang. Ini bukan sekadar hobi, ini mimpi yang ingin kukejar.”
Adrian menggeleng, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi frustrasi. “Mimpi? Elea, kau sudah bukan remaja lagi. Hidup kita sekarang tentang tanggung jawab, bukan mimpi yang tidak realistis. Aku tidak ingin kau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak akan membawa manfaat.”
Elea merasakan lidahnya kelu, tapi amarah yang perlahan mendidih di dalam dirinya membuatnya tidak bisa tinggal diam. “Dan manfaat itu hanya berarti uang di matamu, ya? Bagaimana dengan kebahagiaanku, Adrian? Apa itu tidak penting bagimu?”
Adrian mendengus, lalu mencondongkan tubuh ke depan. “Aku tidak ingin berdebat soal ini. Jika kau masih bersikeras menulis, aku akan membuang naskah itu. Aku tidak bercanda, Elea.”
Kalimat itu menghantam Elea seperti pisau. Ia menatap Adrian dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kau tidak punya hak untuk melakukan itu!”
“Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kita berdua,” jawab Adrian dengan dingin. “Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk hal-hal yang tidak penting. Ada begitu banyak hal lain yang masih bisa kau kerjakan, terutama sebagai seorang istri.”
Kata-kata itu terasa seperti pukulan lain. Elea ingin membalas, ingin meneriakkan semua kemarahannya, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia hanya bisa menatap Adrian dengan campuran kekecewaan dan rasa sakit.
Adrian berdiri, meraih jasnya yang tersampir di kursi. “Aku harus pergi ke kantor. Kita bicarakan lagi nanti, jika kau mau berpikir lebih rasional.”
Tanpa menunggu jawaban, Adrian berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Elea sendirian di meja makan. Suara pintu apartemen yang tertutup pelan namun tegas menandai kepergiannya.
Elea duduk diam, menatap piring omelet di depannya yang sekarang sama sekali tidak menarik selera. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami bagaimana seseorang yang dulu begitu ia cintai kini bisa berubah menjadi sosok yang dingin dan menghakimi.
Air matanya menggenang, tapi ia segera menghapusnya dengan kasar. Tidak. Aku tidak akan membiarkan Adrian menghancurkan mimpiku, pikirnya dengan tekad yang tumbuh di dalam hatinya.
Elea berdiri, meraih cangkir tehnya dan berjalan ke jendela dapur. Di luar, jalanan London mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Mobil-mobil yang melaju perlahan di atas jalan berbatu, pejalan kaki yang terburu-buru dengan kopi di tangan mereka, dan langit yang dipenuhi awan kelabu. London yang hidup, penuh dengan peluang dan cerita, mengingatkan Elea bahwa dunianya tidak terbatas pada apartemen ini dan pendapat Adrian.
***
Ia menatap keluar jendela dengan pandangan yang jauh, memikirkan percakapannya dengan Darren kemarin. Entah kenapa, ingatan tentang tatapan Darren yang tulus dan kata-katanya yang menyemangati membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Darren, meskipun hanya seorang magang, telah melihat sesuatu dalam dirinya yang Adrian bahkan tidak pernah peduli untuk mengakui.
**Aku akan terus menulis,** pikirnya. **Meskipun Adrian tidak mendukungku, aku akan membuktikan bahwa aku bisa.**
Dengan tekad itu, Elea berjalan ke kamar kerjanya. Di sana, naskah yang hampir selesai itu menunggu. Sambil duduk di depan komputer, ia mulai mengetik lagi, membiarkan rasa sakit dan amarahnya mengalir ke dalam kata-kata yang tertuang di layar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup kembali.
***