NovelToon NovelToon
Merebutnya Kembali Bersamaku

Merebutnya Kembali Bersamaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Anna

seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 11

Setelah perjalanan yang penuh ketegangan, akhirnya mereka sampai di rumah. Begitu memasuki rumah, Ayana dan Devano langsung disambut oleh ibu Ayana dan ibu Devano yang sudah menunggu dengan ekspresi penuh harapan. Mereka duduk di ruang tamu yang hangat, namun suasana terasa tegang.

Ibu Iriana dengan nada tegas, tanpa basa-basi

"Jadi, bagaimana hasilnya? Dokter bilang apa? Apakah Ayana bisa segera hamil?"

Ibu Devano berbicara dengan nada khawatir

"Iya, Ayana, kita sudah menunggu lama. Ada perkembangan nggak? Kami berharap banget kamu bisa segera punya anak."

Ayana merasa sesak di dadanya mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Ia mencoba menahan perasaan, namun raut wajahnya terlihat cemas. Di sisi lain, Devano merasa frustrasi. Ia tahu betapa pentingnya hal ini bagi kedua ibu mereka, tapi ia juga tahu bahwa Ayana tidak siap untuk membuka semuanya. Devano menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.

Devano dengan nada lembut namun tegas, berusaha menjelaskan

"Jadi begini, Bu, dokternya menyarankan agar Ayana fokus pada kesehatannya terlebih dahulu, baik fisik maupun mental. Kami sudah menjalani beberapa tes, dan dokternya memang bilang kondisi fisik Ayana oke. Tapi... untuk bisa memulai program hamil, Ayana butuh waktu untuk menyembuhkan kondisinya secara emosional."

Ibu Iriana dan Ibu Devano saling berpandangan, tampak tidak sepenuhnya mengerti atau menerima penjelasan Devano. Mereka jelas tidak terbiasa dengan ide bahwa psikologi juga berperan besar dalam hal ini.

Ibu Iriana dengan nada kecewa dan sedikit kesal

"Kenapa harus ada terapi segala? Kenapa nggak langsung saja, Devano? Kita kan sudah menunggu lama."

Ibu Devano dengan suara khawatir, mencoba memotong percakapan

"Tapi, Bu, dokter sudah menyarankan ini untuk kebaikan Ayana. Kan kalau stres terus, bisa berbahaya buat kehamilan nanti."

Ayana hanya bisa diam, merasa semakin tertekan mendengar pembicaraan ini. Ia tidak pernah ingin ibu mertuanya tahu tentang terapi psikologisnya, apalagi sampai membicarakannya di hadapan ibu kandungnya yang selalu menganggapnya lemah jika ada masalah emosional. Ia menatap Devano, meminta dukungan tanpa berkata-kata.

Devano menahan sabar, berbicara lebih tegas kali ini

"Ma, Bu, Ayana sedang menjalani terapi untuk mengatasi masalah emosionalnya. Itu hal yang wajar. Kami butuh waktu. Dan ini keputusan kami, jadi tolong hargai itu. Jika Ayana sudah siap, kita akan lanjutkan dengan program hamil. Tapi, untuk sekarang, itu bukan prioritas."

Ibu Iriana dengan nada keras, tidak sepenuhnya setuju

"Tapi kalau hanya alasan itu, kapan kalian bisa punya anak? Ini bukan hanya masalah kalian berdua. Aku juga ingin lihat cucu."

Ayana merasa tercekik oleh kata-kata ibu Iriana. Ia tahu betapa pentingnya keinginan ibunya untuk memiliki cucu, tetapi tekanan ini hanya menambah beban di pundaknya.

Ibu Devano menatap Ayana dengan cemas, lalu menoleh pada Devano, mencoba berbicara lebih lembut

"Devano, mungkin kamu benar. Kita memang harus sabar. Tapi Ayana sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan. Kita cuma ingin agar semuanya berjalan lancar."

Devano menatap ibunya dengan penuh pengertian, tapi juga penuh rasa frustrasi

"Ibu, Bu Iriana, kami tahu apa yang kami lakukan. Tolong percayakan pada kami. Kami akan atur semuanya dengan cara kami sendiri. Untuk sekarang, Ayana butuh waktu dan dukungan."

Suasana di ruangan semakin tegang, Ayana merasa dirinya semakin terperangkap di antara dua pihak yang tidak sepenuhnya memahami kondisinya. Ia menundukkan kepala, meremas tangan Devano di sampingnya, merasakan sedikit kenyamanan dari sentuhan itu.

Ayana dengan suara pelan, hampir berbisik

"Aku nggak bisa begini terus, Devano... Aku nggak bisa terus berada di tengah-tengah mereka."

Devano berusaha memberi kenyamanan, berbisik balik

"Kita akan atur semuanya, Yana. Jangan khawatir."

Ayana menatap Devano dengan penuh harap, meskipun ia tahu bahwa tekanan dari ibunya dan ibu mertuanya tidak akan berhenti begitu saja. Ia hanya bisa berharap Devano akan tetap ada di sampingnya dan membantu melewati ini bersama.

"kamu mikirin apa si ay, sampai harus terapi ke psikiater segala, bukannya bersyukur punya suami baik penyabar dan sayang sama kamu,ibu bener bener gak habis pikir, apa coba masalahnya?"

Sungguh seorang ibu yang tak berperasaan pikir devano kepada mertuanya.

"bu sudah jangan menambah bebannya Ayana lagi" devano akhirnya memilih mambawa ayana beristirahat di kamarnya

di sisi lain...

Biantara duduk di kursi kerjanya, ruangannya yang besar dan megah terasa sepi dan dingin. Di meja kerjanya, ada tumpukan laporan yang baru saja ia selesaikan membaca. Laporan itu memuat fakta-fakta yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya tentang Ayana. Ia menggenggam lembar terakhir laporan itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Biantara berbicara pelan pada dirinya sendiri, suaranya bergetar

"Jadi... selama ini begini hidupmu, Ayana?"

Matanya menatap kosong ke arah jendela besar di belakang meja kerjanya. Kilasan ingatan masa lalu bersama Ayana muncul di benaknya—senyumnya yang hangat, tawa lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh cinta. Kini, semua itu terasa sangat jauh dan berbeda.

Biantara menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas panjang

"Seandainya... seandainya aku tidak meninggalkanmu waktu itu... Apa aku yang salah karena memilih pergi? Apa aku yang merusak hidupmu?"

Dia memejamkan mata, menyesali keputusan yang ia ambil di masa lalu. Membaca bahwa Ayana harus menghadapi depresi, bahkan menjalani terapi psikologis, membuat hatinya terasa seperti ditikam ribuan jarum.

Biantara membanting laporan ke meja, berbicara lebih tegas dengan dirinya sendiri

"Jika saja aku membawamu pergi waktu itu... jika aku melawan mereka dan tidak menyerah pada keadaan, apakah kita bisa bahagia, Ayana? Apakah semua penderitaan ini tidak akan terjadi?"

Suara Biantara melemah. Ia tahu pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Fakta bahwa Ayana bahkan tidak menyerahkan dirinya sepenuhnya pada suaminya, Devano, membuat Biantara semakin terkejut. Itu bukan hanya tentang cinta yang ia pikir sudah hilang—itu adalah pengorbanan yang Ayana buat untuk tetap setia pada perasaannya terhadapnya.

Biantara menggelengkan kepala, berbicara dengan nada penuh penyesalan

"Bagaimana mungkin? Pernikahan macam apa yang kau jalani, Ayana? Devano mungkin ada di sampingmu, tapi kau tetap sendiri... Kau tidak bahagia, kau tidak bebas, dan aku hanya berdiri di sini, menjadi penyebab semua luka itu."

Dia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan. Matanya memancarkan campuran rasa bersalah, marah, dan kerinduan. Pikirannya penuh dengan kenangan dan gambaran Ayana yang ia bayangkan sedang berjuang sendirian selama ini.

Biantara berhenti sejenak, menatap keluar jendela, berbicara dengan nada tegas dan penuh tekad

"Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Kau tidak pantas menderita seperti ini, Ayana. Jika aku bisa mengubah segalanya... jika aku bisa memberimu kebahagiaan lagi, aku akan melakukannya. Apapun caranya."

Dia mengepalkan tangannya, menahan air mata yang hampir jatuh. Rasa bersalah bercampur dengan keinginan kuat untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya. Biantara tahu bahwa ia harus membuat keputusan, keputusan yang mungkin akan mengguncang kehidupan Ayana dan Devano.

Biantara berbisik dengan suara penuh harapan

"Tunggu aku, Ayana... Aku akan menebus semuanya. Aku akan membawamu pergi dari semua ini, jika itu yang kau butuhkan untuk bahagia."

memperlihatkan sosok Biantara yang berdiri dengan penuh tekad di depan jendela besar kantornya, menatap ke cakrawala seolah mencari jalan untuk memperbaiki apa yang telah hancur di masa lalu.

1
Duta Ajay
tetep semangat berkarya yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!