Namanya Gadis. Namun sifat dan tingkah lakunya yang bar-bar dan urakan sangat jauh berbeda dengan namanya yang jauh lebih menyerupai laki-laki. Hobinya berkelahi, balapan, main bola dan segala kegiatan yang biasa dilakukan oleh pria. Para pria pun takut berhadapan dengannya. Bahkan penjara adalah rumah keduanya.
Kelakuannya membuat orang tuanya pusing. Berbagai cara dilakukan oleh sang ayah agar sang putri kembali ke kodratnya sebagai gadis feminim dan anggun. Namun tidak ada satupun cara yang mempan.
Lalu bagaimanakah saat cinta hadir dalam hidupnya?
Akankah cinta itu mampu mengubah perilaku Gadis sesuai dengan keinginan orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15- Perseteruan Gadis Dan Marina
HAPPY READING
🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀
"Ahhhkkkk!! Gadis! Lepasin nggak?! Kurang ajar kamu ya! Berani melawan tante!” Marina berteriak marah dan kesakitan.
Pipit dan Puput menyaksikannya dengan ngeri. Baru sadar ternyata sepupu mereka benar-benar badung dan tidak mempan ditakut-takuti apalagi dihajar oleh ibu mereka.
Gadis mengangkat dan melempar sapu pel itu kesembarang arah hingga menimpa meja dan isinya berhamburan kelantai.
PRAANG!!
Marina dan kedua putrinya sangat terkejut. Pipit dan Puput sampai menutup telinga mereka karena ngeri melihat semua benda hiasan diatas meja itu jatuh dan berserakan dilantai.
“Kurang ajar! Berani kamu pecahin barang-barang dirumah tante?! Kamu pikir semua barang itu harganya murah?! Kamu benar-benar harus dikasih pelajaran!” teriak Marina yang semakin emosi melihat perabotan rumahnya pecah, hingga dia mengangkat tangannya untuk menampar Gadis.
Namun, Gadis tetap tidak mau mengalah. Dengan sigap dia menangkap tangan Marina dan memelintirnya kebelakang.
“Ahhhkkkk!!” Marina menjerit kesakitan.
“Mama!” seru Pipit dan Puput yang terkejut dan khawatir melihat ibu mereka diperlakukan kasar.
“Dis, lepasin mama dong. Please,” pinta Puput dengan nada memohon.
Jujur, mereka juga merasa sedikit senang karena akhirnya ibu mereka yang galak menemukan lawannya. Karena, mereka sendiri juga sudah tidak tahan menghadapi sang ibu yang setiap hari mengomel dan mengekang mereka dengan berbagai peraturan yang membuat mereka sengsara.
Gadis melepaskan Marina dan mendorongnya pada kedua putrinya yang dengan sigap menangkapnya.
“Nih! Urus tuh mak lho,” seru Gadis sebelum berbalik dan berlalu.
“Heh! Mau kemana kamu? Anak kurang ajar!” pekik Marina yang masih dikuasai emosi dan masih belum puas sebelum berhasil membalas.
“Mah, udah, Mah,” ucap Pipit yang bersama dengan sang adik menahan sang ibu yang ingin mengejar Gadis.
“Diam kalian!” sergah Marina yang membuat kedua putrinya tersentak dan terdiam dengan wajah menunduk takut.
“Pengawal! Tangkap anak kurang ajar itu!”
"Maaf, Nona. Kami diperintahkan oleh nyonya besar untuk menahan anda agar jangan sampai kemana-mana.”
Beberapa orang pengawal mencegat Gadis yang sudah sampai diruang tengah. Gadis memutar bola mata malasnya.
“Gue nggak peduli ya, siapa yang kasih kalian perintah. Yang jelas, sekarang gue mau cabut. Minggir nggak?” titah Gadis dengan nada mengancam.
“Nona, sekali lagi kami minta maaf, kami tidak bisa membiarkan anda kemana-mana. Nyonya besar memerintahkan kami untuk menangkap dan memberi anda hukuman,” sanggah salah seorang dari mereka dengan terpaksa. Mereka hanya menjalankan tugas dari sang nyonya besar.
“Kamu pikir bisa dengan mudah pergi dari sini, setelah apa yang sudah kamu lakukan, anak kurang ajar?!” teriak Marina yang berjalan menghampirinya bersama kedua putrinya dibelakang.
Marina menatapnya dengan mata melotot penuh amarah seakan bola matanya akan keluar dari tempatnya.
“Tante, aku masih menghargai Tante sebagai adik sepupu dari papa aku, ya. Jadi, jangan paksa aku untuk terus berbuat kasar sama Tante. Jadi, sekarang suruh antek-antek Tante ini untuk menyingkir dari hadapanku karena aku mau pergi.” Gadis mengingatkan sambil berkacak pinggang.
Dia masih berusaha menahan diri agar jangan sampai kembali melakukan kekerasan terhadap tantenya itu, karena kekerasan adalah kesenangannya. Apalagi kalau orang itu sudah sangat mengusiknya, tanpa peduli siapapun orangnya.
“Enak sekali kamu ya, main pergi setelah membuat kekacauan. Kamu pikir, tante akan biarkan kamu pergi begitu saja sebelum kamu mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sekarang tante akan tunjukkan dengan siapa kamu berurusan,” ucap Marina dengan suara nyaring sambil berkacak pinggang.
Telinga Gadis terasa sakit mendengar suara nyaring tantenya itu yang seperti orang habis makan jangkrik.
“Ini lagi, malah planga-plongo. Cepat tangkap anak kurang ajar ini dan beri pelajaran!” titah Marina pada para pengawalnya dan menunjuk Gadis diakhir kalimatnya.
“Baik, Nyonya.” para pengawal itu mengangguk serempak, lalu mendekati Gadis
“Tunggu dulu.” Gadis mengangkat tangannya ke udara saat para pengawal itu hendak memegangnya.
“Sebelum kalian tangkap gue, gue mau tanya dulu, kalian udah pernah belum melihat rumah kebakaran?” Gadis menatap mereka satu persatu dengan penuh arti. Pertanyaannya membuat mereka semua saling beradu pandang karena bingung.
“Ngapain kamu tanya begitu?” tanya Marina yang masih dengan nada sewot, namun tidak bisa menahan rasa bingungnya atas pertanyaan yang dilontarkan oleh keponakan badungnya itu.
“Ya kalau belum, aku bisa tunjukkan. Mau lihat?” Gadis mengeluarkan korek api dari dalam saku celananya. Semua orang semakin heran dan tidak mengerti apa maksudnya.
“Pertunjukan dimulai.” Gadis dengan santainya menyalakan korek apinya lalu melemparnya ke sembarang arah hingga mengenai gorden jendela.
“Ahhhkkkk!!”
Semua orang terkejut panik saat api menyambar gorden dan membara dengan cepat.
Sambil menyunggingkan senyum sinis, Gadis berlalu saat semua orang panik karena api yang semakin besar dan menjalar kemana-mana.
“Ya Tuhan! Kebakaran! Gadis! Kurang ajar kamu ya! Awas ya. Akan aku adukan sama orang tuamu!”
🌻🌻🌻🌻🌻
“Rebecca.”
Rebecca yang sedang fokus pada laptop dimejanya, spontan menoleh kearah suara yang memanggil namanya.
“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Rebecca bangkit dari kursinya dan dengan hormat membungkukkan badan pada sang atasan yang barusan menyapanya.
“Sudahlah, kamu tidak perlu memanggil saya pak. Panggil saja saya Tirta,” pinta pria bernama lengkap Tirtayasa Hartono yang merupakan direktur utama di perusahaan itu.
Rebecca mengutas senyuman.
“Bagaimana mungkin, Pak? Bapak kan atasan, sedangkan saya hanya sekretaris. Apa kata karyawan lain? Kan saya jadi tidak enak,” sanggahnya dengan suara lembut.
“Kalau tidak enak, kasih kucing saja. Becca, kita inikan sahabat, jadi tidak usah terlalu formal. Kalau tidak ada karyawan lain, kamu bisa panggil saya dengan nama saja.” Tirta menatap Rebecca dengan tatapan dalam. Membuat gadis itu jadi merasa risih.
Keduanya memang sudah bersahabat sejak masih duduk dibangku SMA. Dan Rebecca tau kalau pria yang berstatus sebagai atasannya ini memiliki perasaan lebih terhadapnya.
Namun, dia tidak pernah bisa membalas perasaan pria itu, apalagi sejak Yusuf hadir dalam hidupnya.
Dia sudah berulang kali menolak Tirta dengan cara halus dan lembut. Namun, pria itu tetap tidak menyerah untuk mengejar cintanya.
Pertama kali masuk kedalam perusahaan itu, Rebecca tidak tau kalau ternyata pemiliknya adalah Tirta. Dia baru tau setelah dua hari berada disana dan sudah terlanjur menanda tangani kontrak kerjasama, sehingga tidak bisa lagi mengundurkan diri.
“Itukan sewaktu kita masih SMA, Pak. Sekarang beda. Status kita adalah atasan dan bawahan.”
Tirta menghela nafas berat dan memutar bola mata malasnya. Gadis ini benar-benar keras kepala dan sangat sulit untuk ditaklukkan.
“Ya sudah terserah kamu. Yang jelas, sekarang kamu ikut saya,” ajak Tirta yang sudah lelah berdebat.
“Mau kemana, Pak? Setau saya, kita sudah tidak ada jadwal meeting lagi,” tanya Rebecca bingung.
“Saya mau makan siang. Kamu temani ya.”
“Ta-tapi, Pak, saya—”
“Ayolah, Bec, please. Atau perlu saya paksa?”
BERSAMBUNG