" Mau gimanapun kamu istriku Jea," ucap Leandra
Seorang gadis berusia 22 tahun itu hanya bisa memberengut. Ucapan yang terdengar asal dan mengandung rasa kesal itu memang sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Jeanica Anisffa Reswoyo, saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Dan suaminya adalah dosen dimana tempatnya berkuliah.
Meksipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu dengan status mereka.
Jadi bagaimana Jea bisa menjadi istri rahasia dari sang dosen?
Lalu bagaimana lika-liku pernikahan rahasia yang dijalani Jea dan dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia 09
" lho Jea, cowok ganteng yang kemarin itu mana? Katanya dia suami mu? Kapan nikahnya kok kita nggak tahu ya?"
" Ooh apa kalian nikahnya diem-diem. Jangan-jangan nyicil dulu lagi."
3 hari setelah meninggalnya Reswoyo, beberapa orang mulai bergunjing ternyata. Jea pikir mereka tidak akan mempertanyakan keberadaan Lean. Namun Jea salah, mereka tetap ingin tahu tentang Lean.
Ya itu merupakan hal yang lumrah. Lean adalah pria asing yang baru mereka lihat saat pemakaman Reswoyo. Terlebih secara terang-terangan Lean mengatakan bahwa dia menantu keluarga tersebut.
Jadi bisa disimpulkan kemarin itu mereka masih menahan pembicaraan karena masih dalam suasana duka. Tapi agaknya saat ini para mulut itu sudah tidak tahan lagi untuk berucap.
" Jangan-jangan Pak Reswoyo syok lagi anaknya tiba-tiba nikah. Jadi langsung pergi deh."
" Bener juga tuh. Ya lagian ngapain juga kuliah jauh-jauh gitu, kan jadi nggak bisa diawasi. Eeh ujung-ujungnya nikah padahal kuliahnya aja belum selesai."
Jea hanya diam, gunjingan demi gunjingan ia hanya anggap angin lalu. Suasana hatinya masih sangat sedih terkait dengan meninggalnya sang ayah jadi dia enggan menanggapinya.
Sebenarnya Jea bukan tipe orang yang akan diam saja jika dibicarakan buruk. Dia akan frontal dalam membalas omongan-omongan yang tidak sesuai dengan fakta. Tapi sekarang ia rasa bukan waktu yang tepat untuk itu. Ia memilih fokus kepada Ibu dan adiknya.
" Bar, Senin kamu udah harus sekolah ya. Ibu juga udah masuk kok."
" Iya Mbak, trus Mbak apa juga bakalan balik ke Jakarta?"
Sebenarnya Jea ingin berhenti kuliah, ya dalam hati terdalamnya seperti itu. Dia ingin bekerja saja disekitar kota kelahirannya agar bisa menjaga ibu dan adiknya. Tapi ia yakin jika hal itu dikemukakan maka sang ibu pasti tidak akan setuju. Maka dari itu dia tetap akan kembali ke Jakarta agar kuliahnya bisa selesai tepat waktu.
" Iya, Mbak juga harus segera balik ke Jakarta. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Mbak bakalan sering pulang kok."
" Jangan Nduk, kamu fokus aja kuliahnya. Nggak usah mikirin yang di rumah. Ibu sama Akbar bakalan baik-baik aja. Gimanapun sekarang kamu udah jadi istri, jadi manut sama suamimu."
Itu lagi yang ditekankan oleh Desi kepada putrinya. Ya mau bagaimana lagi memang seperti itulah kodrat wanita yang telah menikah. Hal utama yang dilakukannya adalah bakti kepada suaminya. Dan itulah yang Desi inginkan dari sang putri.
Kepergian Reswoyo menyisakan kesedihan yang mendalam. Namun Desi tidak bisa terus berlarut. Dia harus segera bangkit untuk anak-anaknya. Pagi harinya setelah lewat 3 hari suaminya pergi, Desi mulai beraktivitas seperti biasa.
Membersihkan rumah, berbelanja sayur untuk memasak, dan tinggal menunggu hingga hari Senin untuk kembali mengajar. Hanya saja satu hal yang belum ia lakukan adalah membuka kembali warung kelontong peninggalan Reswoyo. butuh waktu untuknya untuk melakukan itu. Bayangan suaminya masih tertawa,pak pada mata ketika ia berada di warung.
" Lho Bu Desi, dimana menantunya. Terakhir hari itu kelihatan. Jangan-jangan dia nggak dateng lagi ya?"
" Iya Bu, kayaknya kelihatannya sih pria baik ya. Mana tinggi, ganteng lagi dan kayake sugeh juga. Tapi kok ndak dateng lagi. Jangan-jangan nikahnya main-main. Lagian nikah kok diem-diem, nggak ada yang tahu."
" Apa beneran nyicil duluan makanya nikahnya dadakan."
Lagi, ucapan demi ucapan mengejek keluar dari mulut para tetangga. Desi hanya bisa diam, karena dia pun bingung harus bereaksi bagaimana. Sampai saat ini memang Lean belum juga datang.
Desi jadi ingat ucapan anak sulungnya yang berkata untuk tidak banyak berharap terhadap Lean. Meksipun begitu dalam lubuk hati terdalamnya, Desi merasa bahwa Lean adalah pria yang baik dan akan menepati setiap ucapan yang dilontarkan.
Bruummm
Sebuah mobil Pajero hitam mendekat ke arah rumah Desi. Ibu-ibu yang tadi bergunjing reflek minggir ke tepian untuk memberi jalan mobil tersebut. Mobil yang tampak gagah terus masuk ke dalam pekarangan rumah hingga berhenti tepat di halaman.
Cekleek
Braaak
" Assalamu'alaikum Bu, maaf saya baru sampai sekarang. Banyak yang harus saya urus di Jakarta."
" Waalaikum salam Pak Dosen, ndak apa-apa. Ibu seneng Pak Dosen datang dalam kondisi sehat. Dari Jakarta jam berapa?"
Tanpa memedulikan para tetangga, Desi menuntun menantunya masuk ke dalam rumah. Senyumnya mengembang sempurna. Dia ternyata tidak perlu menjelaskan apapun perihal Lean, karena pria yang jadi menantunya itu sudah datang dan membuktikan bahwa dia pria yang menepati kata-katanya.
" Bang, kapan sampainya!" pekik Akbar ketika melihat Lean. Anak lelaki berusia 14 tahun itu terlihat senang melihat kedatangan Lean. Ia bahkan langsung menghampiri Lean dan mencium tangan sang kakak ipar.
" Baru aja Bar, ah iya di mobil ada beberapa barang buat Akbar dan Ibu, bantu Abang yuk but nurun-nurunin."
Akbar menganggukkan kepalanya cepat, ia berjalan dibelakang mengikuti Lean yang lebih dulu pergi ke luar rumah.
Desi tampak senang melihat Akbar yang langsung dekat dengan Lean. Ia bersyukur mendapatkan menantu yang baik meskipun itu dadakan.
" Jea, lagi apa? Itu Pak Dosen dateng. Kamu kok nggak nyambut suamimu?"
" Ya, bentar lagi Bu. Nanggung lagi bikin sarapan ini."
Jea tidak mengalihkan pandangannya dari wajan dan kompor di depannya. Sebenarnya ia merasa canggung. Dia tahu kalau Lean datang, suara mobil milik Lean seolah sudah terpatri dalam telinganya. Hanya saja ya itu tadi Jea merasa bingung bagaimana harus bersikap.
" Nduk cah ayu, sekarang Pak Dosen itu suami kamu. Jika di rumah perlakukan dia layaknya suami."
" Iya Bu, Jea ngerti kok. Tapi ... "
" Ibu tahu pasti masih kaku, canggung dan sejenisnya. Tapi belajar Nduk, nanti akan kerasa biasa."
Jea mengangguk, ia paham betul apa yang dikatakan sang ibu. Ia pun segera menyelesaikan masakannya dan mencuci tangannya. Setelah menyiapkan semua makanan yang sudah selesai ia masak dan menatanya di atas meja, Jea lalu berjalan keluar.
Mata mereka bertemu, terlihat Lean bersikap begitu tenang. Tidak seperti Jea yang sangat gugup bertemu untuk pertemanan kali setelah malam itu.
" Gimana kabarmu Jeanica?"
" Ba-baik Pak. Bapak jam berapa dari Jakarta?"
" Tadi malam, jam 9 nan lah. Tapi aku jalannya santai, jadi sampai sini jam segini. Je, apa kamu siap buat balik ke Jakarta? Kamu nggak bisa lama-lama ijin dari perkuliahan juga."
Jea tahu itu, dia juga sudah memantapkan hatinya untuk kembali ke Jakarta menyelesaikan kuliahnya. Ini adalah bentuk tanggungjawab dari pilihannya kuliah, dan sekaligus memenuhi amanat dari almarhum sang ayah.
" Ya Pak, saya siap."
" Panggil Abang, kalau di kampus kamu silakan panggil aku Pak karena aku dosen mu. Tapi di rumah panggil aku Abang, karena aku adalah suami kamu."
" I-iya B-bang."
TBC