Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Perjalanan Satrio V4
Ketika mini bus mulai melambat dan berhenti di halte kecil di pinggir jalan, Satrio melangkah keluar, merasakan tanah berdebu di bawah kakinya saat ia turun dari bus. Udara terasa lebih segar di sini, tidak ada lagi polusi kota yang menyesakkan. Pemandangan di sekitarnya langsung berubah, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Di depannya, terbentang jalanan tanah yang tampak sepi, sementara beberapa rumah kayu sederhana berdiri berjarak satu sama lain, menandakan bahwa ia sudah tiba di pinggiran Dusun Dawar.
Ia menarik napas dalam-dalam, ranselnya tergantung berat di bahu, namun langkahnya tetap mantap. Satrio menatap ke arah hutan lebat yang terlihat di kejauhan, bayangan Gunung Niuts mulai samar-samar terlihat di balik pepohonan tinggi. Sekali lagi ia mengecek ponselnya, memastikan ada sinyal, meskipun hanya sedikit. Saat itu, pesan dari Rio muncul.
"Sampai mana, Tri? Jangan lupa kasih kabar ya, biar kita tenang."
Satrio tersenyum kecil, menulis balasan cepat, “Baru sampai Dusun Dawar.”
Setelah mengirim pesan itu, Satrio melangkah pelan, menatap sekeliling untuk mencari jalan ke pos jaga. Namun, sebelum ia sempat bertanya, seorang pria paruh baya dengan pakaian sederhana menghampirinya.
"Mas, lagi mau ke mana?" tanya pria itu ramah, sambil mengusap dahinya yang basah oleh keringat.
Satrio tersenyum sopan, "Saya rencananya mau mendaki Gunung Niuts, Pak."
Pria itu terdiam sejenak, tatapannya berubah serius. “Gunung Niuts? Wah, sudah lama tidak ada yang ke sana... apa Mas yakin?”
Satrio mengangguk dengan penuh keyakinan. "Ya, saya sedang melakukan penelitian, dan ini bagian pentingnya."
Pria itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk paham. "Kalau begitu, lebih baik lapor dulu ke pos jaga, Mas. Biar ada catatannya. Sini, saya antar."
Satrio mengikuti langkah pria tersebut menuju pos jaga yang terletak di ujung pemukiman. Sepanjang perjalanan, pria itu sesekali bercerita tentang dusun dan kehidupan di sana, tentang betapa jarang orang datang untuk mendaki Gunung Niuts, apalagi sendirian. Meskipun percakapan itu ringan, Satrio bisa merasakan ada kekhawatiran yang tersirat dalam nada bicara pria itu.
Setibanya di pos jaga, seorang petugas tampak duduk di balik meja kayu sederhana. Pria tadi memperkenalkan Satrio pada petugas, lalu meninggalkannya untuk melapor. Satrio pun mengisi buku tamu dan memperlihatkan beberapa dokumen kepada petugas jaga.
"Jadi, Mas, akan melakukan observasi di sini," tanya seorang Petugas, sambil membolak-balikan dokumen milik Satrio. "Untuk ini ... Sudah bagus, lengkap."
Satrio hanya diam, duduk pada kursi plastik membiarkan petugas itu memeriksa sertifikat dirinya.
"Ini ... Apa, Mas yakin, Mau seorang diri?" tanya petugas itu, menatap Satrio dalam-dalam. "Saya tahu Mas seorang Arkeolog, tapi ini terlalu berisiko, lho. Hutan di sini masih sangat Purba. Masih banyak misteri di dalamnya."
Sikap Satrio tak berubah, ia masih tetap tenang seolah semua perkataan yang ia dengar tentang Gunung Niuts dianggapnya sebuah peringatan berharga yang harus ia ingat.
"Saya sangat yakin, Pak," jawab Satrio dengan Mantap.
“Baik, Mas Satrio,” kata petugas sambil menandatangani catatan. “Hati-hati di jalan ya, Gunung Niuts bukan tempat biasa. Selalu jaga etika dan lisannya, ya?”
Satrio hanya mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Saya akan berhati-hati."
Dengan catatan yang sudah lengkap, Satrio siap melanjutkan perjalanan ke arah gunung, semakin dekat dengan tujuan misteriusnya.
****
Motor itu melaju perlahan, melawan jalan tanah yang licin dan lembab. Satrio merasakan setiap getaran saat roda motor berusaha mencengkeram tanah lembab yang makin sulit dilalui. Di beberapa titik, pengemudi terlihat kewalahan menjaga keseimbangan, dan beberapa kali motor tergelincir sedikit ke samping. Satrio mencengkeram erat tasnya, bersiap jika mereka harus turun kapan saja.
Tiba-tiba, motor tergelincir cukup parah dan hampir saja mereka terjatuh. Pengemudi segera menghentikan laju motor, napasnya terdengar berat. Ia menoleh ke Satrio, wajahnya penuh rasa khawatir.
"Mas... kayaknya saya cuma bisa nganter sampai sini aja. Jalannya makin parah ke depan. Kalau dipaksa, bisa-bisa kita jatuh beneran," ujar si tukang ojek dengan nada lelah.
Satrio mengangguk, menyadari kondisi itu. "Gak apa-apa, Pak. Di sini juga udah cukup. Terima kasih banyak," jawabnya sambil turun dari motor.
Setelah mengeluarkan sejumlah uang, Satrio menyerahkannya kepada pengemudi. "Ini buat ongkosnya, Pak."
Pengemudi itu tersenyum tipis, menerima uangnya. "Terima kasih, Mas. Semoga lancar."
Satrio menatap motor itu perlahan menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik bukit. Suara mesin yang semula samar kini benar-benar lenyap, meninggalkan hanya kesunyian dan hembusan angin yang seolah menyatu dengan desah napasnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, merasakan udara segar yang dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan.
Ketika ia menoleh ke belakang, pemandangan yang terhampar membuatnya terdiam sejenak. Di hadapannya terbentang keindahan alam yang begitu mempesona. Hutan hijau yang lebat tampak menjulang, daun-daunnya berkilauan terkena cahaya matahari yang mulai meredup di ufuk barat. Kabut tipis perlahan-lahan turun dari perbukitan, menyelimuti puncak-puncak pepohonan yang tinggi, memberi kesan mistis pada pemandangan itu.
Suasana menjelang malam semakin terasa. Cahaya lembut senja berbaur dengan kabut, menciptakan bayangan-bayangan halus di antara pepohonan. Burung-burung terdengar berkicau dari kejauhan, seperti melodi alam yang menambah ketenangan suasana. Di sela-sela dedaunan, sesekali terlihat gerakan samar, mungkin hewan kecil yang mulai mencari tempat untuk beristirahat.
Satrio mengamati semuanya dengan takjub, matanya menyusuri setiap sudut lanskap yang terpampang di hadapannya. Ini adalah awal dari perjalanannya yang sesungguhnya. Hutan Gunung Niuts--tempat yang dipenuhi misteri dan cerita-cerita tentang kutukan serta peradaban kuno--kini menantinya di depan.
"Aku harus cepat," gumamnya.
Satrio mempercepat langkahnya saat cahaya matahari semakin meredup. Langit yang semula bercahaya jingga kini mulai beralih ke kelabu, pertanda malam segera tiba. Suara burung-burung yang terbang kembali ke sarangnya semakin jarang terdengar, hanya menyisakan bunyi dedaunan yang bergesekan diiringi angin lembut.
Ia tahu, mendirikan tenda di tempat yang aman sebelum gelap sepenuhnya adalah prioritas utama. Hutan Gunung Niuts terkenal karena alam liarnya yang tak terduga, dan Satrio tak ingin mengambil risiko bermalam di tempat terbuka tanpa perlindungan.
Setelah berjalan beberapa meter, ia melihat sebuah area yang agak terbuka di antara pepohonan besar. Tanahnya relatif datar dan dikelilingi oleh semak-semak rendah, cukup terlindung dari angin kencang atau bahaya lainnya. Ini adalah tempat yang ideal, pikirnya.
Dengan cekatan, Satrio meletakkan ranselnya di tanah, membuka resleting dan mengeluarkan tenda lipat dari dalamnya. Ia bekerja cepat, memasang tiang-tiang tenda dan memastikan pasak-pasak tertancap kuat di tanah yang lembab. Gerakannya terampil dan teratur, hasil dari pengalaman mendaki sebelumnya.
Sementara hari semakin gelap, tenda Satrio akhirnya berdiri kokoh. Ia menyalakan senter kecil dan memeriksa kembali area sekitarnya, memastikan tidak ada ancaman langsung. Suara jangkrik mulai menggema di sekitar, diselingi gemerisik ranting yang patah entah oleh apa.
Setelah semuanya siap, Satrio memasukkan barang-barangnya ke dalam tenda, merapikan tempat tidur daruratnya, dan duduk sejenak di luar tenda. Matanya memandang jauh ke arah pepohonan yang mulai terselubung kegelapan. Di dalam hatinya, perasaan antisipasi dan sedikit ketegangan bercampur aduk.
Satrio merasakan udara semakin menusuk kulit, dinginnya mulai merambat sampai ke tulang. "Malam hari di hutan sedingin ini," gumamnya. Tak mau membuang waktu, Satrio segera mengeluarkan kompor portabel dari ranselnya, meletakkannya di atas tanah datar, dan menyalakan apinya. Cahaya kecil dari api itu membuat suasana tenda sedikit lebih hangat.
Sembari menunggu, Satrio membuka ponselnya. Jaringannya lemah, tapi masih cukup untuk sekadar melakukan panggilan. Dengan sedikit usaha, ia menghubungi Rio.
"Hallo, Tri. Gimana udah dapet penginapannya?" tanya Rio.
"Baru selesai diriin Tenda," jawab Satrio.
"Tri? Kamu udah di tenda?" Suara Rio terdengar terkejut di seberang.
Satrio tersenyum tipis sambil menyiapkan secangkir kopi. "Iya. Aku udah di sini. Lagi masak mi sama bikin kopi."
"Gila, cerboh banget. Seharusnya tidur di penginapan dulu biar istirahat. Besok baru mulai pendakian," tegur Rio, terdengar agak cemas. "Kamu jangan anggap enteng, tri! Itu hutan belantara!"
Satrio mengambil mi yang sudah matang, mengaduknya pelan sambil menjawab dengan tenang, "Abisnya tanggung, Ri .... Lagian aku masih di jalur pendakian, kok."
Rio terdiam sejenak, seolah merenungi kata-kata Satrio. "Ya, aku paham, tapi ... Ah! Sudahlah! Intinya hati-hati di sana! Jangan terlalu maksa."
"Okeh, siap." Satrio menyelesaikan panggilannya dan menatap ke dalam hutan yang gelap. Rasa penasaran yang membara membuatnya tak sabar untuk segera mengungkap misteri yang terkubur di Gunung Niuts.
lanjut nanti yah