Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertikaian
Suasana di dalam rumah dua lantai itu mendadak berubah. Kehangatan keluarga yang biasa terasa sirna sudah entah kemana. Sepanjang hari Aminah murung dan sengaja menghindari Arman dan Camila. Mereka berdua sampai bingung karena tidak tahu penyebab perubahan sikap orang tuanya itu. Bahkan, tadi seusai jamaah magrib di Masjid, kedua saudara Aminah pun tak mau menjawab sapaan Camila. Mereka hanya menatap sinis dan setelah itu melengos dari Camila.
"Mas, ibu kenapa sih? Aku ada salah kah?" bisik Camila setelah makan malam. Mereka pun makan malam paling akhir. Padahal biasanya mereka semua makan bersama. "Bapak kemana?" tanya Camila karena sejak tadi tidak melihat ayah mertuanya.
"Bapak ikut tahlil rutin kali. Berangkat dari tadi," jawab Arman setelah menghabiskan minumannya. "Gak hanya kamu sih. Aku juga didiamkan sama ibu. Aku sampai bingung kenapa ibu jadi sewot," keluh Arman setelah mengingat sikap Aminah kepadanya.
"Kenapa ya, Mas? Apa karena kita pergi hari ini? Atau karena paket-paketku datangnya barengan?" Camila menerka penyebab yang menjadikan ibu mertua beserta saudaranya murung.
"Udah biarin aja. Nanti juga bicara sendiri. Kalau diajak bicara juga percuma kalau sudah seperti itu. Mending diam saja," ucap Arman seraya berdiri dari kursi. Lantas, dia mengajak Camila bersantai di ruang keluarga.
Suara acara televisi memenuhi ruang keluarga itu. Arman sibuk menyimak berita tentang kebijakan baru yang diterapkan pemerintah dalam bidang pendidikan. Sementara Camila sibuk membalas pesan di sosial media mengenai produk bodycare yang dia jual.
"Arman,"
Arman terkesiap ketika melihat sang ibunda beserta kedua saudaranya di ruang keluarga. Begitupun dengan Camila. Wanita asal Surabaya itu seketika meletakkan ponselnya di atas sofa. Dia takut melihat raut wajah tak bersahabat dari ketiga orang yang duduk di sofa panjang.
"Ada apa ini kok ramai-ramai?" tanya Arman tanpa mengalihkan pandangan dari tiga saudara itu.
"Ibu mau bicara perihal yang sangat penting dan menyangkut harga diri keluarga besar kita," ujar Aminah dengan tegas.
"Memang ada masalah apa, Bu?" Arman semakin bingung menghadapi ibunya.
"Memangnya siapa yang mengizinkan istrimu berjualan? Sejak kapan dalam keluarga kita seorang istri boleh bekerja? Kamu lupa dengan tradisi di keluarga kita? Kok bisa kamu ngizinin Mila jualan tanpa tanya ke Ibu?" Aminah mencecar Arman dengan pertanyaan itu.
Deg. Camila terkesiap mendengar rentetan pertanyaan itu. Dia tidak menyangka jika Aminah akan mengajak saudara-saudaranya membahas masalah ini. Camila rasanya ingin kabur saja karena tidak sanggup menghadapi ketiga wanita lansia itu.
"Iya, Man. Kamu ini kok ya malu-maluin keluarga saja. Apa kata orang kalau Mila sampai jualan di rumah? Nanti harga dirimu yang runtuh," sahut Sinah.
"Lagi pula, uang yang diberikan Arman kurang kah, Mil? Kamu kok sampai mau jualan begitu?" Adik Aminah yang bernama Siti itupun ikut menyerang Camila.
"Bukan beg—" Ucapan Camila tertahan saat Aminah menyela.
"Tugasmu di rumah ini hanya duduk santai, banyak istirahat agar cepat hamil lagi. Bukan malah sibuk jualan. Setiap hari tukang paket datang ke rumah. Memangnya kamu mau bertemu dengan pria lain setiap hari? Mbok ya berkaca dari kejadian sebelumnya. Kamu itu baru pulih dari pasca keguguran. Setelah ini mbok ya di hati-hati," ujar Aminah hanya dengan sekali tarikan napas.
Air mata Camila tak bisa dibendung lagi. Dia terisak setelah mendapat rentetan kata-kata pedas dari mereka bertiga. Arman pun sampai kuwalahan dan tidak diberikan kesempatan untuk membela istrinya.
"Sudah.Cukup!" Suara Arman mulai meninggi. "Kami ini hidup di zaman yang sudah modern. Wanita bekerja bukan berarti kekurangan uang dari suami. Aku mengizinkan istriku berjualan juga punya pertimbangan, Bu. Aku hanya ingin istriku bahagia, tidak bosan di rumah, tidak setres karena memiliki kegiatan positif. Lagi pula ini urusan keluarga kita. Kenapa bude Sinah dan bulek Siti ikut campur masalah ini?"
Emosi Arman tak dapat ditahan lagi karena semua orang menyudutkan Camila. "Pergilah ke kamar. Biar aku yang mengurusnya," bisik Arman pada Camila. Dia tidak tega melihat istrinya diperlakukan seperti itu.
"Memang siapa yang mengizinkan istrimu pergi? Ibu belum selesai bicara! Tetap di sini, Mil," sungut Aminah dengan tatapan tajam.
"Masuk, Mil!" ujar Arman dengan tatapan penuh arti.
Tanpa pamit, Camila bergegas pergi dari sana. Dia lebih memilih menuruti ucapan Arman daripada mertuanya. Sementara di ruang keluarga, Arman masih bersitegang dengan ibunya.
"Kamu kok jadi berani menentang Ibu, Man? Ketularan istrimu ya!" tuduh Aminah. Wanita paruh baya itu seperti kehilangan kontrol. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu.
"Aku gak bermaksud menentang Ibu. Apa yang dilakukan istriku bukan perbuatan memalukan. Dia hanya mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, Bu," jelas Arman dengan suara yang lebih rendah.
"Apapun alasannya, tetap saja itu memalukan, Arman! Apa kata orang di luar sana kalau menantunya Aminah sampai jualan?" Lagi dan lagi Sinah ikut menghardik Arman.
"Sebaiknya bude pulang saja. Biar aku selesaikan sendiri masalah ini bersama ibu," usir Arman. Baru kali ini Arman berani melakukan hal ini.
"Ini bukan rumahmu. Jadi, kamu tidak berhak mengusir mbak yu. Arman, kamu ini kenapa toh kok jadi begini? Seharusnya kamu ini tegas kepada Mila, bukan malah mendukungnya!" Siti membela saudaranya karena tidak terima melihat sikap Arman.
"Astaghfirullah haladzim. Ibu ini kenapa sebenarnya?" Helaan napas berat terdengar di sana. "Nyebut, Bu. Nyebut! Siapa sih yang sudah ngompori ibu? Kok bisa Ibu semarah ini sampai gak ada sungkan sama istriku." Arman menggeleng beberapa kali.
"Ada apa ini?"
Semua orang yang ada di ruang keluarga menoleh ke sumber suara. Rupanya Pardi baru saja pulang dari acara tahlilan. Pria lanjut usia itu menatap tajam ke arah istrinya dan setelah itu menatap kedua iparnya.
"Bubar semua!" ujar Pardi dengan suara tegas.
Kedua iparnya itu pun beranjak dari tempat duduknya. Mereka takut melihat kemarahan yang tersirat dari sorot mata Pardi. "Ada apa? Kenapa suara kalian segaduh ini sampai terdengar dari halaman rumah?" tanya Pardi setelah kedua iparnya keluar dari rumah. Pardi duduk di antara Arman dan Aminah.
"Itu loh! Istrinya Arman jualan tanpa izin ke kita. Memalukan!" ketus Aminah.
"Ibu itu loh, Pak. Gampang sekali dihasut orang lain. Tiba-tiba datang bersama bude dan bulek. Terus langsung maki-maki Mila. Harusnya tanya baik-baik dulu kan bisa," jelas Arman dengan sorot mata kecewa.
"Astaghfirullah haladzim. Ya Allah ...." Pardi sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Aku ke kamar dulu, Pak. Tolong Bapak urus Ibu. Aku mau melihat keadaan istriku," pamit Arman seraya beranjak dari tempat duduknya.
Aminah semakin meradang melihat kepergian Arman. Amarah semakin berkobar di dalam hati tatkala melihat sikap yang ditunjukkan Arman. "Pokoknya gak ada acara jualan apapun! Dengar, Man! Ibu tidak memberi izin!" teriak Aminah sambil menatap Arman yang sedang menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dua.
"Diam!" sarkas Pardi sambil memukul sofa di sebelahnya.
...🌹TBC🌹...
...Kalau aku jadi Mila, udah kabur dah...
Di RL membahas masalah warisan saat ortu masih hidup bikin emosi,,sedih juga
Pasti bu Aminah sama saudari2nya ghibahin Arman Camila karena ngontrak
Atau si Sinta ikut pak Pardi selamanya,,kan habis ketipu
Meli harusnya ngikut Riza pindah alam,,jahat banget
Buat semua pasutri memang g boleh menampung wanita/pria yg usia sudah baligh takutnya ada kejadian gila kyk gini..
Banyak modus lagi,,mending Riza di antar keluar dari rumah Arman
Sekarang Camila bisa lega karena bebas dari orang toxic
G ada hukumnya anak bungsu harus tinggal sama ortu kecuali ortu.nya sudah benar2 renta..