Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETERIKATAN EMOSI
Seminggu setelah perayaan di kampus, aku merasa segalanya mulai berubah. Bima yang dulunya terkesan dingin dan acuh, sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda kehangatan yang bikin hatiku berdebar. Gak ngerti kenapa, tapi perasaan ini bikin aku optimis. Seolah-olah ada harapan baru yang mulai tumbuh dalam hubungan kami.
Hari itu, kami ada kuliah bareng di jurusan teknik sipil. Sejak beberapa waktu terakhir, kami udah sering nongkrong bareng di perpustakaan, ngelakuin tugas bareng, dan bener-bener ngobrol lebih dalam. Bima udah gak segan-segan buat bercanda dan terkadang bahkan curhat tentang hal-hal yang lebih pribadi. Rasanya, setiap detik yang kami lewati bareng jadi makin berharga.
“Eh, Meg, lo udah siap buat presentasi tugas besok?” tanya Bima sambil nyender di kursi. Dia keliatan lebih santai dan lebih terbuka.
“Iya, udah siap sih. Cuma tinggal sedikit revisi doang. Lo sendiri?” jawabku sambil nyengir. “Gue harap kita bisa presentasi dengan baik.”
“Gue juga. Gak sabar buat lihat reaksi dosen,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu bikin jantungku berdebar. Rasanya, senyumnya lebih tulus dibanding sebelumnya.
Setelah kuliah, kami memutuskan buat nongkrong di kafe dekat kampus. Kafe itu terkenal dengan kopi dan kue-kue enaknya. Selama perjalanan ke sana, kami masih terus ngobrol tentang tugas dan juga hal-hal lain yang menarik. Aku merasa, ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai terjalin antara kami.
“Eh, lo pernah nonton film yang tentang persahabatan yang jadi cinta?” tanya Bima tiba-tiba.
“Yang mana? Banyak banget,” jawabku sambil tertawa.
“Yang judulnya ‘500 Days of Summer’ gitu, deh. Itu film keren!”
“Gue udah nonton! Itu film tentang harapan dan kenyataan dalam cinta, kan?”
“Iya! Kayaknya ada pelajaran penting yang bisa diambil dari situ. Kadang, lo harus ngertiin kalau cinta itu gak selalu berjalan mulus,” ucapnya dengan nada serius.
Mendengar perkataan Bima, aku merasakan ada kedalaman yang berbeda dalam pembicaraan kami. Dia mulai membuka diri tentang perasaannya dan harapannya. “Bima, lo merasa gitu juga?” tanyaku penasaran.
“Kadang, gue mikir, apa sih sebenarnya yang gue cari dalam hubungan? Dan kadang juga merasa bingung,” jawabnya jujur. “Tapi, ada kalanya gue ngerasa nyaman sama orang tertentu. Kayak lo.”
Hatiku berdegup kencang. Dia bilang aku bikin dia nyaman? Itu hal yang gak pernah aku duga sebelumnya. “Gue juga ngerasa gitu, Bim. Seneng banget bisa deket sama lo. Rasanya, lo bikin gue ngerasa lebih baik,” balasku, berusaha jujur.
Di tengah obrolan kami, kami membahas lebih dalam tentang harapan dan ketakutan masing-masing. Bima mulai mengungkapkan keraguannya tentang masa depan dan bagaimana dia kadang merasa tertekan dengan ekspektasi yang ada. Rasanya, dia terbuka tanpa ragu.
“Gue kadang merasa bingung sama tujuan hidup, lo ngerti kan?” tanya Bima. “Kayaknya, semua orang udah punya jalannya masing-masing, tapi gue masih nyari-nyari.”
“Gue juga ngerasa gitu. Kadang, hidup ini kayak roller coaster, ya?” jawabku sambil tersenyum. “Tapi kita bisa jalanin bareng, kan?”
Mendengar kata-kataku, Bima terlihat lebih rileks. “Iya, bener. Kadang, ngobrol sama orang yang paham bisa bikin kita ngerasa lebih ringan.”
Kami pun ngobrol lebih dalam lagi tentang impian dan cita-cita. Bima bercerita tentang harapannya untuk bisa berkarier di bidang teknik sipil, dan betapa dia pengen memberikan kontribusi positif untuk masyarakat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bikin aku semakin kagum. Dia bukan hanya pintar, tapi juga peduli.
“Gue harap kita bisa sama-sama sukses, Meg. Lo punya potensi besar,” kata Bima tulus.
“Thanks, Bim! Gue juga harap kita bisa support satu sama lain,” balasku sambil tersenyum.
Setelah beberapa jam ngobrol, kami berdua merasa lebih dekat dari sebelumnya. Perasaan itu mulai tumbuh, dan aku bisa merasakan keterikatan emosional yang kuat antara kami. Sepertinya, kami berdua udah mulai bisa saling mengandalkan dan berbagi beban.
Keesokan harinya, kami kembali ke kuliah dengan semangat baru. Selama beberapa hari ke depan, kami terus saling mendukung dan berbagi cerita. Bima mulai menunjukkan perhatian yang lebih, mengingat detail-detail kecil yang aku ceritakan sebelumnya. Misalnya, dia ingat bahwa aku suka cokelat dan kadang bawa cokelat untukku saat kami belajar bareng.
Suatu hari, saat kami lagi ngumpul di perpustakaan, Bima tiba-tiba muncul dengan cokelat favoritku. “Eh, Meg! Ini buat lo. Gue inget lo bilang suka,” katanya sambil nyengir.
“Wow, thanks, Bim! Lo bener-bener perhatian, ya?” jawabku sambil menerima cokelat itu. Rasanya hangat di hati. Setiap tindakan kecilnya itu semakin menguatkan perasaanku.
Di tengah belajar, kami mulai merencanakan untuk nonton film bareng setelah ujian. Bima bilang, “Gue pengen nonton film baru yang keluar. Mungkin kita bisa ajak Rina dan temen-temen yang lain.”
“Setuju! Makin ramai makin seru!” jawabku. Semakin sering kami berinteraksi, semakin aku merasa ada harapan baru untuk hubungan kami.
Hari demi hari berlalu, dan setiap momen yang kami habiskan bersama menjadi lebih berharga. Bima mulai menaruh kepercayaannya padaku, dan aku pun melakukan hal yang sama. Momen-momen kecil, seperti tawa bersama, cerita-cerita lucu, dan berbagi mimpi, semua itu memperkuat keterikatan emosional kami.
Di saat-saat seperti ini, aku merasa bahwa meskipun ada tantangan di depan, kami punya satu sama lain untuk saling mendukung. Perasaan ini bikin aku makin yakin bahwa hubungan kami bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Aku berharap, harapan ini bukan hanya sekadar mimpi, tapi bisa jadi kenyataan.
Hari-hari berlalu, dan kedekatan kami semakin terasa. Satu hal yang bikin aku makin yakin, Bima udah jadi bagian penting dalam hidupku. Rasanya, setiap detik bareng dia selalu jadi momen berharga. Setiap kali kami ngobrol, ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Terkadang, aku merasa seperti dia adalah soulmate yang selama ini aku cari.
Suatu sore, setelah selesai kuliah, kami sepakat buat jalan-jalan ke taman dekat kampus. Cuaca lagi cerah, dan itu bikin suasana jadi lebih romantis. Di taman, kami duduk di bangku sambil menikmati snack yang kami beli dari kantin. Ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, dari tugas kuliah sampai hobi masing-masing.
“Eh, lo suka ngelukis kan, Meg?” tanya Bima, tiba-tiba.
“Iya! Gue suka banget, tapi udah lama gak melukis. Kadang suka nyoba-nyoba gambar di buku sketsa,” jawabku sambil senyum. “Lo sendiri, ada hobi lain selain teknik sipil?”
“Gue suka main gitar, tapi ya, masih pemula lah,” katanya sambil tertawa. “Bisa ngiringin lagu-lagu sendu gitu.”
“Coba deh, suatu saat kita main bareng! Gue nyanyi, lo main gitar,” tantangku sambil tertawa.
“Deal! Tapi, lo harus siap-siap disuruh nyanyi di depan orang banyak, ya?” jawabnya, nyengir lebar.
Kami berdua tertawa lepas. Di momen itu, rasanya segala beban dan keraguan seolah lenyap. Tak terasa, waktu berjalan cepat dan matahari mulai tenggelam. Cahayanya bikin suasana jadi lebih hangat.
“Meg, lo pernah mikir tentang masa depan kita?” tanya Bima dengan nada serius.
Pertanyaan itu bikin aku terdiam sejenak. “Maksud lo, masa depan kita berdua?” jawabku sambil menatap matanya.
“Ya, mungkin. Maksud gue, kita udah deket, dan rasanya sayang banget kalau kita gak ngelanjutin ini. Lo ada rencana apa ke depannya?”
Pertanyaan ini bikin hati aku berdebar. “Gue sih pengen jadi arsitek, bisa bikin bangunan yang bermanfaat. Gimana dengan lo?”
“Gue pengen jadi insinyur yang bisa berkontribusi di masyarakat, dan... mungkin kita bisa kerja bareng di proyek yang lebih besar,” jawab Bima, nyengir.
Setelah itu, ada keheningan yang agak canggung. Aku ngerasa ini adalah momen penting. “Bima, gue juga pengen kita bisa jadi lebih dari sekadar teman. Gue ngerasa ada sesuatu yang lebih antara kita,” kataku, berusaha jujur.
Bima terdiam sejenak, kemudian dia menatapku dengan serius. “Gue juga ngerasa gitu, Meg. Tapi kadang gue ragu. Apa yang kita miliki sekarang ini terlalu berharga buat gue. Takut kehilangan lo.”
Mendengar pengakuan Bima bikin hatiku hangat. “Gue janji, kita akan sama-sama berjuang. Kita bisa jalan bareng, dan saling mendukung. Lo gak akan kehilangan gue, Bima,” balasku dengan tegas.
Dia tersenyum, dan aku bisa merasakan ada harapan baru yang lahir dari dalam hati kami. Kami lalu melanjutkan obrolan, dan semuanya terasa lebih ringan. Di akhir hari itu, saat matahari terbenam, aku tahu ini bukan hanya sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih kuat yang menghubungkan kami berdua.
Setelah hari itu, interaksi kami semakin intens. Kami mulai sering berbagi cerita pribadi dan bahkan beberapa rahasia yang selama ini kami simpan. Bima bercerita tentang keluarganya dan bagaimana dia berjuang untuk membahagiakan orang tuanya. Dia bahkan memperlihatkan foto-foto saat kecil, yang bikin aku terpingkal-pingkal karena dia lucu banget.
Suatu hari, saat kami lagi ngumpul di kafe, Bima mendekat dan berkata, “Meg, gue ada sesuatu yang mau gue tunjukin.”
“Apa, Bim?” tanyaku penasaran.
Dia mengeluarkan sebuah buku sketsa yang penuh dengan gambar-gambar keren. “Ini hasil gambar-gambar gue. Keren, kan?”
“Amazing! Lo ternyata berbakat, Bima. Ini luar biasa!” pujiku sambil melihat lebih dekat.
“Thanks! Tapi gue pengen nanya, lo mau ngeliat gue ngelukis? Gue butuh inspirasi,” katanya dengan wajah penuh harapan.
“Of course! Gue mau banget,” jawabku antusias.
Kami pun sepakat untuk bertemu di taman pada akhir pekan. Keesokan harinya, aku nungguin Bima dengan penuh semangat. Ketika dia datang, dia membawa alat lukisnya dan sebuah kanvas kecil.
“Lo siap jadi model lukis, Meg?” tanyanya sambil tersenyum.
“Eh, model? Gak siap, deh! Nanti gue jadi gembel,” jawabku sambil tertawa.
“Gak apa-apa, yang penting lo ada di sini,” kata Bima, dan aku bisa merasakan ketulusan dalam suaranya.
Dia mulai menggambar, dan aku duduk di sebelahnya, berusaha untuk tenang meskipun deg-degan. Melihat Bima fokus pada lukisannya, aku jadi terpesona. Setiap goresan kuasnya memancarkan kreativitas dan passion yang luar biasa.
“Lo ngebayangin apa pas menggambar ini?” tanyaku penasaran.
“Gue lagi mikir tentang lo dan semua yang kita lewatin. Lo jadi inspirasi gue, Meg,” jawabnya tanpa ragu.
Rasanya, setiap kata yang keluar dari mulutnya bikin hatiku meleleh. “Thanks, Bim. Lo juga jadi inspirasi buat gue,” balasku, berusaha mengendalikan perasaan.
Setelah beberapa jam menggambar, dia selesai. “Nah, ini dia! Apa lo suka?” tanyanya bangga.
Melihat hasil lukisan itu, aku terkejut. Dia berhasil menangkap esensi diriku dengan begitu sempurna. “Bima, ini luar biasa! Gue bener-bener suka!” kataku sambil menatap lukisan itu dengan kagum.
“Thanks, Meg. Ini semua karena lo,” jawabnya dengan senyum tulus.
Momen itu jadi salah satu momen berharga dalam hidupku. Rasanya, ada ikatan emosional yang semakin kuat antara kami. Setiap detik yang kami habiskan bersama bikin aku yakin bahwa Bima bukan hanya sekadar teman, tapi juga seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.
Di sisi lain, aku tahu ada tantangan yang akan datang. Tapi aku siap untuk menghadapinya. Bima dan aku udah sama-sama saling mendukung, dan itu bikin hubungan kami semakin solid. Sepertinya, keterikatan emosional ini bukan hanya sekadar perasaan, tapi udah jadi bagian dari hidup kami.
Seiring waktu, aku berharap hubungan ini bisa berkembang jadi sesuatu yang lebih indah. Aku percaya, selama kami saling jaga satu sama lain, semua rintangan yang ada bisa kami lalui bersama. Karena di dalam hatiku, aku yakin, cinta kami akan terus tumbuh seiring berjalannya waktu.