Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Jalan terbaik
Mungkin banyak yang bilang, pergi bukan jalan menyelesaikan masalah, tapi terkadang seseorang perlu menepi demi menyelamatkan hati agar tidak makin hancur berderai. Seperti yang Tatiana lakukan. Sebenarnya berat, tapi ia pun perlu menyelamatkan dirinya sendiri. Terlebih dirinya sedang hamil. Ia tak mau hidup dalam tekanan yang akhirnya berdampak pada kehamilannya.
Tatiana pun memiliki banyak pertimbangan, salah satunya sikap Samudera kelak setelah mengetahui kehamilannya. Bagaimana kalau Samudera tidak menerima kehamilannya? Bukankah lebih baik ia pergi sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Dan lagipula, belum tentu ia bisa kembali hamil. Melihat sikap Samudera yang dingin selama ini. Belum lagi kemunculan Triani, sungguh Tatiana tak sanggup bertahan bila sikap Samudera tetap seperti itu.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah," gumam Tatiana sembari mengendarai mobilnya menuju ke salah satu tempat jual beli mobil bekas.
Ya, demi menghilangkan jejaknya, Tatiana memilih menjual mobilnya. Mobil itu memang hadiah pernikahan dari ibu mertuanya. Tapi bukankah mobil itu sudah menjadi hal miliknya. Jadi tak apakan kalau ia menjualnya? Ia membutuhkan modal untuk melanjutkan hidup. Meskipun dia belum memiliki tujuan pasti kemana ia harus pergi, tapi setidaknya ia akan menghapus segala sesuatu yang berharga bisa meninggalkan jejak keberadaannya.
Setelah melakukan serangkaian pengecekan, pihak pembeli pun sepakat dengan harga yang Tatiana tawarkan. Awalnya pemilik usaha tersebut mengajukan negosiasi agar Tatiana mau menjual dengan harga yang lebih murah, tapi Tatiana menolak dan mengatakan akan mencoba menjual di tempat yang lain. Namun sepertinya strategi yang Tatiana gunakan berhasil membuat pemilik usaha jual mobil itu mengalah. Apalagi kondisi mobil Tatiana meskipun sudah berusia dua tahun, tapi tetap bagus dan mulus serta sangat terawat. Setelah deal dan melakukan transfer pembayaran, Tatiana melangkah ke gerai ponsel yang ada di seberang tempat jual beli mobil tersebut.
Citttt ...
Tiba-tiba suara mobil berdecit nyaring. Kaki Tatiana sampai melemas dengan wajah pucat pasi saat mobil tersebut berhenti mendadak di depannya.
"Aduh, Mbak, Anda tidak apa-apa?" tanya seorang perempuan yang usianya sepertinya lebih tua dari Tatiana.
"Sa-saya ... " Tatiana masih linglung. Kemudian Tatiana menarik nafas dalam-dalam untuk menetralisir degupan jantungnya. "Saya tidak apa-apa. Maaf, sudah menyebrang tidak hati-hati."
"Ah, seharusnya saya yang minta maaf karena hampir saja menabrak Mbak. Maafkan saya ya, Mbak."
"Iya, tidak apa-apa. Ini juga salah saya."
"Tapi Mbak nggak papa kan? Apa ada yang terluka?" tanya wanita itu cemas.
"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa kok, Mbak. Mbak tidak perlu khawatir."
"Syukurlah. Saya tadi cemas sekali," ucapnya seraya menghembuskan nafas lega.
"Kalau begitu, saya ke sana ya dulu ya." Tatiana menggestur ke arah gerai ponsel. Wanita tadi pun mengangguk dan segera kembali masuk ke dalam mobil setelah Tatiana masuk ke gerai ponsel yang dimaksud.
...***...
Setelah melihat-lihat dan menemukan ponsel yang ia inginkan, Tatiana juga membeli kartu seluler yang baru. Tatiana meminta penjual sekalian mengaktivasi kartunya. Tatiana memang membawa KTP dan KK-nya, tapi ia sengaja tidak menggunakan kartu identitasnya demi menghilangkan jejak. Setelah melakukan pembayaran, ponsel pun ia terima. Ia segera memesan taksi online menuju apartemen Raya.
"Tiana, loe kenapa?" tanya Raya saat melihat kedatangan Tatiana yang tiba-tiba di sore hari ini. Beruntung ia sudah pulang jadi Tatiana tak perlu menunggu kepulangannya.
Dahi Raya mengerut, banyak pertanyaan singgah dibenaknya. Apalagi saat melihat tas besar yang Tatiana bawa.
"Loe diusir? Atau ... Loe minggat?" cecar Raya setelah Tatiana masuk dan ia menutup pintu.
Tatiana menghempaskan bokongnya di sofa lalu menyandarkan kepalanya.
"Gue nginap satu malam di sini boleh kan?" tanya Tatiana mengabaikan pertanyaan Raya.
"Mau satu malam, mau satu tahun, atau selamanya pun nggak masalah asal.loe cerita sama gue, loe kenapa? Dari hawa-hawanya nih kayaknya ini bukan berita baik. Gue ambil minum dulu, setelah itu cerita! Awas nggak! Gue nggak mau jadi sahabat loe lagi kalo main rahasia-rahasiaan," omel Raya seperti biasa.
Tatiana terkekeh, "memangnya rahasia apalagi sih yang nggak gue ceritain ke loe? Ya udah, buatin gue minum dulu sana. Gue haus pake banget. Kalau ada makanan bawa juga ya! Ponakan loe laper kayaknya," ucap Tatiana. Raya pun segera mengambilkan apa yang Tatiana minta. Sampai sekarang ia belum sadar dengan apa yang Tatiana katakan perihal keponakannya. Otaknya masih blank. Belum sinkron sama sekali.
"Nih minum jus alpukat kesukaan loe dan ini brownies kukus yang gue tau kesukaan loe juga. Biar ponakan gue nggak laper," ucapnya sambil meletakkan gelas besar berisi jus alpukat dan sepiring brownies kukus. "Eh, tunggu, tunggu, apa kata loe tadi? Ponakan?" Mata Raya membulat saat otaknya baru loading dengan kata-kata Tatiana tadi.
Raya tersenyum lebar. Meskipun hatinya sedang dilanda hujan badai, ia tetap berusaha tersenyum di hadapan orang lain.
"Yes, i'm pregnant, now," ucap Tatiana sambil mengusap perutnya yang rata.
"Masya Allah, selamat ya, Tiana. Aku ikutan seneng mendengarnya. Tapi ... " Raya kembali mengalihkan pandangannya ke arah tas besar milik Tatiana.
"Gue kabur dari rumah, Ray. Gue mau pergi sejauh mungkin dari mereka semua."
"Jadi beneran loe minggat? Tapi loe lagi hamil, Tiana."
"Gue terpaksa. Gue mesti menyelamatkan hati dan mental gue yang nyaris hancur tak bersisa ini, Ray. Gue juga nggak mau terjadi sesuatu dengan kehamilan gue karena terus bertahan dalam hubungan yang menyakitkan itu."
Raya memang sudah mengetahui bagaimana kehidupan Tatiana selama ini. Lalu Tatiana pun menceritakan apa yang ia alami selama dua Minggu ini, mulai dari foto-foto Samudera dan Triani di luar kota hingga pemandangan yang ia lihat di ruangan Samudera tadi.
"Tapi apa yang loe liat belum tentu kebenarannya, Tiana," ucap Raya yang tak ingin Tatiana menarik kesimpulan secara tergesa.
"Gue tau. Tapi loe tau sendiri kan bagaimana sikap Mas Sam selama ini? Aku nggak mau makin hancur, Ray. Dia nggak pernah mencintai gue, Ray. Sudah cukup selama 2 tahun ini gue hidup dalam bayang-bayang mendiang istrinya, lalu kini ditambah lagi dengan kemunculan Mbak Triani. Gue ngerasa, gue udah nggak punya tempat dan kesempatan sama sekali. Gue ngerasa asing di rumah suami gue sendiri. Ditambah ternyata dia sering ketemuan diam-diam dengan mbak Triani. Sampai di Surabaya pun mereka masih sempat bertemu. Nggak mungkin kan mereka nggak punya hubungan apa-apa sementara mereka sering ketemuan di belakang gue?"
Raya terdiam. Ia pun ikut membenarkan apa yang Tatiana ucapkan. Kalau ia berada di posisi Tatiana, pasti ia pun akan melakukan hal yang sama.
"Jadi, sekarang apa rencana loe?"
"Besok gue mau mendaftarkan gugatan cerai gue. Setelahnya, gue akan langsung pergi."
"Pergi? Pergi ke mana?"
Tatiana mengendikkan bahunya.
"Nggak tahu, yang pasti tempat yang tidak diketahui Mas Sam. Gue mau hidup tenang di tempat yang baru, Ray."
"Kenapa mesti pergi jauh? Di sini aja kenapa?"
"Terlalu banyak kenangan di kota ini, Ray. Gue nggak sanggup bila harus hidup satu kota dengan dia," ujarnya sendu.
Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah ruah. Raya tak lagi banyak bertanya sebab ia tidak berada di posisi Tiana jadi ia tidak tahu bagaimana rasanya jadi Tatiana. Sebagai sahabat, ia hanya bisa mendukung dan mendoakan semoga jalan yang Tatiana ambil ini merupakan yang terbaik.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...