Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Setelah mandi dan bersiap untuk mengantarkan Naura ke sekolah, aku mencoba menelepon Adnan. Tapi, entah kenapa dia tidak mengangkatnya. Dengan rasa penasaran, aku mencoba meneleponnya lagi.
Namun, kali ini yang mengangkat bukan Adnan, melainkan suara perempuan yang aku yakini adalah Sandra.
"Apakah Adnan sedang bersama Sandra?" hatiku berkata. Saat itu, kecurigaanku semakin kuat. Teringat kata-kata Sandra, 'Aku tahu ini pasti Rania, kan? Hahaha, kasihan!' membuatku merasa seperti tertampar.
Emosi bercampur aduk; ada rasa cemburu, marah, dan sedikit takut karena mungkin saja Adnan sedang berselingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus menerpa, tapi aku berusaha untuk tidak terbawa perasaan.
"Tidak, aku harus tenang dan mencari tahu dulu. Aku tidak boleh berspekulasi sembarangan," gumamku dalam hati, berusaha untuk tetap rasional.
Aku terdiam beberapa saat, tangannya gemetar memegang telepon.
Napasnya tersengal, berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. "Ya, ini aku," suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.
Sandra di seberang sana tertawa sinis. "Kamu tahu kan, Adnan lebih memilihku daripada kamu? Kita sedang bersama sekarang," ucapnya dengan nada menggoda.
Aku menutup mataky,, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk tetap tenang. "Kenapa kalian melakukan ini padaku?" bisiknya, suara patah dan hancur.
"Karena dia membutuhkan seseorang yang lebih baik, Rania. Aku rasa kau sudah tahu jawabannya," jawab Sandra dengan nada penuh kemenangan.
Air mata aku akhirnya jatuh, mengalir deras di pipinya. Dia merasa seperti dunianya runtuh, kepercayaannya hancur.aku menutup telepon, lemas dan terduduk di lantai ruang tamu.
Hatiku terasa remuk, seperti teriris pisau yang tajam. Aku menangis dalam kesendirian, menyadari bahwa pernikahan aku mungkin akan berakhir.
( "Hallo, Rania. Kamu mendengarku, kan?" Aku mendengar Sandra tertawa di seberang sana. Kenapa dia selalu begitu, menyakitiku dengan kata-kata dan sikapnya? "Pasti kamu sedang meratapi nasib, kan? Makanya punya suami itu harus dilayani dan diurus." )
Aku mencoba mengendalikan emosiku, tidak ingin menunjukkan bahwa aku terluka oleh perkataannya.
("Tak perlu aku mengurusnya, Sandra. Kan ada kamu. Aku rela memberikan Adnan untukmu.")
Tapi dalam hati, air mata mulai menggenang, berat untuk ditahan. Bagaimana dia bisa begitu? Suara tawa Sandra semakin nyaring, mengejek di sebrang telepon.
("Aku sudah bilang, Rania, kami berdua saling mencintai dan tidak bisa terpisahkan. Terima saja kenyataannya." )
Dengan perasaan sakit hati, aku memikirkan betapa kejamnya Sandra terhadapku. Mengapa Tuhan mempertemukanku dengan orang seperti dia? Aku harus mencari kekuatan untuk menghadapi segala cobaan ini, dan mungkin juga, merelakan suamiku yang kini telah jatuh ke pelukan wanita lain.
Begitu menutup telepon, Naura segera datang menghampiriku dengan senyum yang begitu menenangkan hatiku.
"Mah, Mamah nangis lagi? Gara-gara Papah lagi? Karena Papah nggak pulang?"
"Enggak kok, Nak," jawabku berusaha menyembunyikan rasa sedih di hatiku.
"Udahlah, Mah, nggak usah difikirin Papah. Biarkan saja dia hidup dengan perempuan jahat itu. Kita bisa bahagia dengan hidup kita sendiri," kata Naura dengan begitu dewasa.
Aku merasa terharu mendengar perkataan anakku yang masih muda itu. Kuhadapkan tubuh mungil Naura dan meluknya erat.
Betapa besar dan lelap hatinya, sedangkan aku, mengapa aku masih belum bisa berdamai dengan diriku sendiri dan menahan rasa sakit yang selalu menghantuiku setiap kali teringat perbuatan suamiku?
Aku merasakan kepastian dalam suara Naura, "Aku yakin, Ma. Papah pasti bersama perempuan itu. Jadi, untuk apa Mamah masih memikirkan Papah? Toh, Papah sendiri tidak memikirkan Mamah." Ucap Naura dengan matanya berkaca-kaca, tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
Aku tersenyum manis ke arahnya dan mengusap lembut pipinya. "Kamu benar, Nak," kataku, berusaha memberikan semangat untuk diriku sendiri sekaligus padanya.
Naura menyeret tanganku, dan kami segera keluar dari rumah. Bibik baru saja datang, seperti biasa aku memberikan uang untuk belanja di pasar dan ongkos nanti menjemput Naura.
Aku dan Naura segera masuk ke dalam mobil, lalu ku lajukan mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota di pagi hari. Pagi ini, aku punya rapat dengan beberapa rekan kerjaku yang mungkin cukup menguras waktu.
Jadi, mungkin aku akan pulang agak telat.
"Nak, nanti Mamah pulang agak telat ya? Tolong jangan khawatir dan jagalah dirimu baik-baik." Seruku ke arah Naura, berharap dia mengerti dan tetap merasa aman walau aku tidak ada di sampingnya.
"Aku sudah sampai sekolah, terima kasih ya, Ma," ucap Naura sebelum turun dari mobil.
Aku melambaikan tanganku ke arah Naura, menatapnya sampai dia masuk ke dalam gerbang sekolah. Setelah itu, kulanjutkan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju tempat kerjaku.
Saat melintas di depan kantor polisi, kulihat Kevin yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Raut wajah mereka nampak serius, seperti sedang bertengkar atau berantem.
Mau saja berhenti dan menyapa, tapi tidak enak melihat suasana yang sedang tidak kondusif. Aku memutuskan untuk mengklakson saja, memberi kode bahwa aku melintas di dekat mereka.
Namun, saat menatap spion mobil, aku melihat ekspresi Kevin yang terasa dingin, tanpa empati pada tangisan perempuan itu. Tiba-tiba pikiranku menerawang, membayangkan kalau-kalau Kevin juga sama seperti Adnan.
"Kenapa Kevin bersikap seperti itu? Apakah dia juga berkelakuan buruk seperti Adnan?" gumamku dalam hati, merasa khawatir dan bingung.
Tak lama setelah aku berpikiran buruk tentang Adnan, ponselku berdering. Kevin menelfonku, dan rasa penasaran membuatku segera mengangkat teleponnya.
Aku menjawab,[ "Halo, Kevin." ]
Kevin langsung mengejutkanku dengan permintaannya, ["Halo, Rania. Apa nanti sore bisa bertemu denganku? Ini sangat penting."]
Merasa heran, aku bertanya,[ "Penting?" "Iya, aku harap kamu bisa ya, Ran," ]jawab Kevin dengan serius.
Aku merasa ragu, ["Gak janji, Kev. Hari ini aku sangat sibuk."]
["Aku mohon, Rania,"] pinta Kevin dengan nada yang membuatku merasa terdesak.
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan bertemu dengannya. Namun, sebelum memastikan jawabanku, aku perlu berkonsultasi dengan Sumi.
["Nanti aku hubungi kamu lagi ya, aku tanya sama Sumi dulu," ]kataku dengan nada ragu.
Kevin tampak menerima jawabanku, ["Oke, beres." ]
Lalu, dia menutup teleponnya. Kini, aku semakin penasaran. Apa yang akan dibicarakan Kevin denganku, dan kenapa sepenting itu? Begitu sampai di butik, Sumi langsung menyambutku dan mengatakan hari ini akan sangat sibuk.
Kepala sudah pusing sebelum kerjaan dimulai. Dengan perasaan yang bercampur aduk, aku bersiap untuk meeting dengan arsitek dan kontraktor yang akan membangun butikku di kota tetangga.
Sekarang aku telah memiliki tiga cabang butik yang sukses di beberapa kota besar, dan sebentar lagi akan menjadi empat. Setiap kali aku mengingat pencapaian ini, aku merasa sangat bersyukur kepada sang Pencipta.
Semua jerih payah dan pengorbananku selama ini, tak ada yang sia-sia, meski tentunya memerlukan proses yang tak singkat.
"Mungkin banyak yang mengira aku hanya beruntung, tapi apakah mereka tahu betapa sulitnya meraih kesuksesan ini?" batin aku dalam hati.
Aku bekerja keras setiap harinya, menjalani liku-liku kehidupan sebagai pengusaha yang tidak mudah, dan tak sedikit ujian yang harus aku lalui.
Tapi di balik semuanya itu, ada kebahagiaan tersendiri yang tak tergantikan, yaitu kebanggaan atas apa yang telah aku capai.
"Setiap cabang yang kubuka, bukan hanya tentang keuntungan materi semata, tapi juga tentang bagaimana aku bisa membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku mampu meraih impian-impianku. Dan aku akan terus berusaha, sebab langit masih sangat luas," ujarku pada diri sendiri, sembari menatap wajah yang tersenyum penuh optimisme dalam cermin.
******