Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunangan Egois
Siang pukul dua belas lewat, suasana kantor PT Adiyaksa Pratama Group dipenuhi ketegangan. Karin, tunangan Adi yang terkenal egois dan posesif, tak bisa berhenti marah. Liar, meledak-ledak.
“Bagaimana bisa?!” seru Karin sambil menatap tajam ke arah para staf. “Kalian semua tahu bahwa persiapan pernikahan Adi denganku adalah urusan paling penting saat ini, tapi tidak ada satu pun dari kalian yang bisa menghubunginya? Ini tidak masuk akal! Apa kalian semua bersekongkol melawanku?”
Mira, yang tahu bahwa Adi sedang bersama seorang rekan di luar, di suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun, dengan hati-hati merahasiakan nomor rekan Adi itu. Hanya Mira yang tahu nomor telepon itu, dan dia tahu betul bahwa memberikannya kepada Karin hanya akan memperburuk keadaan.
Sementara itu, staf lain tengah sibuk mempersiapkan ruang rapat untuk pertemuan penting dengan Monsieur Philippe, klien berharga dari Prancis yang dijadwalkan akan tiba menjelang sore. Mereka berusaha siaga jika Monsieur Philippe tiba-tiba memutuskan ingin bertemu Pak CEO di kantor.
Staf penjemputan pun telah ditugaskan ke Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput Monsieur Philippe dan keluarganya, lalu mengantar mereka ke hotel terdekat untuk beristirahat sebelum pertemuan.
Namun, seluruh persiapan itu terusik oleh tingkah konyol dan egois Karin. Tanpa peduli betapa pentingnya pertemuan tersebut bagi perusahaan, Karin hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak peduli dengan dampak dari tindakannya terhadap pekerjaan orang lain, apalagi terhadap Adi yang harus menangani klien sebesar Monsieur Philippe.
“Apakah kamu tidak tahu betapa pentingnya aku?” teriak Karin kepada seorang staf yang tengah mengatur dokumen. “Aku datang jauh-jauh ke sini untuk bertemu Adi, dan kalian semua menghalangiku?!”
Staf yang mendengar teriakan Karin hanya bisa terdiam, sadar bahwa tidak ada gunanya menjelaskan pentingnya klien yang akan datang.
Karin mengacak-acak meja, memindahkan barang-barang dengan kasar, bahkan mencoba mengatur ulang kursi-kursi di ruang rapat, meskipun staf sudah bekerja keras menatanya. Dia tidak mau tahu bahwa ruang rapat itu disiapkan untuk menyambut tamu penting, bukan untuk melayani keegoisannya.
Bukan hanya itu, Karin juga mengganggu staf yang tengah berusaha menyiapkan presentasi. Dengan gaya sok berkuasa, dia memerintahkan mereka untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tidak relevan, seolah-olah kantor itu miliknya.
“Kenapa Adi bisa bekerja dengan orang-orang seperti kalian? Tidak ada yang berkompeten di sini!” serunya dengan nada menghina.
Semua staf yang ada di kantor hanya bisa menahan napas, berharap Karin akan segera pergi. Namun, tak ada tanda-tanda dia akan meninggalkan kantor.
Di tengah kekacauan ini, seorang staf dengan wajah cemas mencoba menenangkan Karin, meyakinkan bahwa Adi pasti akan segera kembali. Namun, Karin hanya membalas dengan dingin :
“Aku tidak peduli berapa lama dia akan kembali. Tapi kalian harus tahu, kalau dia tidak ada di sini sekarang, buat apa aku repot-repot datang ke tempat seperti ini? Kalian semua harus bersyukur aku mau menunggu di sini!”
Di sela-sela semua persiapan yang semakin kacau, suasana kantor menjadi semakin tegang. Karin, dengan sikap arogan dan sok berkuasanya, berdiri di tengah ruangan seperti seorang ratu yang menunggu.
Sementara para staf, meski tertekan, mencoba melanjutkan pekerjaan mereka dalam suasana yang semakin mencekam. Namun satu per satu staf yang mulai melanjutkan pekerjaan mereka terganggu oleh Karin, yang terus memaksakan kehendak.
Karin mengeluarkan ponsel dengan penuh amarah. “Ini semua salah Adi! Seharusnya hari ini dia mengantarku ke butik untuk fitting baju pengantin, tapi dia malah hilang entah ke mana! Apa yang lebih penting daripada aku?!”
Mendengar itu, beberapa staf yang berada di dekatnya saling bertukar pandang dengan raut wajah bingung. Mereka yakin betapa sibuknya Adi saat ini, meski mereka tak tahu Adi ada di mana, terutama mengingat akan kedatangan klien penting seperti Monsieur Philippe ke Jakarta.
Namun, Karin tidak mau peduli. Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada kebutuhannya sendiri. Fitting baju pernikahan menjadi alasan yang cukup baginya untuk mengintervensi seluruh kantor.
Di ruang rapat, para staf yang sedang mempersiapkan presentasi mencoba tetap fokus meskipun Karin bolak-balik masuk dan memeriksa apa yang mereka lakukan. Dengan nada angkuh, dia kembali mengkritik segala hal, dari tata letak kursi hingga pencahayaan ruangan.
“Cahaya di sini terlalu terang! Apa kalian tidak bisa melakukan pekerjaan sederhana seperti ini?” keluh Karin, padahal pengaturan itu sudah sesuai dengan standar perusahaan.
Beberapa staf yang merasa kesal dan frustasi hanya bisa menahan diri, berharap Karin segera pergi. Namun, harapan mereka pupus ketika Karin dengan tegas menyatakan bahwa dia akan menunggu di kantor sampai Adi muncul.
Mira, yang tahu betapa pentingnya ketenangan di kantor saat itu, berusaha sekuat tenaga menghindari konfrontasi dengan Karin. Namun, ketika ponselnya berdering dan melihat nomor yang masuk di layar—nomor rekan Adi—hatinya berdebar. Dengan hati-hati, dia menjawab telepon itu, berusaha menjaga agar percakapannya tidak didengar Karin.
“Halo, Mira? Ini Adi,” suara Adi terdengar dari seberang.
Mira menghela napas lega, tetapi juga sedikit tegang. “Pak CEO… ada Karin di sini,” bisiknya, sambil menjauh dari ruang rapat dan masuk ke divisi marketing yang lebih sepi.
“Karin masih di kantor?!” Suara Adi terdengar khawatir. “Bagaimana situasinya?”
“Dia… ya, tidak terlalu baik. Tapi kami sedang berusaha menenangkannya,” jawab Mira dengan pelan. “Monsieur Philippe sedang dalam penerbangan menuju Jakarta, Pak. Kami sudah menyiapkan penjemputan di Bandara Soekarno-Hatta dan akan mengantarnya ke hotel bersama keluarganya.”
Adi terdengar lega. “Terima kasih, Mira. Itu inisiatif yang sangat bagus. Saya juga sebenarnya mau menyuruh kalian melakukan hal yang sama. Semoga saja saya bisa segera kembali setelah menyelesaikan urusan di sini.”
Namun, tanpa sepengetahuan Mira, Karin yang kebetulan sedang berjalan ke arah divisi marketing, menangkap suara Mira yang sedang berbicara dengan Adi. Karin langsung menghentikan langkahnya dan mengintip dari balik pintu, mendengarkan percakapan itu.
Di ruangannya tiba-tiba Mira teringat tentang Monsieur Philippe yang hanya lancar berbahasa Prancis. “Oh ya Pak, satu lagi…”
Belum sempat Mira menyelesaikan kalimatnya, Karin segera masuk dan melabraknya.
“Kamu bicara dengan Adi?! Kenapa kamu tidak memberitahuku?! Apa yang kamu sembunyikan dariku?!”
Mira terkejut, dan segera menutup panggilan. Ia berusaha tetap tenang.
“Bukan Karin, ini hanya urusan kantor. Ini hanya…”
“Hanya apa? Lalu kenapa kamu menghindar dariku untuk menerima telepon itu?” potong Karin dengan suara tinggi. “Berikan aku nomor itu sekarang juga! Aku yakin itu Adi. Perlu kamu tahu ya, saat ini aku yang berhak bicara dengan Adi, bukan kamu!”
Mira mencoba menjelaskan, tapi Karin semakin bernafsu untuk mendapatkan nomor telepon yang dimaksud. Dengan wajah yang semakin merah karena amarah, Karin memaksa Mira untuk memberitahukan nomor tersebut, sementara Mira berusaha keras menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh dalam konflik ini.
Mira merasa disudutkan, tetapi dia tahu harus melakukan sesuatu untuk menjaga situasi agar tidak semakin buruk. Karin berdiri di depannya dengan mata yang berkobar penuh amarah, sementara Mira berusaha keras mencari cara untuk mengulur waktu.
“Karin, sabar dulu, ya,” kata Mira dengan nada lembut namun tegang. “Saya bisa coba cari tahu di mana Pak CEO sebenarnya sekarang. Tapi... ehm, baiklah, mungkin nomor telepon yang aku pegang ini bukan nomor langsung Pak CEO. Ini nomor anonim. Sepertinya beliau meminjam ponsel seseorang… di jalan. Saya tidak tahu pasti. Bisa jadi dia sudah menyerahkan kembali ponsel itu dan pergi lagi.” Mira dengan cepat menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam laci meja, seolah sedang mencoba melindungi informasi rahasia.
Karin melotot tidak percaya. “Apa maksudmu? Jangan main-main denganku! Kenapa kamu sembunyikan ponselmu ke dalam laci?”
Mira mengambil ponselnya lagi. “Begini, Karin. Sinyal di kantor ini kadang-kadang nggak stabil. Bagaimana kalau kita coba cari tempat yang sinyalnya lebih bagus?” Mira mencoba untuk mengalihkan perhatian Karin dengan alasan yang terdengar tidak masuk akal. Dia melangkah keluar dari ruangan, menuju tangga darurat menuju rooftop yang jarang digunakan.
“Kenapa harus ke sana?!” Karin bertanya dengan curiga, tetapi akhirnya mengikuti Mira.
Mira memanfaatkan setiap detik untuk berpikir. “Kadang di tangga darurat itu sinyalnya lebih kuat,” jawabnya dengan setengah meyakinkan. “Tunggu sebentar, aku coba hubungi nomor lain yang mungkin bisa menghubungkan kita ke Pak CEO.”
Saat mereka tiba di tangga darurat, Mira berpura-pura mencoba menghubungi nomor lain.
“Aduh, nggak nyambung juga,” keluhnya sambil berakting, memainkan ponselnya dengan harapan Karin sedikit percaya dan bersabar.
Namun, Karin tidak bisa lagi menahan emosinya. “Mira, aku bukan anak kecil yang bisa kau bodohi. Berikan aku nomor itu sekarang juga!”
Mira hampir kehabisan ide, tapi kemudian dia berpikir untuk menggunakan strategi terakhir.
“Baiklah, Karin. Saya akan memberikannya, tapi... mungkin kita perlu bicara dulu dengan Pak Heru di bagian IT. Dia yang paling tahu soal telepon-telepon rahasia yang digunakan Pak CEO untuk urusan bisnis.”
“Telepon rahasia?!” Karin tampak semakin kesal. “Jangan macam-macam denganku, Mira! Apa kau pikir aku bodoh?”
“Bukan begitu, Karin. Tapi Pak Heru bisa menjelaskan lebih baik dari saya,” jawab Mira, setengah berharap ini bisa mengulur waktu lebih lama.
Tanpa menunggu jawaban Karin, Mira mulai berjalan cepat menuruni tangga menuju ruangan IT di lantai dua, dengan Karin mengikutinya sambil terus melontarkan omelan. “Ini tidak masuk akal! Aku tunangan Adi, aku yang seharusnya tahu segala hal tentang dia, bukan kalian!”
Mira sampai di ruangan IT, dan untungnya Pak Heru sedang tidak sibuk. Dengan cepat, dia menjelaskan situasinya kepada Pak Heru dalam bahasa isyarat yang jelas hanya untuk mengulur waktu.
“Pak Heru, ada masalah penting, tapi bisa kita coba lihat dulu daftar panggilan yang mungkin terhubung dengan nomor-nomor alternatif Pak CEO?”
Pak Heru yang cerdas langsung menangkap maksud Mira dan berpura-pura membuka berbagai layar komputer, seolah-olah sedang mencari informasi penting.
“Hmmm, sepertinya memang ada nomor alternatif yang digunakan Pak Adi, tapi butuh waktu untuk mengakses data-datanya,” kata Pak Heru dengan nada serius.
Karin, yang mulai kehilangan kesabaran, melihat layar komputer yang penuh dengan angka dan kode. Dia tidak mengerti apa-apa, tapi tetap saja mencoba memantau semua gerakan Pak Heru dan Mira.
Waktu berlalu, dan Pak Heru merasa sudah tidak bisa mengulur lebih lama lagi. Pak Heru berbisik pelan kepada Mira, “Kita sudah sampai batasnya, aku tidak bisa menahan dia lebih lama.”
Tiba-tiba ponsel Mira berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Dari Adi melalui rekannya, memberitahu supaya Mira menghindar ke tempat lain yang sepi, Adi bermaksud menelepon lagi. Mira membalas pesan itu dan ia segera keluar dari ruang IT menjauhi Karin. Karin yang menyadari perubahan mendadak itu mengikuti Mira.
“Mau kemana?” teriak Karin dari ruang IT.
Ponsel Mira pun berbunyi. Sebuah panggilan masuk. Dari nomor rekan Adi. Dengan setengah terpaksa Mira pun menjawab panggilan itu sambil berjalan cepat menelusuri koridor.
“Mira, saya perlu tahu apakah Monsieur Philippe bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris?” tanya Adi dalam suara kemerosok speaker ponsel.
“Tidak Pak, tadi juga saya mau bertanya, apakah Bapak bisa berbahasa Prancis? Soalnya Monsieur Philippe hanya berbicara Bahasa Prancis.”
“Saya tidak terlalu mahir dalam Bahasa Prancis.” Beberapa saat tak ada suara. “Oke, begini saja, saya sarankan kamu untuk menghubungi penerjemah yang pernah saya sewa saat liburan ke Prancis. Namanya Toni, dia penerjemah freelance. Saya harap dia punya jadwal kosong sore nanti untuk membantu komunikasi dengan klien di kantor. Kamu bisa cari informasi tentang dia di media sosial. Nama medsosnya toni_freelance_translator.”
Mira mengingat petunjuk itu baik-baik sambil bergerak mendekat ke ruang arsip untuk menghindari Karin.
“Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Toni dan memastikan dia bisa datang.”
“Terima kasih, Mira. Oh, dan satu lagi, coba siapkan juga materi presentasi dalam Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia. Supaya kita bisa menyampaikan presentasi dengan baik dan Monsieur Philippe merasa nyaman.”
“Siap, Pak. Saya akan pastikan semuanya siap sebelum Bapak tiba.”
“Bagus. Saya akan coba selesaikan urusan saya di sini secepat mungkin. Tolong jaga suasana di kantor tetap tenang, ya.”
Mira melirik ke belakang dan dilihatnya Karin menyusul. “Akan saya usahakan, Pak,” jawab Mira sambil bergegas masuk ke ruang arsip.
Tanpa terduga Karin berhasil menyusul Mira hingga ke ruang arsip, disusul Pak Heru yang tiba dalam keadaan gugup di belakang. “Kalian berusaha membodohiku ya?” tanya Karin seraya merebut ponsel Mira dengan kasar lalu segera memeriksa panggilan terakhir dan menyalinnya.
“Baiklah, Karin, kamu mendapatkannya, tapi tolong jangan lakukan hal yang bisa merusak hubungan Pak CEO dengan klien.”
Sebelum meninggalkan ruang arsip, Karin mengembalikan ponsel Mira sambil memberikan tatapan tajam kepada Mira dan Pak Heru.
“Kalian lebih baik tidak menyembunyikan apapun dariku lagi!”
Ketika Karin berjalan keluar dari ruangan, Mira dan Pak Heru hanya bisa saling memandang dengan cemas. Mereka merasa bahwa hal ini akan berkembang menjadi masalah yang lebih besar.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.