Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Rencana untuk merebutmu
Aza tidak meminta untuk Jagat menyerahkan sendok, ia justru dengan santai dan manjanya meminta lauk makan dilebihin di suapannya, "iya itunya bang, banyakin..." pintanya dan Jagat entah sejak kapan melakukan itu dengan sukarela.
Aza memang berbeda, disaat wanita lain gengsi dengan so-so'an bisa makan sendiri, ia justru dengan senang hati disuapi Jagat.
"Kalo di rumah, aku biasa disuapin bunda. Kalo di kampus kadang minta disuapin Nay..." akuinya.
Jagat melengkungkan bibirnya, anak manja, "kalo nanti sudah menikah?" tanya Jagat.
"Disuapin suami lah..." bangganya menerima suapan demi suapan dari Jagat.
"Kalo suaminya kerja?"
"Disuapin suami orang...ahahahaha!" tawanya lagi puas memancing gelengan kepala Jagat sepaket delikan mata tajamnya, "wah bahaya kalo gitu. Suami kamu nanti mesti nanem ranjau di sekeliling rumah."
Candaan itu mengalir sehangat api unggun, sampai Aza menggeleng menolak suapan Jagat karena dirasa tak sanggup lagi melahap nasi tim di nampannya, ia menutup mulutnya, "ngga kuat banyak-banyak. Takut keluar lagi yang udah masuknya..." sembari kepayahan mengunyah.
"Sedikit lagi..." bujuknya digelengi Aza.
"Satu suap lagi..." kembali bujuknya dan kembali juga digelengi Aza.
"Oke. Sekarang minum obat kalo gitu..." Ia menaruh nampan di atas meja begitu saja.
Jagat memilih menyerahkan gelas pada Aza, karena nyatanya gadis itu sudah meraih dan menelan obatnya sendiri dengan mudah tanpa harus diselingi pisang atau biskuit.
"Makasih udah nolongin aku." Situasi serius tercipta karena Aza yang memulai, wajahnya tak sepucat sebelumnya, meski masih terlihat kuyu dan menyedihkan.
"Sama-sama. Kalo gitu saya keluar biar kamu bisa istirahat."
Baru Aza mengangguk dengan Jagat yang menepuk-nepuk bantal agar Aza merasa nyaman, seorang prajurit datang menghampiri, "Pagi. Ndan!" salamnya menghormat pada Jagat yang sontak membuat pria itu menoleh bersama Aza, "pagi. Ada apa boy?"
Pandangannya beralih pada Aza seraya menurunkan tangannya, "mbak Aza, ada panggilan satelit dari nusantara..." ia menyerahkan sebuah telfon satelit milik kesatuan yang memang disediakan di camp untuk panggilan darurat saja.
"Telfon om? Buat aku?"
"Siap, betul mbak."
Jagat saling memandang dengan Aza, seolah Aza meminta penjelasan padanya, "angkat saja."
"Biar nanti telfon ini saya yang kembalikan." Titah Jagat pada juniornya itu.
"Siap ndan!"
"Hallo.." Aza menempelkan itu dekat telinga meski suaranya masih bocor keluar.
"Aza!"
Awalnya Aza berpikir itu pihak kampus atau mungkin ayah dan bunda yang kerajinan nelfon satelit gara-gara ia yang sudah beberapa hari tak memberikan kabar...namun nyatanya tebakan Aza keliru.
"Kamu sakit? Tertular penyakit wabah? Pulang ya sayang...mas akan minta ijin urus kepulangan kamu sama pihak kampus dan rumah sakit."
Aza membeku seketika begitupun Jagat. Suara itu jelas suara laki-laki.
Angga. Pandangannya menatap Jagat nyalang perihal hati yang telah dilingkupi rasa bersalah nan tak enak hati pada pria yang kini menatap Aza getir, Jagat tak mengindahkan dan memilih melanjutkan mempernyaman tempat berbaring Aza.
"Mas. Aku ngga apa-apa...ngga usah berlebihan." ucap Aza membalas namun suara sengit itu didapatkannya dari Angga, "ngga apa-apa gimana, barusan Hera yang bilang kamu sampe pingsan. Harus mas jelasin apa sama ayah sama bunda kalo gara-gara mas kirim kamu ke Kongo kamu jadi sakit..." cerocosnya memerintah.
"Mas, denger dulu...Aza yang salah, Aza yang kurang hati-hati dan ceroboh. Udah tau disini wabah..." bela Aza.
"Ck. Batu..." cibir Angga dari sebrang sana. Jika dulu Aza akan membalasnya, namun sekarang ia seakan tak memiliki gai rah membalas Angga.
"Mas aku capek, baru mau istirahat....sampein sama profesor, Nay, bunda sama ayah kalo aku baik-baik aja disini."
"Mas mau kamu balik yank...kita usaha bareng-bareng disini buat luluhin hati ayah bundamu. Biar perjodohan kamu batal, biar mas berusaha lebih keras..."
Pukk! Pukk! Pukk!
Tepukan di bantal kini lebih keras dan entah apa maksudnya sampai-sampai suaranya terdengar di telfon, begitupun dengan Aza yang cukup terkejut dengan aksi Jagat karena tepat di sampingnya. Kasihan sekali si bantal, ia menjadi samsak tinju Jagat padahal ia tak salah apapun. Untung ngga sampe brojol isiannya.
"Apa itu yank?"
Aza menatap Jagat kebingungan namun kembali mengalihkan pandangan.
"Aku masih mau disini, mas. Tanggung, riset buat tugasku belum selesai udah setengah jalan, masa mau berenti...ngga enak sama dokter yang lain juga. Bakal dianggap apa aku sama mereka----"
"Hama." dengus Jagat kembali membuat Aza menoleh horor.
"Parasit."
"Toxic."
Kembali umpat Jagat. Gumaman bibir Aza yang manyun menanggapi ucapan Jagat, apa sih! Jahat ih!
Terdengar helaan nafas dari sana, "ya udah kalo itu mau kamu. Aku tetep pantau kamu lewat Hera....kalau sampe besok masih belum membaik, aku ngga akan minta ijin kamu lagi, buat urus kepulanganmu..."
"Sakarepmu." Puk! Puk! Kebettthhh!" Jagat kembali mendengus menepuk bantal dan kini mengibaskan selimut.
"Shhh!" Bang J, astagahhh apa sih! Pelototnya kembali bergumam.
"Iya--iya." Aza hanya bisa mengalah sembari memijit pelipisnya yang masih terasa pusing.
"Ya udah aku matiin ya, aku mau istirahat dulu...pusing." Ucap Aza.
"Istirahat deh sayang.
Sreekkkk!
Kini Aza dikejutkan kembali dengan gerakan Jagat yang menutup gorden.
Allahu, bang JEEEE! Gemasnya.
"Mas sayang kamu Za..." lirihnya dari sana, namun ucapan Angga kali ini justru bukan memancing Aza untuk merona melainkan rasa tak enak dan sedih.
"Za...baby..." panggil Angga lagi. Dan kini Jagat sudah berdiri di depannya.
Aza menatap Jagat tanpa berkedip, "iya mas."
"Loh, kok gitu...ngga kaya biasanya...biasanya kamu bales aku, yank?"
Aza terlihat begitu sesak dan sulit, ia memejamkan matanya jika begini ia akan sulit untuk lepas, "Za...hallo."
"Sayang..."
Aza menatap Jagat dimana pria itu menatapnya penuh makna.
"Sayang---kamu, juga." Aza menutup panggilannya dan menyerahkan kembali telfon itu pada Jagat.
"Angga." lirih Aza menjelaskan, tak tau...seolah perlu saja untuk segera mengklarifikasi keadaan pada Jagat.
"Pacar, calon suami?" tembak Jagat.
"Pacar..." jawab Aza diangguki Jagat.
"Otoriter." Pun, Jagat merasa perlu memberikan suara sumbangnya menilai Angga, dan Aza hanya mengulas senyum. Aza menoleh ke belakang, seakan tak yakin jika Jagat benar-benar membuat bantalnya nyaman. Kini ia justru memijit-mijit si bantal sejenak, kasian khawatir pada sakit-sakit badan nih bantal di tepokin bapaknya gorila, lalu ia merebahkan badan dan kepalanya yang sudah terasa berat dipikul.
"Ini bantalnya langsung empuk gini ditonjokin bang J," cibirnya, "untung ngga ancur juga..." tambahnya. Jagat yang disindir biasa-biasa saja.
"Tahan sama laki-laki otoriter begitu?" jujur saja Jagat tak terima.
Aza kembali tersenyum, "mungkin cewek liatnya posesif kali ya...tapi kebanyakan cewek suka di posesifin..." jelas Aza menatap jauh ke atas lampu.
"Kamu?" tanya nya mencoba memahami Aza.
"Kadang suka, kadang engga." Jawab Aza. Jagat manggut-manggut paham, "ya sudah. Tidur kalo gitu, jangan bangun kalo belum saya suruh..."
Praktis saja mata yang sudah hampir menutup itu kembali melotot dengan alis mengernyit, "kok gitu?!"
"Loh, katanya kebanyakan perempuan suka kalo diposesifin..."
"Ya engga gitu juga bang J!" Aza sudah bisa memukul lengannya meski tak kencang dan Jagat tertawa kecil sembari menghindar yang tak benar-benar berniat menghindar.
"Ya sudah. Istirahat Za...lekas sembuh..."
"Iya." Aza benar-benar memejamkan matanya yang sudah lelah, selain karena kepalanya yang pusing, badan lemas, efek obat namun pula ia sudah letih jiwa dan raga.
Jagat memandang Aza kembali sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan, "apa saya salah, jika saya punya rencana merebut kamu dari Angga, Za?"
.
.
.
.
.
lanjut