Pemuda tampan itu bukan siapa-siapa, sampai di mana ia ditemui wanita yang tiba-tiba menawarkan tiga juta hanya untuk ciuman bibirnya.
Sejauh Marco melangkah, tiada yang tahu jika di balik matrenya berondong itu, ialah pewaris tahta yang dibuang oleh ayah crazy rich-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 015
Lama tak berciuman sedalam ini, Marco seakan tak mau merelakan. Ia sampai memilih sofa untuk aksi pelepasan rindu yang entah kenapa seolah- olah membuncah.
Bibir, leher, bahkan empuknya dada Allura sudah dibagikan tanda- tanda kepemilikan khas Marco. Sampai, puncaknya ketika Marco mulai ingin mengeluarkan benih alaminya.
Pemuda itu menghentikan aksi tak pantasnya lantas berlari ke kamar mandi demi menuntaskannya secara mandiri.
Marco berteriak- teriak di dalam sana, seolah marah, tapi juga berhasrat. Desahnya hingga ke telinga Allura yang bergeming menatap langit- langit apartemen.
Allura hanya mampu diam sedari lelaki itu melepaskannya. Allura yakin, Marco sengaja tak ingin menyentuhnya lebih lanjut karena kesetiaannya kepada Natalie.
Usai mandi, Marco berjalan keluar dari kamar mandi dengan belitan handuk di pinggang perkasanya. Sudah ada CD yang dikenakan, tapi tidak berniat memakai celananya.
Allura masih terbaring di sofa, dan Marco menjatuhkan tubuh di sisi wanita itu seraya menatap langit- langit yang sama. Keduanya sempat diam untuk beberapa menit.
"Bagaimana kabar mu?"
Marco ingin menanyakan itu sedari dulu. Kebetulan bertemu di sini, dan dia akan menuntaskan rasa penasarannya jika Allura mau menjawabnya.
"Biasa saja." Tak ada yang spesial dari hidup Allura, hanya tentang fotografi, kesuksesan, uang, dan cinta tidak jelasnya.
"Sudah bahagia kah?"
"Seperti yang kau terka." Allura lalu menatap Marco dari samping bahkan menyangga pipi dengan kepalan tangannya.
"Baguslah kau masih hidup. Karena sebentar lagi aku sukses. Dan kau harus menyaksikan ku memiliki usaha sendiri," cetus Marco.
"Dengan uang haram?"
Sontak, Marco melirik tajam. "Aku bekerja dengan giat untuk kaya, supaya kau dan keluarga mu menyesal pernah menolak ku! Dan sekarang kau bilang, uang haram?"
"Kalau usaha mu saja diawali dengan modal hasil dari pekerjaan gigolo, maka tidak akan pernah bisa dikatakan kau sukses!"
"Gigolo?" Marco meraih tangan Allura menyentuh dada polosnya. "Aku masih perjaka asal kau tahu! Kecuali kalau kau mau merusaknya sekarang juga!"
Allura tertawa meremehkan. "Lima juta per jam, lalu untuk apa kalau bukan untuk memuaskan Natalie yang hyper?"
"Aku hanya pacar bayarannya. Bukan gigolonya, paham?! ... Tante Natalie hanya meminta ku menjadi kekasih pura- puranya, seperti yang kau lakukan dulu!" jelas Marco.
Ah, terkadang heran, kenapa juga dia harus menerangkan. Seolah Allura ini istri atau tunangannya, padahal, Marco tidak ingin kembali menjalin hubungan jika mengingat keluarga materialistis Allura, sungguh.
Marco hanya penasaran, dan sekarang dia tahu kalau ternyata Allura masih hidup dengan kesombongannya. Kesombongan khas fotografer profesional Mahesa Bachtiar.
"Apa saja yang kalian lakukan selama menjadi kekasih bayaran?"
Bukankah dahulu Marco begitu romantis padanya? Bahkan sempat membelikan dress yang couple. Memasak setiap waktu makan, kala masih tinggal satu atap yang sama.
"Menjilat miliknya." Marco bicara asal karena dia tahu apa yang dipikirkan Allura. "Kau mau aku jilat juga hmm?"
Bukan anggukan, tapi tepukan yang mendarat di dada bidangnya. "Sakit, Allura! Kau suka sekali melakukan KDSM!"
"Kekerasan dalam status mantan!" Marco menimpali setelah Allura mengerut kening cukup dalam seolah bingung.
"Aku jijik dengan mu. Menjilat seseorang yang sudah berulang kali berganti pasangan!"
"Terserah kau, sekarang pulang!"
Marco bangkit, membetulkan handuk yang sempat lari dari pinggangnya. Meraih tangan Allura dan menariknya hingga ke pintu.
"Aku lapar."
Allura serius, Allura lapar, makanya dia sempat ke supermarket untuk membeli sesuatu yang bisa dimakan dengan instan, tapi hanya mendapat roti yang tidak enak.
"Buatkan aku makanan, aku akan membayarnya, tenang saja."
Marco terkekeh, lalu angkat tangan sebagai tanda dia menolaknya. "Maaf, kau bukan kekasih ku, Allura. Jadi sadari diri itu perlu, kau tidak boleh meminta macam- macam."
Allura mengernyit, lantas menatap sebelah tangan yang menunjuk pintu. "Silahkan keluar! Pintunya ada di sini jika kau bingung."
Allura menghela napas, dia juga tak paham kenapa tiba- tiba dia ingin sekali berlama lama berada di sisi pria ini. Mungkinkah, dia mulai merasakan nyaman seperti dahulu?
Sejatinya, Allura pernah tersiksa saat memutuskan untuk tidak lagi menemui pemuda gila ini. Namun, dia bertekad untuk tidak lagi berurusan, apa lagi saat itu, ia masih amat sangat mencintai Emmanuelle.
Allura melangkah gontai, benar- benar gontai tak bersemangat. Sampai, telinganya tiba di depan bibir berbisik Marco.
"Kecuali kalau kau mau menjadi kekasih ku lagi, setelah itu, akan aku turuti semua mau mu, termasuk menyerahkan seluruh yang ku punya, dari jiwa hingga raga."
Allura terkekeh, menatap Marco dari atas hingga bawah. Dia wanita independen, jadi apa yang dia lakukan harus sesuai dengan keinginannya sendiri, bukan kemauan orang lain.
Itulah kenapa, Allura tak mau menjauhi Emmanuellson tapi juga tidak menerima permintaan kembalinya, karena jujur saja, Allura lebih suka Emmanuellson tersiksa penyesalan di sisinya.
Setidaknya, biarkan Silviana merasakan apa yang dia rasakan dahulu. "Kau mau menduakan aku dengan Natalie? Kau gila?"
Marco mendorong Allura keluar, kemudian menutup pintu begitu saja. "Marco! Ya, Tuhan, apa kau tidak ingat kalau aku juga bisa masuk ke dalam lagi karena aku punya kuncinya?"
Marco membuka kembali pintu setelah sebelumnya mendengarkan suara teriakan Allura lewat monitor di pintunya. Apartemen ini kedap suara tapi masih bisa mendengar keadaan di luar jika dia mau.
"Jadi kau mau membuka pintu kamar ku secara diam- diam, lalu merenggut perjaka ku, juga secara diam- diam, begitu hmm?"
"Aku--"
"Jadi pacarku," ulang Marco, "atau ... tidak usah sok kenal dengan ku lagi!" putusnya.
Allura tidak suka tertekan. Lagi- lagi, dia ini wanita independen. "Tidak, terima kasih!"
"Baiklah," ucap Marco, "mulai sekarang, kita hanya tetangga, tidak boleh saling tegur sapa sekalipun itu tidak disengaja. Paham?"
"Okay ... Siapa takut?!"
Marco tersenyum miring, melangkah mendekati Allura dengan pelan dan sangat hati- hati sekali, hingga punggung Allura berakhir di permukaan pintu apartemen miliknya sendiri.
Marco menarik pinggul wanita itu, dan entah ada sihir apa, Allura diam saja ketika Marco menggigit lehernya, sehingga tampak jelas titik kemerahan di sana.
"Semoga Emmanuellsetan mu melihatnya."
Allura diam terpaku, meski Marco mundur dan menutup pintu. Dia hening, sampai suara Patricia menolehkan kepalanya. "All!"
"Aku pasti sudah gila!" Allura mendesah lantas masuk ke dalam apartemennya.
Patricia mengernyit heran. Kemudian masuk dan menutup pintu sebelum mengekori kaki mungil Allura hingga ke sofa. "Why?"
"Kau tidak lihat?" Allura mendongak seraya membuka kancing blouse putih longgarnya.
Seketika itu juga, Patricia menutup mulut yang ternganga lebar. Ada beberapa titik merah, dan salah satunya di dada Allura.
"Kau bermain dengan siapa? Emmanuelle?"
"Marco--"