Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Ronde Kedua
"Kau tidak panas mengenakan kaos turtleneck di cuaca panas begini?" tanya Dave padaku.
Tubuhnya menyender di belakang pintu menahan agar Carla tidak menerobos masuk. Salahnya sendiri membuka pintu dengan keadaan masih dililit handuk.
Spontan saja Carla mencecarnya dengan pertanyaan polos seperti; Papa kenapa pakek handuk? Baju papa mana? Mama juga sama? Oh, di mana mama? Cala mau ikut mandi boyeh?
Ingin dikunci tapi Carla meminta bantuan Maya untuk menahan pintunya. Ah, balita sekarang kenapa semakin pintar!
"Ini salah mu!" seruku sambil menekan dadanya dengan telunjukku.
"Tapi kamu suka kan, babe?" tanya Dave sambil memainkan alisnya.
"Cepat pakai baju sana!" seruku sambil mengganti posisi Dave menahan pintu.
Tidak sampai lima menit, suamiku yang tampan itu sudah mengenakan celana pendek selutut dengan warna abu tua dan kaos abu-abu muda lengan pendek yang sedikit longgar. Dia terlihat santai mengenakannya dan tampan.
"Seperti berkabung saja," ucapku saat melihat warna yang dikenakan oleh Dave.
"Aku menyesuaikan denganmu, babe," ujar Dave.
Haish! Lama-lama telingaku gatal dipanggil babe terus. Tunggu dulu! Dave bilang menyesuaikan denganku. Aku langsung melihat baju yang ku kenakan.
"Satu-satunya bajuku yang berkerah tinggi begini cuma warna hitam," aku menjelaskan dengan pelan.
Dave terkekeh. Entah apa yang membuatnya lucu tapi aku senang Dave terlihat berbeda hari ini. Semoga saja ke depannya akan terus seperti ini.
"Cepat buka pintunya! Aku tidak ingin diomeli oleh baby ku yang satu lagi," perintah Dave.
Aku menghindar dan membiarkan Dave membuka pintu.
"Lama cekali! Cala capek tungguin," ucapnya kesal.
Bibir mungilnya maju beberapa senti membuatku tidak tahan untuk mencubit geram bibirnya.
"Cakit mama! Cala lagi malah nih!" serunya lagi sambil melipat tangan.
"Maaf baby. Mama capek banget. Jadi bangunnya kesiangan," ucapku sambil meraih Carla ke dalam gendongan.
Baru saja aku menggendong Carla, Dave sudah mengambil alih.
"Carla udah sarapan?" tanya Dave sambil berjalan menuju ruang makan.
"Cudah. Cudah dua kali," jawabnya.
"Tumben sarapannya banyak banget," ucapku dari belakang.
"Makan pagi sama makan ciang, mama," jelas Carla.
"Hah! May, emangnya sekarang udah jam berapa?" aku spontan menahan Maya yang berjalan sedikit lebih cepat selangkah dariku.
Maya tertawa kecil lalu berkata, "Sudah jam setengah dua siang nyonya."
"Astaghfirullah. Kok bisa kebablasan begini!" seruku.
Dave seolah tak bersalah, dia berlenggang menuruni anak tangga hingga ke ruang makan. Suamiku itu memang benar sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya tapi over. Sampai-sampai membuatku bangun siang begini.
"Biasa nyonya. Namanya juga capek," ucap Maya sambil terkekeh.
Kalimatnya sangat ambigu. Mengingatkan aku benar capek gara-gara masalah semalam atau menggodaku karena capek yang lain. Awas saja, nanti akan ku beri suamiku itu pelajaran.
"Makanya tadi non Carla gedor-gedor kamar nyonya. Soalnya takut nyonya dan tuan kenapa-kenapa. Saya sudah bilang kalau tuan dan nyonya pasti capek jadi jangan diganggu! Ya, namanya anak kecil kan, nyah. Makin dilarang makin jadi," jelas Maya.
Tanpa terasa langkah kakiku telah memasuki ruang makan. Maya dengan cekatan mengambil alih Carla dari gendongan Dave dan aku mempersiapkan alat makan dan mengambil makanan untuk Dave.
Usai melayaninya, aku mengambil nasi beserta gengnya untukku sendiri. Sup ayam di saat makan siang tanpa sarapan sangat cocok untukku saat ini.
Aku menikmati makananku sesuap demi sesuap. Masakan mbok Darmi memang tidak kalah enaknya dengan masakan mama dan bi Ijah. Ketiga wanita ini sangat cocok jika aku kolaborasikan menjadi satu tim koki.
Carla sangat patuh. Melihat aku dan papanya hendak makan, gadis kecilku itu meminta Maya untuk membawanya ke ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan.
Makananku hampir habis saat ku lihat pak Ujang mondar-mandir di depan rumah. Bayangannya terlihat jelas melalui kaca jendela besar di samping pintu. Pasti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
Dave belum menyadari kehadiran pak Ujang karena posisinya duduk hampir sejajar dengan posisi pak Ujang berdiri. Kebetulan aku duduk berhadapan dengan jendela depan. Meski jaraknya cukup jauh tapi aku masih bisa melihat siluetnya.
Aku mempercepat makanku. Tak ingin berlama-lama menikmati makan siang yang dirapel dengan makan pagi.
"Dave! Kayaknya ada yang mau disampaikan sama pak Ujang," ucapku sambil menunjuk ke jendela depan dengan bibir.
Dave mengikuti arah bibirku lalu bangkit lebih dulu karena dia sudah selesai melaksanakan hajatnya.
Aku segera mengikuti Dave usai minum sedikit. Biasanya aku dan Dave mengistirahatkan perut kami setelah makan sekitar sepuluh hingga lima belas menit lalu minum air putih. Rasanya lebih nyaman. Karena ini darurat, aku minum sedikit saja.
"Ada apa pak?" tanya Dave sambil membuka pintu.
"Itu tuan. Para pengawal yang tuan maksud tadi malam sudah datang sekitar lima belas menit yang lalu," lapor pak Ujang.
"Hampir saya lupa," ucap Dave sambil melihat ke pos dari balik tubuh pak Ujang.
Namun, Dave tidak menemukan seorang pun yang dimaksud oleh pak Ujang.
"Kemana para pengawalnya, pak?" tanya Dave bingung.
"Itu dia masalahnya tuan," ucap pak Ujang.
"Mereka pulang?"
Pak Ujang menggeleng.
"Mereka pergi makan siang?"
Pak Ujang menggeleng lagi.
"Mereka tidak mau jadi pengawal?"
Lagi-lagi pak Ujang menjawab dengan gelengan.
Dave masih sabar menanti pak Ujang untuk menjelaskan.
"Terus kenapa pak?" tanyaku pada pak Ujang.
"Mereka pada ke lapangan komplek, nyah," ucap pak Ujang.
"Ngapain ke sana pak?" tanyaku lagi.
"Itu nyah ..."
Pak Ujang terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Itu kenapa pak?" tanya Dave dengan sabar.
Pak Ujang terlihat mengatur napas sebelum berbicara.
"Spanduk yang tadi malam di pajang di pagar rumah, di pajang lagi di lapangan komplek, tuan," ujar pak Ujang.
Pria paruh baya itu menghela napas lega setelah mengutarakan maksud hatinya.
"Jadi, para pengawal yang baru datang tadi pergi ke lapangan buat nurunin spanduk dan mengamankan keadaan, tuan," jelas pak Ujang.
Dave terlihat biasa saja. Sepertinya Dave sudah tahu akan terjadi hal seperti ini. Tentu saja. Dave sangat mengenal watak mantannya itu. Bolehkan aku menyebutnya mantan? Secara Dave sudah mengusir lelaki betina itu dari kehidupannya.
"Pak RT gimana, pak?" tanya Dave datar.
"Tadi pak RT datang. Terus saya katakan saja tuan masih istirahat gara-gara kejadian tadi malam. Saya juga sempat menjelaskan pada pak RT sesuai penjelasan tuan tadi malam," jelas pak Ujang.
"Saya bilang nanti kalau tuan sudah bangun, saya akan sampaikan pesan pak RT yang meminta tuan untuk ke rumahnya," timpal pak Ujang.
Dave tersenyum pada pak Ujang lalu berkata, "Terima kasih, pak."
"Sama-sama tuan."
"Ronde kedua ternyata nempel spanduk lagi di lapangan. Aku pikir dia akan menyerang rumah kedua orang tua kita dulu," ucapku pelan.
Aku tak habis pikir dengan kelakuan lelaki betina itu tapi aku juga salut karena urat malunya sudah putus.