Ditindas dan dibully, itu tak berlaku untuk Cinderella satu ini. Namanya Lisa. Tinggal bersama ibu dan saudara tirinya, tak membuat Lisa menjadi lemah dan penakut. Berbanding terbalik dengan kisah hidup Cinderella di masa lalu, dia menjelma menjadi gadis bar-bar dan tak pernah takut melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh keluarga tirinya.
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anim_Goh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling Curiga
Sepeninggal Hanum dan ibunya, Lisa banyak melamun. Tubuhnya tetap bekerja, tapi pikirannya berada di tempat lain. Bohong besar kalau dia tak khawatir dengan ancaman yang dikatakan oleh ibu tirinya. Sebagai gadis muda, jelas Lisa merasakan takut. Apalagi luka di tubuhnya belum sembuh. Entah akan sesakit apa nanti saat kedua penyihir itu kembali melakukan penyiksaan.
Tes
Tanpa sadar cairan bening menetes keluar dari sudut mata Lisa. Dan hal ini membuatnya tersentak kaget. Lisa kemudian buru-buru mencuci wajah karena takut ketahuan sedang menangis.
"Huh, dua bulan kenapa rasanya lama sekali ya. Aku sudah tidak sabar ingin tinggal sendiri dan bekerja tanpa ada tekanan," gumam Lisa sambil menyandar di pintu kamar mandi. Dia membiarkan wajahnya tetap basah.
Puk
"Keringkan wajahmu dengan cepat. Itu membuatku merasa jijik." Lionel membuang muka setelah melemparkan tisu ke wajah Lisa. Entah angin mana yang membawanya kemari dan malah tak sengaja menemukan gadis itu yang sedang menangis. Heran, tapi terlalu aneh untuk dipertanyakan.
"Tuan, apa kakimu tidak menapak lantai?"
"Maksudnya?"
"Aku tidak mendengar suara langkah kakimu saat datang ke sini. Tiba-tiba saja muncul dan memberikan tisu padaku. Baik sekali,"
Agak speechless saat Lisa berterima kasih. Lionel kemudian menghela napas panjang.
"Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada hidupmu. Tetapi karena sekarang kau bekerja di rumahku, mau tidak mau keselamatanmu menjadi tanggung jawabku." Jeda sesaat. Lionel melirik Lisa yang seperti tidak mendengarkan ucapannya. "Kau dengar aku tidak?"
Lisa mengangguk. Tangannya masih sibuk mengelap air di wajah. "Tadi katanya kau merasa jijik melihat wajahku yang basah. Kenapa sekarang protes lagi?"
"Ekhmmm!"
"Iya iya maaf. Aku mendengarkan kok."
"Sudahlah, aku sudah tidak mood bicara lagi denganmu. Terserah kau celaka atau tidak. Aku tidak peduli."
Setelah berkata demikian Lionel pergi meninggalkan Lisa. Dia bersungut-sungut tanpa sebab.
"Tuan, ada apa? Apa pelayan itu membuat masalah lagi?"
Richard yang baru saja kembali dari luar, langsung mencurigai Lisa saat berpapasan dengan bosnya yang terlihat kesal. Entah ulah apalagi yang dilakukan oleh gadis itu, menambah beban pekerjaan saja.
"Dia menangis."
"Menangis?"
"Aku jijik melihatnya." Agak aneh saat Lionel bicara seperti itu pada Richard. Terkesan seperti sedang mengkhawatirkan gadis pemberontak itu, tapi gengsi mengakui. "Jangan salah paham. Aku hanya tak suka ada kesedihan di rumah ini. Cukup aku yang merasakan, tidak dengan orang lain."
"Termasuk Lisa?"
"Dia sudah terlanjur menjadi bagian dari rumah ini. Jangan lupa kalau aku paling tidak mau lepas tanggung jawab terhadap keselamatan orang di sekelilingku. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Kau tahu itu."
Lionel kembali diterpa rasa bersalah saat kejadian enam tahun lalu membayang di pelupuk mata. Andai malam itu dia memilih untuk langsung menolong korban, hidupnya pasti tidak akan menjadi segelap sekarang. Dia tak berdaya.
"Tuan, saya mengerti perasaan anda. Tetapi, jika kehadiran Lisa membuat anda semakin sering mengingat kejadian itu, saya akan segera mencari pelayan yang baru. Lagipula saya juga kurang menyukai caranya ketika sedang bicara dengan anda dan Nyonya Kinara. Lisa seperti tidak mempunyai sopan santun," ucap Richard memberi saran untuk mengganti pelayan yang baru.
"Dia yatim piatu. Hal yang wajar jika kurang mendapat pendidikan tata krama yang benar."
"Anda mentolerir kekurangannya?"
Glukk
Lionel langsung menelan ludah. Benarkah dia mentolerir kekurangan seorang Lisa? Siapa gadis itu sehingga mampu membuatnya bermurah hati membiarkannya?
"Richard, kenapa aku merasa kau tidak menginginkan Lisa tetap berada di rumah ini? Ada apa? Kau punya masalah pribadi dengannya?"
Kinara yang tak sengaja mendengar percakapan Lionel dengan Richard, memutuskan untuk menimbrung saat merasa kalau perkataan Richard bisa mempengaruhi pikiran Lionel. Dia lalu menatap pria yang adalah sopir keluarganya dengan lekat. "Ada apa, hm? Apa kau mengenal sosok gadis itu sebelum dipekerjakan di rumah ini?"
"Tidak, Nyonya. Saya sama sekali tidak mengenal siapa Lisa," jawab Richard sedikit gugup.
"Yakin tidak mengenalnya?"
"Sangat yakin, Nyonya. Lisa bisa bekerja di sini atas rekomendasi kekasih saya. Jika tidak percaya, anda bisa langsung menyelidikinya."
"Pergilah. Aku ingin bicara empat mata dengan putraku."
"Baiklah, saya permisi."
Tatapan Kinara terus mengikuti pergerakan Richard. Setelah Richard benar-benar menghilang dari pandangan, barulah dia menghampiri Lionel. Kinara lalu membimbingnya untuk duduk di sofa.
"Leon, ada apa? Ibu perhatikan sikapmu sedikit berbeda terhadap Lisa. Kau tidak nyaman dengan kehadirannya apa bagaimana?" tanya Kinara dengan lembut. Putranya terlihat sehat dari luar, tapi sebenarnya sakit. Beban mental yang ditanggungnya tidak main-main.
"Bukan seperti itu, Bu. Aku ... aku merasa aneh dengan gadis itu." Sedikit tergagap saat Lionel menjawab. Lidahnya seperti kelu, tapi ada desakan untuk tetap jujur.
"Aneh? Aneh kenapa?"
"Gadis itu seperti mempunyai magnet yang bisa menarikku ke suatu keadaan. Rasa ingin menebus kesalahan, ingin melindungi, ingin tahu apa yang terjadi padanya, begitu besar ku rasa hingga mengusik pikiran dan waktu malamku. Ini sangat aneh, Bu. Diam-diam aku selalu memperhatikan gadis itu."
Pengakuan Lionel membuat Kinara terhenyak kaget. Sampai sedalam ini dampak yang diberikan Lisa pada putranya? Tapi kenapa? Apa sebab semua itu bisa terjadi?
"Bu, apa mentalku sudah sangat buruk? Aku ... aku sungguh tidak tahu kenapa bisa tiba-tiba begini. Lisa ... dia siapa sebenarnya?" tanya Lionel gelisah. Pertanyaan yang sudah sejak semalam ingin dia utarakan, tapi tak tahu pada siapa.
"Nak, kau harus yakin mentalmu baik-baik saja. Kau tidak boleh sampai terpengaruh dan kembali lagi seperti enam tahun yang lalu. Ingat Lionel, kau adalah satu-satunya penerus di keluarga Bellin. Kau harus sembuh dan kembali mengelola apa yang sudah seharusnya menjadi milikmu. Oke?"
Lisa yang hendak membersihkan bagian depan, dengan santai berjalan melewati pasangan ibu dan anak yang sedang dilanda kepedihan. Sambil bersenandung kecil, dia melangkah pelan sebelum dikejutkan oleh sebuah suara.
"Harusnya kau bekerja menggunakan matamu juga. Bersikaplah yang sopan!" tegur Richard seraya menatap sinis pada Lisa. Niatnya untuk menguping pembicaraan Tuan Lionel dan Nyonya Kinara menjadi pupus gara-gara kemunculan gadis ini.
"Tuan, kau ini kenapa sebenarnya. Sejak aku bekerja di sini, kau terus saja menunjukkan sikap permusuhan denganku. Ada apa?" tanya Lisa to the point. Entah ini hanya perasaannya saja atau bagaimana, dia merasa pria yang bekerja sebagai sopir keluarga Bellin seperti menyembunyikan sesuatu. Dan yang membuatnya semakin curiga adalah saat Hanum dan ibunya datang kemari, pria ini lenyap bak ditelan bumi. Gara-gara hal inilah dia sampai harus membukakan pintu gerbang untuk kedua penyihir itu.
Alih-alih menjawab, Richard malah melenggang pergi dari hadapan Lisa. Dia enggan bicara terlalu lama dengannya.
"Dasar orang aneh. Tapi kenapa aku merasa dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu ya? Ah masa bodolah, tugasku di sini hanya untuk beres-beres rumah. Lebih baik aku pikirkan cara untuk menghindari hukuman para penyihir itu saja daripada memikirkan sesuatu yang tidak ada urusannya denganku," ujar Lisa sesaat sebelum melanjutkan pekerjaan. Tubuh boleh saja luka dan kelelahan, tapi semangat tak boleh padam.
***
Apa kau adalah saudara tirinya Lionel?
lisa adalah definisi pasrah yang sebenernya. udah gk takut mati lagi gara2 idup sengsara