NovelToon NovelToon
Battle Scars

Battle Scars

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?

Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.

vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suara Pertama

"Berikan Nona Balqis pada kita dan kalian bisa ambil uang ini sebagai tebusan,"

Arsalan tetap menggelengkan kepalanya. Dia menolak penawaran kelima pria di depannya yang menginginkan Balqis.

Padahal ini masih pagi, tapi kelima pria di depannya sudah menghancurkan moodnya dengan cara mengiming-imingi uang. Tapi untung saja tidak ada keributan di antara mereka yang membuat para santri terganggu mengaji.

"Pak, sebaiknya kalian ambil kembali uang ini, kita tidak membutuhkannya. Dan kita tidak akan menyerahkan Balqis pada kalian," ujar Zaigham.

"Berapa yang kalian inginkan? Kita akan memberikannya. Kita hanya menginginkan Nona Balqis. Hanya itu," sahut salah satu dari mereka yang bernama Bagus.

"Balqis itu amanah dari Hans pada kami. Kita harus menjaganya sebaik mungkin. Kita tidak bisa memberikannya pada kalian." tegas Arsalan.

Kelima pria itu tidak mendengarkan penjelasan Arsalan sejak tadi. Mereka malah terus mengeluarkan uang yang semakin menumpuk di atas koper kecil.

"Kita tidak ingin penjelasan apa pun. Kedatangan kita ke sini untuk membawa Nona Balqis pulang bersama," ujar Bagus. "Kita sudah lelah mengejarnya waktu itu. Jadi saya mohon serahkan Nona Balqis pada kita agar urusan selesai,"

Arsalan tetap menggelengkan kepalanya. Dia beribu-ribu menolak keinginan mereka untuk membawa Balqis. "Pergilah kalian dari sini. Saya tidak ingin ketenangan santri terganggu dengan kehadiran kalian. Dan saya juga tau kalian yang sudah mencelakai Balqis waktu hari itu kan? Jangan sampai saya bawa kasus itu ke pihak yang berwajib, saya sudah menyimpan bukti kejadianya maupun hasil visumnya..." sergah Arsalan mengancam.

"Untuk itu kami benar-benar tidak sengaja, karena Nona Balqis terus melawan kami pada waktu itu..."

"Pergi dari sini sekarang juga!" ucap Arsalan dengan tegas.

Bagus memerintah anak buahnya mengeluarkan uang lagi. "Simpan uang ini. Siapa tahu kalian berubah pikiran,"

"Kami tidak akan pernah berubah pikiran. Ambil uang kalian dan segera pergi dari sini," sahut Zaigham.

"Dan untuk dia!?" Bagus menunjuk Alditra yang sejak tadi tangannya mengepal. "Jangan pernah dekat-dekat dengan Nona Balqis. Dia nona tuan Kami. Bila kamu mendekatinya, kita tidak akan segan-segan melakukan sesuatu padamu."

"Jangan bawa-bawa putra saya." tegas Arsalan. "Lebih baik kalian pergi sekarang."

Bagus beranjak dari duduknya. Mereka pergi meninggalkan uang yang nominalnya ratusan juta. Pikiran mereka begitu optimistis bahwa Arsalan akan berubah pikiran mengambil uang itu dan menyerahkan Balqis.

"Bagaimana ini, Bos? Aku tidak sanggup bila harus kena marah tuan lagi karena kita kembali dengan tangan kosong,"

"Kalian tenang saja. Biar aku yang berhadapan dengan tuan. Dia pasti mengerti dengan cara kita yang meninggalkan uang itu,"

"Kenapa waktu itu kita harus kehilangan Nona Balqis? Bila kita berhasil menangkapnya kita tidak akan repot seperti ini,"

"Perempuan itu sangat cerdik dan kuat, wajar saja bila susah didapatkan."

***

Di ruang tamu.

Zaigham menatap tumpukan uang di atas meja. Semuanya berwarna merah tertata rapih. Mungkin untuk sebagian orang tidak akan berpikir panjang mengenai tawaran, namun berbeda lagi dengannya beserta keluarga.

"Akan diapakan uang ini, Aby?" tanya Azizah.

"Bereskan saja. Dan simpan di tempat yang aman. Aby tidak ingin para santri melihat uang itu," jawab Arsalan yang kemudian berkutat dengan ponsel. Dia akan menghubungi Hans untuk menyampaikan berita barusan.

Drrrtt

Drrrttt

Di saat Arsalan sibuk menelpon, Azizah dan Zaigham membereskan uang itu dengan tangan gemeteran. Ini untuk pertama kalinya mereka menyentuh uang sebanyak itu.

"Assalamu'alaikum, Hans?"

Arsalan tersenyum saat panggilan telpon terhubung. Dia pun langsung menceritakan kejadian barusan agar Hans tahu bahwa orang-orang itu sudah mengetahui keberadaan Balqis.

[Kamu tenang saja, Ar. Setelah selesai tugas pengawalan ini, aku akan menjemput Balqis,]

"Kenapa harus dijemput? Biarkan saja Balqis belajar di sini,"

[Tadinya ingin seperti itu. Tapi aku juga ingin mendiskusikan sesuatu untuk masa depannya Balqis, kamu tau organisasi yang aku emban kan? Mereka sangat menginginkan Balqis untuk meneruskannya. Mereka sudah tau kemampuan Balqis.]

[Tapi Hans, sangat disayangkan kalau Balqis kalau harus masuk kesana...]

[Aku tau, Ar... Sebisa mungkin aku juga menentang putriku masuk kesana... Tapi ini semua kembali lagi pada Balqis sendiri, makanya aku mau membicarakan ini dengannya... ]

Arsalan mengangguk.

Terlihat wajah kecewa Arsalan ketika mendengar perkataan dan rencana Hans untuk Balqis.

Padahal Arsalan sangat ingin Balqis menjadi santri sampai dia bisa dalam segala hal, apalagi sekarang dia terlihat aktif dalam belajar.

[Ar, aku titip Balqis untuk beberapa waktu lagi,]

"Baik. Aku akan menjaganya di sini, Hans. Semoga urusan yang tengah kamu hadapi cepat selesai,"

[Aamiin.]

Panggilan pun terputus. Arsalan meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menatap tumpukan uang itu yang tidak cukup dimasukkan ke koper.

(Bagaimana, Aby? Apa yang dikatakan pak Hans?) tanya Alditra dengan isyarat.

"Dia akan menjemput Balqis setelah urusannya selesai. Hans hanya memiliki Balqis satu-satunya, dan Organisasinya menginginkan Balqis untuk meneruskannya karena mereka sudah tau kemampuan Balqis.. Makanya mereka tidak ingin melepaskannya begitu saja...." jawab Arsalan.

Alditra yang mendengarnya terdiam. Dia ikut kecewa mendengar keinginan Hans.

"Balqis pewaris tunggal di keluarga Hans. Kita tidak bisa mencegahnya." ucap Arsalan.

"Padahal aku ingin Balqis tetap tinggal," ujar Azizah. "Meskipun dia belum kelihatan serius belajar, tapi dia rajin mengikuti pengajian,"

"Iya, mau bagaimana lagi? Kehidupan Balqis berbeda dengan santri lain. Dia mempunyai masa yang besar sebagai penerus Organisasi nantinya," sahut Zaigham.

Arsalan mengangguk. Kemudian beranjak masuk ke kamar disusul Fatimah dari belakang.

"Kita simpan uangnya di kamar sebelah." Zaigham dan Azizah mengambil uang itu. Mereka berlalu pergi untuk menyimpannya.

Kini di ruang tamu hanya tersisa Alditra seorang diri. Dia beberapa kali menghela nafasnya. Kemudian merentangkan kedua kakinya yang terasa ringan. Kakinya hampir normal kembali. Dia hanya perlu melakukan beberapa terapi lagi agar bisa berdiri.

"Hah... Saya harus semangat menjalani pengobatan ini. Saya yakin bisa sembuh seperti sedia kala." batinnya.

Alditra memutar roda kursinya. Dia memilih keluar rumah untuk menghirup udara segar. Detik kemudian, senyumannya menyungging tipis setelah roda terhenti.

Dia menatap matahari yang mulai terbit. Bukan tersenyum karena matahari, melainkan tersenyum melihat sesosok yang lebih indah pagi ini tersorot cahaya matahari.

Entah apa yang dirasakan Alditra pagi ini, tapi hatinya menghangat melihatnya. Apalagi senyuman dan tawa yang tidak pernah luntur dari bibirnya memberikan keindahan yang luar biasa.

"Astaghfirullah!"

Alditra mengusap wajahnya dengan kasar. Dia terus beristighfar karena sudah lancang menatap lawan jenis yang tidak halal untuknya.

"Ya Rabb!"

Tangan Alditra kembali terulur. Dia memutar roda kursinya meninggalkan teras rumah menuju belakang. Dia tidak ingin pikirannya kembali berkecamuk saat melihat Balqis.

Iya, orang itu adalah Balqis. Indah seperti matahari pagi ini. Ceria seperti burung yang beterbangan ke sana sini. Dia selalu bahagia yang berpadu dengan sifat menyebalkan.

Meskipun seperti itu, dia tetap dirindukan.

Helaan nafas berat terus berulang kali dilakukan Alditra sambil menatap kakinya.

Tangannya terulur memegang lehernya.

Ingin sekali dia bisa mengeluarkan suara meskipun satu kata. Tapi rasanya terasa tercekat di tenggorokan. Sakit, itulah kata yang bisa dirasakannya.

Rasanya sangat sulit untuknya kembali normal seperti dulu. Dia menginginkan kesembuhan agar bisa berjalan lagi, agar bisa melakukan operasi lagi.

Namun semua sirna dan berubah menjadi harapan serta do'a paling kuat, karena sudah beberapa tahun ini dia belum kunjung sembuh.

Tuk!

Lamunan Alditra buyar seketika. Dia menatap batu kecil yang barusan mengenai lengannya. Dia pun mengedarkan pandangannya mencari pelaku yang sudah berani melemparnya.

Degh!

Jantungnya seakan-akan berdebar kencang. Nadinya seakan-akan terputus. Matanya membulat melihat Balqis cengengesan sambil bersembunyi beberapa meter darinya.

"Apa yang dilakukan perempuan itu?"

Balqis melambaikan tangannya sebelum benar-benar bersembunyi di antara bunga yang tumbuh rindang. Ia tengah mengerjai Badriah karena tidak ingin mengaji.

"Ke mana dia?"

Alditra celingukan seorang diri. Detik kemudian, dia disuguhkan drama dadakan di depannya.

"Balqis, kamu ini ya!"

Mata Alditra masih memperhatikan. Dia melihat Balqis ketahuan bersembunyi, kemudian dibawa pergi oleh Badriah sambil dijewer kupingnya.

Drama dadakan itu, membuat Alditra tersenyum. Apalagi saat Balqis yang sempat-sempatnya melambaikan tangan padanya agar tidak melihatnya dijewer terlihat menggemaskan.

"Dia itu kenapa sih, ada aja tingkahnya."

*****

"Balqis!"

Balqis memutar matanya malas. Dia merasa kesal karena Badriah menarik telinganya di depan Alditra yang di mana dia harus menjaga imejnya.

"Bersihkan! Kamu sudah membuat madrasah kacau,"

Balqis beranjak dengan lemas, kemudian mengambil sapu yang sudah dipegang Nuri.

"Ck... Kalian tuh emang nyebelin!"

"Suruh siapa kamu mengacak-ngacak madrasah sampai sampah kertas ada di mana-mana," sahut Badriah.

Balqis memilih diam. Dia mulai menyapu sebisa mungkin. Kemudian berhenti di salah satu kaligrafi yang dipajang. Matanya berbinar melihat hasil kaligrafi itu.

"It's Beautiful!" gumamnya kemudian tangannya terulur mengusap kaligrafi yang dilapisi kaca. "Gue juga pengen pandai buat kayak gini. Tapi sayang, gue nggak becus dalam segala hal."

"Balqis!"

Lamunannya yang meratapi dirinya seketika buyar. Dia kembali menyapu sampai selesai. Kali ini hasilnya bersih tidak acak-acakkan seperti dulu.

"Qis, nanti bila sudah langsung ke kobong ya! Kita makan bersama-sama."

Balqis mengangguk. Matanya juga masih memperhatikan Melodi yang hilang di balik tembok.

"Hah... udah berapa bulan ya, gue di sini? Kayaknya nggak ada perubahan sama sekali selain bisa ngapalin 3 doa-doa sama 3 surat."

Sambil mengetuk-ngetuk dagu, dia mengulang ingatannya yang memang benar hanya hapal 6 dari keseluruhan.

"Emang payah banget sih gue tuh!"

Tidak mau ambil pusing, Balqis kembali menyapu teras madrasah. Kemudian menyimpan sapu di pojokan setelah selesai.

Bukannya langsung pergi ke kobong, Balqis malah membelokkan kakinya menuju Alditra yang pagi ini cerah seperti embun pagi.

"Met pagi!"

Balqis tersenyum sambil memperhatikan Alditra yang tengah menutup laptopnya. Dia tahu laki-laki itu tidak akan menoleh padanya seperti biasa.

"Lagi ngapain sih, Om Gus?"

Alditra menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Dia juga membuka seperti dokumen penting.

"Om Gus!"

Balqis yang merasa diabaikan akhirnya berteriak. Kemudian mengambil dokumen itu dan menyembunyikannya di belakang.

"Balas dulu ucapan selamat pagi gue. Cepet iih!"

Alditra menghela nafasnya. "Selamat pagi kembali!"

Degh!

Mata Balqis membulat sempurna. Dia terkejut sampai dokumen yang dipegangnya terjatuh. Ini untuk pertama kalinya dia mendengar suara lembut dan asing itu. "Om Gus!"

Bukan hanya Balqis yang terkejut, Alditra sendiri terkejut sampai memegang lehernya. Dia tidak merasa kesakitan saat mengeluarkan tiga kata itu. Rasanya seperti mengalir bebas begitu saja dari kerongkongannya.

"Om, lo---- "

Alditra kembali mencoba bicara, namun semuanya berbeda. Tenggorokannya kembali sakit.

"Astaghfirullah!"

Balqis yang melihat Alditra kesakitan langsung berlari, dia mengambil air minum yang sudah disediakan di lingkungan pesantren.

"Oh Shit!!! Nggak ada gelas pula."

Dia yang panik melihat Alditra kini terbatuk-batuk segera mencari ide. Pada akhirnya dia pun mengambil daun kopi dan melipatnya, dia memakai daun itu untuk menampung air. Meskipun sedikit tapi itu bisa membuat tenggorokan Alditra lega.

"Cepetan diminum!"

Alditra hanya patuh saja. Setelah air itu mengalir di tenggorokannya dia merasa lega karena rasa sakit kini membaik.

"Om... Om Gus, baik-baik aja kan?" Balqis terlihat sangat cemas.

Alditra mengangguk lemas.

"Jangan maksa ngomong soalnya itu pasti sakit banget."

Alditra hanya mengangguk saja. Dia terlihat lemas karena tenggorokannya seperti porak-parik.

"Om Gus, suaranya asing banget deh di telinga gue!"

Dengan lemas Alditra menoleh. Kini Balqis menjadi orang pertama yang mendengar suaranya lagi. Meskipun akhirnya dia kembali kesakitan.

"Om Gus, mungkin nggak sih suara lo bakalan keluar kalo semua badan lo, pikiran lo merasa rileks? Jadi kayak bebas nggak ada tekanan gitu loh."

Alditra menggelengkan kepalanya pelan. Dia pernah melakukannya, namun hasilnya sama. Mungkin barusan awal dari kesembuhan pita suaranya.

"Hmmm. Ya.. Kalo gitu gue juga nggak tau. Tapi tenang aja Om Gus pasti bakalan sembuh kok."

Balqis mondar-mandir seperti setrikaan. Dia seperti orang berpikir saja. Padahal dia sendiri tidak memikirkan apa-apa. "Om Gus, Lo tau nggak?"

Alditra menoleh. Tangannya juga memijit kepalanya yang terasa pening. Detik kemudian, kepalanya serasa berat dan menjadi gelap.

"Om... Om Gus! Om..."

Balqis dibuat sangat panik saat melihat Alditra pingsan di kursi rodanya. Dia pun berlari mencari pertolongan. Tidak lama dari itu, Zaigham menghampiri disusul yang lain. Mereka juga langsung membawa Alditra ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya. Balqis yang menyaksikan hanya diam. Apalagi saat mobil menjauh membawa Alditra, ingin sekali dia ikut namun tidak bisa.

"Semoga Om Gus baik-baik aja, ya!"

"Aamiin."

Santri yang awalnya berkerumun kini bubar. Termasuk Balqis yang mengikuti Melodi ke kobong. Perasaannya tidak karuan, dia ingin memastikan Alditra baik-baik saja.

***

Jam menunjukkan pukul setelah 5 sore. Semua santri masih sibuk mengaji di kelasan masing-masing. Begitu pula dengan Balqis yang masih menghadap Maryam.

Dia tengah menyetorkan hapalan surahnya yang ke-empat, yaitu surah Al-lahab. Meskipun tidak selancar orang lain, tapi dia terlihat berusaha mengingatnya dan membacakannya.

"Alhamdulillah. Sekarang Balqis ada kemajuan."

Balqis mengangguk senang. Kemudian kembali ke tempat duduknya sambil menatap nilai 80 di buku. Sejauh ini dia belum pernah mendapatkan nilai 100 dari mengisi tugas atau apa pun. Nilainya hanya mentok di 80.

Meskipun menurut yang lain kecil, tapi untuk Balqis itu besar karena ini pertama kalinya dia mendapatkan nilai hasil sendiri dalam sejarah kehidupannya.

"Gus Alditra sudah pulang."

Balqis menoleh ke arah yang lain. Mereka tengah berbisik membicarakan kepulangan Alditra. Dia yang penasaran dengan kondisinya segera beranjak meminta izin ke toilet.

Setelah mendapatkan izin, Balqis segera berlari. Senyumannya mengembang saat melihat Alditra duduk di kursi rodanya. Namun ada yang berbeda darinya. Terlihat perban putih melingkar di lehernya.

Apa suaranya tadi emang fatal ya? Sampe lehernya diperban gitu?

Balqis diam mematung dari kejauhan. Dia merasa kasihan terhadap Alditra yang semakin parah.

Harusnya gue nggak minta dia balas ucapan selamat pagi tadi.. Kalo aja dia nggak jawab mungkin lehernya bakalan baik-baik aja.

Sambil merenung Balqis menghela nafasnya. Dia merasa bersalah atas kejadian tadi pagi. Tapi dia sendiri mengakui bila suara Alditra sangat lembut dan asing untuk didengar.

"Assalamu'alaikum, Balqis?"

Degh!

Balqis yang tengah menunduk membulatkan matanya saat mendengar suara lembut itu terdengar lagi. Dia pun segera mendongak.

"Om Gus, Kok?"

Alditra mengangguk. Kemudian mengeluarkan tulisannya di buku.

(Saya memang sudah dapat bicara. Tapi nggak bisa sering. Hanya satu, dua, tiga kata.)

Senyuman Balqis merekah. Kabar yang didapatkannya sangat mengembirakan.

"Alhamdulillah, seneng deh dengernya...!"

Alditra kembali mengangguk.

(Saya pergi dulu,)

"O--Ok!"

Balqis mempersilahkan Alditra pergi. Padahal masih banyak yang ingin dia tanyakan padanya. Namun untuk saat ini dia tahu dia harus istirahat untuk memulihkan suaranya.

"Laaah... Kalo Om Gus bisa ngomong, berarti gue bakalan dengar secara langsung dong kalo dia nolak gue?! Haiisss!!!"

Balqis menepuk jidatnya. Kembali suara Alditra bukanlah hal yang bagus, melainkan hal yang akan paling melukai hatinya kelak.

"Ck... Gue belum siap kalo harus ditolak sama dia. Kemaren aja belum ngungkapin udah ditolak duluan. Apalagi sekarang, pasti bakalan blak-blakan."

Balqis dibuat uring-uringan karena sangat kebingungan. Padahal dia sendiri belum mengetahui jawaban fakta dari Alditra.

*****

Kembalinya bisa bicara Alditra sudah tersebar di seluruh pesantren. Mereka ikut bahagia mendengarnya, karena itu tandanya sang jawara akan turun tangan kembali.

Iya, untuk sebagian santri senior yang mondok paling lama dan tahu siapa Alditra? Mereka sangat bahagia karena tahu siapa dirinya sebenarnya yang tersimpan dibalik ketidak bisaan berjalan dan bicara.

Namun untuk mereka yang baru dan tahu Alditra duduk di kursi roda, hanya tahu dia tidak bisa apa-apa karena keterbatasan. Tapi berbeda lagi dengan santri senior.

"Kalau Gus Alditra bisa bicara, pasti dia akan keliling dunia lagi, belum aktip lagi di rumah sakit. Gus Alditra kan sangat menyulai profesinya sebagai Dokter Ahli Bedah Konsultan."

"Iya, benar itu. Apalagi kepintarannya sangat luar biasa,"

Balqis yang tengah mengucek cuciannya memasang telinga tajam, dia begitu penasaran dengan cerita mereka tentang Alditra. Apalagi laki-laki itu tidak terlalu dikenalnya dan tidak hanya itu, dia juga tidak tahu apa yang membuat Alditra tidak bisa berjalan.

"Bila Gus Alditra sudah bicara, berarti tinggal penyembuhan kakinya,"

"Alhamdulillah, proses penyembuhannya sekarang membuahkan hasil."

"Bila Gus Alditra sudah benar-benar sembuh total, aku tidak yakin akan mengenalnya lagi. Apalagi kita sendiri tahu siapa dirinya sebelum sakit?"

"Iya. Jangankan kita, orang-orang di seluruh dunia saja tahu siapa dirinya. Hanya saja kemarin dia sakit sampai orang-orang lupa pada sesosok dirinya,"

"Ustadzah, benar sekali. Dan mungkin dari santriwati hanya ada beberapa yang tahu tentang dirinya, karena sekarang kebanyakan santriwati baru yang tahu Gus Alditra sudah sakit,"

"Lebih baik mereka tidak tahu. Karena pas tahu siapa dirinya pasti terkejut."

Tangan Balqis terhenti. Dia mencerna baik obrolan ketiga Ustadzah di dekatnya. Orang-orang yang sudah terbilang senior karena sudah lama mengabdi.

Balqis pun segera menyelesaikan cuciannya. Rasa penasaran semakin menggebu di dalam hatinya. Dia ingin segera bertemu dengan Melodi untuk menanyakan tentang Alditra, karena siapa tahu dia juga mengetahuinya.

Setelah beberapa menit, mencuci baju sudah selesai. Balqis langsung menghampiri Melodi yang tengah menyapu Mesjid untuk dipakai pengajian ibu-ibu nanti.

"Balqis!"

Tap!

Langkah Balqis terhenti, dia menghampiri Azizah yang melambaikan tangan sambil memanggilnya.

"Iya, kenapa, Teh?"

"Bantu Teteh bungkus makanan untuk dibagikan pada jama'ah nanti ya..."

Balqis dibuat bimbang. Dia ingin cepat-cepat menghampiri Melodi, namun entah kenapa dia merasa sungkan bila menolak tawaran Azizah.

"Bagaimana?"

"Eh, iya... Ok, Teh!"

Pada akhirnya Balqis masuk ke dalam. Dia memilih membantu Azizah membungkus makanan dari berbagai rasa. Dengan hati-hati dia menata makanan itu, kemudian memasukkannya ke dalam plastik yang sudah diisi nasi dan buah-buahan.

Balqis melakukannya dengan gesit dan cepat. Dia juga tidak banyak bicara seperti biasanya. Tentunya hal itu membuat Azizah, Zaigham dan Maryam kebingungan dengan sikapnya yang berbeda.

Apalagi bila membantu dia spasti sering mengutamakan perutnya diisi ketimbang menata. Seperti waktu membantu menata kue pernikahan Gus Miftah, dia malah sibuk mencicipi sampai kenyang.

"Al, setelah kamu bisa bicara seperti ini. Apa kamu akan melanjutkan bekerja lagi di rumah sakit dan mencari ilmu ke luar negeri lagi? Bagaimana kalau kamu bekerja di rumah sakit yang ada di Kairo saja? kamu bisa bersama dengan Annisa. Menata masa depan bersama-sama," ujar Fatimah.

Tangan Balqis terhenti. Dia menoleh melihat Alditra yang tengah menutup buku, kemudian balik meliriknya yang diam-diam memperhatikan.

Degh!

1
sukronbersya'i
mantap seru, gan , jgn lupa mampir juga ya
Tara
wah...dasar preman Yach😅😂
Tara
hope happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!