menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Perjalanan kami pun berlanjut. Kelelahan mulai terasa, tetapi semangat kami tetap membara. Kami mendaki lebih jauh dan mulai menjelajahi keindahan alam yang menakjubkan di sekitar Gunung Lawu. Namun, ketegangan dalam perjalanan malam itu masih membekas di pikiranku.
Di pos ketiga, kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Setelah mengisi perut dengan camilan, Bimo tiba-tiba berdiri dan berkata, “Eh, aku mau ke belakang sebentar. Mau lihat pemandangan.”
“Jangan jauh-jauh ya, Bimo!” Tiara memperingatkan dengan nada lembut.
Bimo mengangguk dan melangkah pergi ke arah pepohonan yang lebih lebat. Tak lama kemudian, aku dan yang lain kembali bercanda, melupakan sejenak rasa lelah. Namun, setelah beberapa menit, kami menyadari bahwa Bimo belum kembali.
“Bimo lama banget, ya? Dia ke mana?” tanya Maya sambil melihat ke arah yang sama.
“Kayaknya dia bercanda lagi. Biarin aja,” jawab Aji dengan santai, tetapi aku mulai merasa cemas.
“Eh, kita harus cari dia deh. Jangan sampai dia tersesat,” ujar Rani, wajahnya mulai terlihat serius.
Setelah menunggu beberapa menit yang terasa seperti selamanya, akhirnya aku pun berdiri. “Oke, kita cari Bimo. Jangan-jangan dia udah tersesat.”
Kami berempat mulai mencari ke arah yang ditunjuk Bimo. Hutan semakin lebat, dan suara gemericik air dari aliran sungai semakin jauh terdengar. “Bimo! Di mana kamu?” panggilku, suaraku sedikit menggema di antara pepohonan.
Sementara itu, Bimo bersembunyi di balik semak-semak, menyimpan tawa yang tidak bisa ditahannya. Ia berencana untuk membuat lelucon dan berpura-pura hilang di “Pasar Setan” yang diceritakan Aji.
“Ssst! Jangan bikin suara!” Bimo berbisik pada dirinya sendiri sambil melihat ke arah teman-temannya yang mulai panik. Ia menunggu hingga mereka semakin dekat sebelum mengeluarkan suara aneh, menirukan suara jualan.
“Jualan! Jualan! Nasi goreng setan! Roti bakar hantu!” teriaknya dengan keras.
Teman-temannya langsung terdiam, semua berpaling ke arah suara yang aneh itu. Kami saling berpandangan dengan wajah ketakutan.
“Bimo? Itu kamu?” seru Aji, suaranya bergetar.
“Bimo!” panggil Maya, merasakan kepanikan di dalam hatinya.
Bimo, masih bersembunyi di balik semak-semak, tak bisa menahan tawanya lebih lama. “Haha! Kalian kaget ya? Aku cuma bercanda!”
Mendengar suara Bimo, semua teman-teman langsung merasa lega, meskipun tetap marah. “Sini, Bimo! Jangan bercanda kayak gitu, bikin kita semua panik!” Rani berteriak, meski ada senyum di wajahnya.
Tiara menggelengkan kepala. “Kamu ini, Bimo. Kalau mau bercanda, jangan di tengah hutan gini. Kami jadi takut!”
Bimo melangkah keluar dari persembunyiannya, masih tertawa. “Tapi seru, kan? Rasanya kayak di film horor. Kalian benar-benar percaya aku hilang!”
“Seru? Lebih ke panik, Mo!” timpalku, merasakan campuran rasa lega dan kesal. “Satu-satunya yang hilang itu akal sehatmu!”
Sambil tertawa, kami melanjutkan perjalanan kembali ke jalur pendakian. Momen itu, meski membuat kami panik, bisa jadi lelucon yang akan dikenang sepanjang perjalanan. Setiap kali kami membahas Bimo yang berpura-pura hilang, suasana akan diwarnai tawa, menghilangkan rasa lelah yang mulai terasa.
Setelah beberapa jam pendakian, kami akhirnya sampai di puncak Gunung Lawu, dan semua kelelahan terbayar dengan pemandangan yang menakjubkan. Kami berdiri di tepi puncak, menghirup udara segar dan menyaksikan panorama alam yang luas.
“Wah, ini luar biasa!” seru Maya, mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto.
Aku merasa bangga. “Kita berhasil, guys! Semua usaha dan lelah terbayar di sini.”
Bimo berdiri di sampingku, tersenyum lebar. “Dan aku tidak hilang di Pasar Setan, kan?”
“Syukurlah!” jawabku dengan tawa. “Tapi lain kali, jangan coba-coba lagi!”
Dengan tawa dan kegembiraan, kami merayakan pencapaian kami di puncak Gunung Lawu, menciptakan kenangan indah yang akan selalu diingat.
Kami semua menikmati momen di puncak Gunung Lawu, mengabadikan momen indah dengan berfoto dan bercanda. Namun, tidak lama kemudian, awan gelap mulai menyelimuti langit, menandakan perubahan cuaca yang tiba-tiba.
“Eh, lihat deh! Awan-awan itu kok kayaknya mendung banget,” ujar Rani, menunjuk ke arah langit yang semakin gelap.
Bimo yang masih bersenang-senang tidak menghiraukannya. “Paling cuma hujan kecil. Kita kan sudah sampai puncak! Ngapain juga kita harus takut?”
Namun, tak lama setelah Bimo berbicara, angin kencang mulai bertiup, dan rintik hujan mulai turun. Semua orang segera menyadari perubahan mendadak ini.
“Bisa jadi lebih parah dari yang kita kira!” Tiara berteriak, berusaha melawan angin.
“Cepat, kita harus cari tempat berteduh!” aku langsung berinisiatif, mencoba menenangkan suasana. “Jangan sampai kita terjebak di sini.”
Semua orang berlari mencari tempat yang aman dari hujan. Namun, dalam kekacauan itu, Tiara dan Bimo terpisah dari kelompok.
“Tiara! Bimo!” seruku, mencari kedua temanku di tengah badai yang semakin memburuk.
Namun, suara hujan yang deras dan angin yang menderu membuat kami sulit mendengar satu sama lain.
“Ke mana mereka?” Rani panik. “Kita harus segera menemukan mereka!”
Maya mengusap air hujan yang mengalir di wajahnya. “Ayo, kita cari di sekitar sini! Jangan sampai mereka jauh!”
Aku yang tetap tenang di tengah kepanikan, segera berusaha merencanakan langkah selanjutnya. “Oke, kita bagi tugas. Aji dan Rani, kalian cari di sebelah kiri. Maya dan aku akan coba mencari di kanan. Kita teriak kalau menemukan mereka, ya!”
Setelah semua setuju, kami mulai mencari. Cuaca semakin parah, dan angin mulai berbisik, membawa hawa dingin yang menusuk. Aku dan Maya berlari ke arah yang berlawanan, berusaha memanggil nama Bimo dan Tiara.
“Bimo! Tiara!” teriakku dengan suara lantang. “Kami di sini!”
Suara kami tersapu oleh gemuruh hujan, tetapi aku tetap tidak putus asa. Aku mengingat jalur yang kami lewati dan berharap bisa menemukan tempat yang aman untuk berteduh.
Setelah beberapa menit mencari, aku melihat sebuah gua kecil di tepi jalan setapak. “Maya! Lihat! Itu tempat berteduh!” ucapku kemudian berlari menuju gua sambil mengangkat tangan untuk menandakan.
Maya mengikutiku, dan kami segera masuk ke dalam gua yang cukup dalam untuk melindungi kami dari hujan. Di dalam, suasananya lebih tenang meski masih terdengar gemuruh badai di luar.
“Semoga Bimo dan Tiara bisa menemukan tempat berteduh juga,” kata Maya, mencoba menenangkan diri.
Aku pun mengangguk, meskipun cemas. “Kita harus tetap berharap. Mereka pasti bisa mengatasi ini.”
Di luar, badai semakin ganas. Aku memandang ke arah pintu gua, berharap sahabat-sahabatku segera menemukan tempat yang aman. “Kita nggak bisa nih di sini terus. Abis hujan, kita mesti mencari mereka,” ucapku.
Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat, suara teriakan terdengar dari luar. Aku dan Maya bergegas keluar untuk melihat.
“Nurra! Maya!” suara Bimo muncul di antara suara hujan. Aku merasa lega saat melihat Bimo dan Tiara muncul dari balik pepohonan, meski tampak basah kuyup.
“Bimo! Tiara! Kita di sini!” teriakku, melambaikan tangan.
Bimo dan Tiara berlari ke arah gua, dan mereka segera masuk ke dalam.
“Syukurlah, kalian selamat!” Tiara berkata sambil mengatur napas, wajahnya terlihat lega.
“Kita kira kalian tersesat!” Maya menambahkan, mengusap air dari wajahnya.
Bimo menggelengkan kepala. “Kami juga mencari tempat berteduh. Untungnya, kami menemukan jalan ke sini.”
Kami pun saling berpelukan, merasa beruntung bisa berkumpul kembali meski dalam keadaan basah kuyup.
“Selama kita bersama, kita bisa melewati ini,” kat
aku, menatap wajah mereka semua dengan penuh semangat. “Yang terpenting, kita semua selamat!”
Kami kemudian beristirahat sejenak di dalam gua, berbagi cerita tentang bagaimana kami masing-masing menemukan jalan menuju tempat ini. Meskipun hujan terus mengguyur, kehangatan pertemanan membuat kami merasa nyaman di dalam gua.
Setelah hujan reda, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan semangat baru, kami melanjutkan langkah menuju puncak Gunung Lawu, merayakan setiap langkah yang kami ambil bersama.