Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 15 — Ajari Aku
"Matilah!"
Teriakan menyayat terdengar ketika selarik cahaya merah berkekuatan penuh menyambar-nyambar. Lima orang lelaki malang dengan pedang di tangan harus meregang nyawa dikala serangan Bai Li mengoyak perut mereka.
Ketua cabang Sekte Pedang Kelabu dan satu tetua lain maju di baris depan untuk menyerang langsung sekaligus melindungi murid-murid mereka.
Bai Li masih menyempatkan diri untuk terkekeh dan mengejek, hanya berguna agar musuh kehilangan rasa percaya diri. Sejatinya, Bai Li pun sedikit terguncang dengan pengeroyokan tiga puluhan orang itu.
"Badai Pedang!"
"Hujan Kabut!"
"Berisik!" Bai Li memutar pedang kanan, menangkis jurus Badai Pedang yang berupa tusukan kilat berkekuatan petir dahsyat secara bertubi-tubi. Sedangkan pedang kirinya menyambut Hujan Kabut yang membuat pedang lawan diselimuti asap tipis kelabu.
Akibat dari serangan itu, lengan kiri Bai Li sebelah atas berhasil tergores cukup dalam. Memang jurus Hujan Kabut adalah salah satu jurus andalan Sekte Pedang Kelabu yang tak bisa dianggap remeh.
Bai Li melambung tinggi untuk menghindar dari serangan susulan. Terdengar raungannya yang mengerikan, kemudian dua pedang berselapis cahaya merah itu dilempar ke bawah.
Ketika pedang menancap tanah, suara berdentum terdengar dan tempat itu melesak sejauh beberapa kaki.
"Menghindar, pakai formasi Benteng Pedang!" teriak ketua sekte memberi perintah.
Semua orang keluar dari tanah cekung tersebut lalu berbaris dalam formasi teratur. Dua lelaki tua berdiri di depan, sedangkan murid yang lain membentuk setengah lingkaran di sekelilingnya.
Ketika Bai Li turun dan mencabut pedang lalu kembali menerjang, ketua sekte memberi perintah. Terdengarlah gelegar guntur ketika puluhan pedang itu diacungkan dan menembakkan aliran petir luar biasa.
"Keh!" Bai Li mencoba menangkis semua serangan, tapi tetap saja luka baru tercipta di perutnya walau tidak dalam. Dia memutar tubuh, benar saja, ketua sekte sudah berdiri di belakangnya, bersiap dengan tusukan kilat. "Kau kurang cepat!" Bai Li mengambil langkah lebih dulu.
Tusukan kuat dan cepat itu seharusnya berhasil menembus dada ketua sekte, tapi kakek lainnya berhasil mencegah dengan sedikit membelokkan laju pedang. Karena hal ini, ketua sekte menjerit dan terhuyung, pundaknya mengucurkan darah banyak sekali.
"Mati!"
Dengan tebasan lebar, tetua sekte yang tadi membantu sudah berhasil dipenggal.
"Tetua!" Seorang murid wanita menerjang dengan marah, "Iblis!"
Dan satu sabetan berikutnya, melayanglah nyawa si gadis. Bai Li bahkan menebasnya tanpa melihat.
"Ketua, lari, biar kami mengulur waktu!"
Maka dua puluhan orang itu menerjang dengan gerakan ganas penuh dendam. Itu tak terlalu menyulitkan bagi Bai Li, dia mengelak ke sana-sini dan menebas ke kanan-kiri.
Ketika semua sudah selesai, entah berapa lama, ketua sekte yang dalam kondisi lemah itu sudah tak terlihat lagi.
Sebagai gantinya, dia melihat anak lima belas tahun, menggunakan mantel hitam berkerah bulu, berdiri tak jauh dari sana, tanpa berkedip.
"Chen Huang, aku—"
"Kembali ke pondok dan obati lukamu." Anak itu berjalan ke tengah medan tempur, melihat sekeliling. Ada banyak mayat di sana. "Akan kuurus mereka."
"Untuk apa?" Bai Li membentak dengan muka merah. "Mereka hampir membunuh kita!"
Akan tetapi, sedikit pun juga Chen Huang tak tampak goyah. "Karena aku Gagak," katanya, "yang selalu dekat dengan mayat dan kematian."
...----------------...
"Sekte Pedang Kelabu?"
Bai Li mengangguk dengan muka marah. "Mereka hanya sekumpulan orang-orang sombong dan jahat dan menyebalkan dan menjengkelkan dan semacamnya. Kalau kau melihat orang-orang itu lagi, segera panggil aku."
"Ah, begitu?" Chen Huang lantas mengamati tangan Bai Li. "Bagaimana caramu mengeluarkan pedang dari udara kosong?"
Gadis itu menyadari tatapan Chen Huang dan dia menjawab. "Ini cincin penyimpanan namanya. Dia itu cincin ajaib yang bisa menyimpan benda-benda. Begitulah." Gadis itu mengerucutkan bibir setelahnya. "Cincin ruangku hilang ketika berusaha kabur ke Wilayah Pedalaman."
"Cara kerjanya?"
"Cukup alirkan Qi ke dalam cincin dan keluarkan benda apa yang kau mau." Bai Li mempraktikkannya, mengeluarkan buku secara acak. "Seperti ini. Hm ... buku apa ini? Oh, Tujuh Suku di Pedalaman? Sepertinya menarik." Bai Li membuka buku tersebut dan mulai membacanya.
"Menurutmu, apa aku bisa menggunakan cincin itu?" Jelas sekali Chen Huang menginginkannya.
Jawaban Bai Li amat mengecewakan. "Mustahil. Energi Qi milikmu terlalu lemah, sama seperti kebanyakan orang biasa dan itu tak bisa dikendalikan."
"Kalau begitu, ajari aku."
Bai Li mengangkat muka. "Sungguh?"
Chen Huang tak ragu lagi, dia mengangguk mantap. Aku harus kuat untuk bisa berjalan di samping Raja Malam.
"Haha!" Bai Li menutup bukunya. "Kalau begitu, akan kulatih kau seperti diriku saat pertama kali berlatih dulu."
"Bagaimana itu—Ughkk!"
"Dengan sedikit kekerasan, tentu saja!" kata Bai Li penuh semangat dengan tinjunya yang sudah terbenam dalam di perut Chen Huang.
...----------------...
Malam harinya setelah sejak pagi sampai sore Bai Li menyiksa Chen Huang habis-habisan, kini adalah waktu untuk istirahat.
Bai Li menolak untuk diajak makan bersama, padahal gadis itu yang menyiapkan makanan, berupa sayuran hangat yang bahan-bahannya diambil dari cincin penyimpanan.
"Seharusnya hanya untuk benda mati," katanya ketika mengeluarkan sayur-sayuran berbagai macam. "Tapi ini bisa menyimpan sayur dan jamur, tidak membusuk pula. Ini pasti mahal sekali. Bahkan aku dulu tak pernah punya yang seperti ini."
Ketika Chen Huang sudah selesai, dia keluar dari pondok lalu menemukan Bai Li duduk termenung di tebing sebelah barat, memandang ke bawah.
"Apa kau khawatir mereka akan kembali?" bertanya Chen Huang saat dia menghampirinya. "Apa kita perlu pindah tempat?"
"Tempat Sekte Pedang Kelabu cukup jauh dari sini. Ketua cabang mereka dapat mengejarku dalam waktu kurang dari satu hari, itu artinya mereka memang mengirim banyak pasukan secara terpisah."
"Maksudmu?"
"Maksudku, dengan luka parah dari teknikku tadi, seharusnya dia kembali ke sekte untuk penyembuhan," Bai Li menjawab, "ketua sekte cabang itu maksudku."
Chen Huang mencoba mengingat pertarungan hebat yang ia lihat secara diam-diam malam tadi. "Seranganmu punya dampak istimewa?"
Gadis itu mengangguk. "Itu mengandung kutukan. Luka itu akan terus menganga kalau tidak segera diobati oleh kultivator penyembuh. Ah, sulit menjelaskannya kepada orang yang masih belum tahu apa-apa sepertimu. Mudahnya, ada beberapa kultivator yang memfokuskan diri di jalan penyembuhan, orang-orang seperti mereka itulah yang dapat mengobati ketua sekte."
"Kaubilang kutukan? Seranganmu terdengar jahat dan mengerikan." Chen Huang justru tertarik pada hal lain. "Kau tak mencoba mencabikku dengan kutukan itu, kan?"
Yang diajak bicara menoleh dengan cepat, menatap tajam. "Hanya yang jahat yang bisa bertahan."
"Oh?" alis pemuda itu terangkat. "Aku baru tahu hal semacam itu. Di desa, kami selalu menekankan kekeluargaan dan semacamnya. Tak ada yang menyarankan untuk jalan kejahatan seperti itu."
"Kau seperti burung dalam sangkar," suara Bai Li memelan, penuh tekanan. "Gagak yang kurang sempurna."
Chen Huang diam, tidak menanggapi.
"Ah, maaf," Bai Li segera menundukkan kepala, "ucapanku mungkin sedikit kasar."
"Biasa saja, aku tidak sakit hati atau apa. Memang aku hanya burung dalam sangkar, saat ini, aku belum bisa membentangkan sayapku."
Bai Li hanya mendengarkan, dia terus menatap ke bawah.
Chen Huang lalu berlutut, menundukkan kepala dan menangkupkan kedua telapak tangan. Selang beberapa saat, dia duduk bersila.
"Kau melakukan apa?" tanya Bai Li yang memperhatikan sejak tadi.
"Hanya berdoa, seperti biasa."
"Kepada dewa? Kaupercaya dengan dewa? Apa yang kauminta?"
Chen Huang mengangguk. "Dewaku, dewa sukuku, adalah Dewa Kegelapan. Kami berdoa di malam gelap seperti ini, memohon banyak hal, atau bersyukur tentang banyak hal."
"Aku lebih percaya kalau itu tak pernah terkabul," sahut Bai Li sambil tersenyum miring. "Maaf, apa aku salah?"
"Kita lihat saja nanti."
"Maksudmu?"
"Beberapa waktu lalu, aku meminta keselamatan dan perlindungan dalam pengembaraanku, dan kau datang melindungiku. Apa aku salah?"
Bai Li membuka mulut, tapi diurungkannya kata-kata yang hendak diucapkan.
Setelah keheningan yang cukup lama dan canggung, Chen Huang memecahkannya. "Bai Li."
"Apa?"
"Temanmu itu, apa masih kesepian?"
Bai Li diam beberapa saat. "Kupikir sudah lebih baik."
"Kuharap begitu." Chen Huang tersenyum, mengembuskan napas lega.
Hanya saja untuk development karakter nya aku masih merasa kurang cukup motivasi. Mungkin karena masih perkembangan awal. Akan tetapi, perlahan namun pasti keberadaan Chen Huang di Serigala, kayaknya akan semakin bisa di terima. Aku cukup merasakan bahwa dia saat ini sudah mulai banyak berinteraksi dengan tokoh lainnya.
Aku baca ulang dan ternyata memang ini flashback😅✌🏻