Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 10
Paman Zura pun langsung menceritakan prihal kartu ATM yang Angga kirimkan. Dengan wajah yang sangat-sangat bersalah, dia melihat ke arah keponakannya yang masih saja terlihat sangat bingung.
"Zu."
"Iya, paman."
"Kamu marah, Nak?"
"Oh, gak paman. Gak papa. Tidak marah kok aku. Biarkan mereka menguras habis isi ATM pria itu. Karena aku juga tidak membutuhkannya."
"Tapi, Zu. Ulah mereka sudah sangat keterlaluan." Hani semakin tidak terima dengan tanggapan yang Zura berikan. Kesal diwajahnya semakin terlihat dengan sangat jelas sekarang.
"Iya, Ma. Aku tahu. Tapi .... "
Zura menggantungkan kalimatnya. Matanya melirik pamannya yang saat ini ada di sampingnya sekarang. Hani paham dengan lirikan itu. Dia pun memilih untuk tenang sekarang.
Namun, ternyata bukan Hani saja yang paham. Paman Zura juga mengerti dengan apa yang saat ini sedang keponakannya pikirkan. Cepat ia menundukkan wajah.
"Paman tidak apa-apa jika kamu ingin menghukum tante dan juga sepupumu, Zu. Karena mereka memang pantas menerima pelajaran dari kamu. Paman tidak akan keberatan."
"Paman."
"Zura. Satu hal yang belum paman katakan, paman dan tante mu sudah bercerai. Satu hari setelah tante kamu memaksa paman untuk menyetujui surat kuasa atas rumah mendiang orang tuamu, paman langsung menceraikannya karena paman sudah tidak tahan lagi dengan ulah ibu dan anak itu. Jadi, paman dan mereka sudah tidak ada hubungan lagi mulai dari sekarang."
Wajah terkejut tidak bisa Zura sembunyikan. Dia pun langsung menatap lekat wajah pamannya yang sedang terlihat sangat sedih saat ini.
"Lalu, bagaimana dengan Mirna, paman? Dia itu anak paman, bukan?"
"Mirna bukan anak kandung paman, Zura. Mirna adalah anak tante kamu dengan pria lain. Paman baru mengetahuinya setelah rumah kamu dijual. Saat itu, tante kamu membuka semua aibnya yang telah ia sembunyikan di masa lalu."
Ya. Mirna memang bukan sepupu Zura. Karenanya, sejak lahir, paman Zura tidak merasakan sedikitpun ada ikatan darah di antara dirinya dengan anak tersebut. Tapi, setelah anak itu lahir, bagaimanapun hatinya menolak, dia tetap membesarkan anak itu dengan sangat baik.
Namun apa yang ia dapatkan, ibu dan anak itu sungguh tidak punya hati. Karena ulah mereka, paman Zura bisa ada di rumah sakit seperti sekarang. Mereka membuat paman Zura drop akibat ulah jahat yang mereka perbuat.
"Syukurlah kalau begitu. Akhirnya, kamu bisa juga lepas dari monster yang tak berhati seperti istri dan anakmu itu," kata Hani dengan nada sangat lega.
"Iya, paman. Sangat-sangat bersyukur kalau begini. Akhirnya, kebusukan mereka terbongkar juga. Oh iya, bagaimana kalau paman dan mama ... anu, ehem. Itu lho, ber ... sa ... tu lagi. Bagaimana?"
Keduanya malah kompak memberikan Zura tatapan tajam. Setelahnya, mereka berdua bertukar pandang selama beberapa detik.
"Jangan main-main, Zu. Bersatu apanya? Jangan buat cerita deh kamu." Hani kesal, tapi juga terdengar sedang bahagia dengan apa yang sudah Azzura katakan.
Sebaliknya, si paman hanya terdiam sambil menahan senyum saja. Kemudian, setelah sanggahan yang Hani lontarkan, pamannya pula yang ikut-ikutan.
"Kamu yang masih muda aja belum menikah, Zu. Kenapa malah ngurus orang yang sudah tua. Kamu sekarang makin cantik aja lho, nak. Mudah bagimu untuk menemukan jodoh yang tepat."
Zura terdiam sesaat. Memang sudah banyak yang menyukai dirinya di luar negeri kemarin. Tapi sayang, hati yang terluka rasanya sudah mati akibat ulah seseorang. Sulit bagi Zura untuk membuka pintu hati itu lagi setelah kejadian tiga tahun yang lalu.
"Zura."
"Iya, Ma."
"Apa yang kamu renungkan?"
"Eh, gak kok, Ma. Gak ada. Hanya berpikir soal Lula yang entah sedang apa sekarang."
"Lula? Siapa dia?" Pamannya dengan penasaran bertanya.
"Ya ampun. Itu si asisten pribadinya yang ia tinggalkan di rumahku. Aish, kamu malah mendukung Zura mengalihkan pokok pembicaraan kita. Gimana sih kamu, Fadil?"
"Hah? Kok malah menyalahkan aku? Aku kan hanya penasaran saja."
Keduanya malah berdebat. Perdebatan yang membuat Zura langsung tersenyum. Memang benar kalau mereka terlihat seperti pernah saling mencintai di masa muda. Jadinya, Zura malah berniat untuk menyatukan keduanya kembali sekarang.
....
Rumah sakit Pelita Harapan. Angga dan Adya baru saja tiba ke sini sekarang. Gegas ia turun dari mobil untuk menyisiri rumah sakitvtersebut agar bisa menemukan orang yang ia cari.
Tapi sepertinya, usaha itu harus gagal lagi. Karena sekarang, Zura memang sedang tidak berada di rumah sakit. Dia kembali ke hotel untuk beristirahat.
Takdir memang belum bersrdia mempertemukan Zura dengan Angga kembali. Buktinya saja, selalu ada halangan saat mereka ingin bertemu satu sama lain.
"Tuan muda. Bagaimana caranya kita mencari orang yang kita sendiri tidak mengenali wajahnya?"
"Adya. Kenapa sekarang kamu jadi banyak bertanya? Aku yakin kamu mampu melakukan tugasmu dengan baik. Jadi, lakukan tugasmu sekarang. Jangan banyak bertanya."
Nyatanya, mencari seseorang yang tidak dikenali itu lebih sulit dari pada mencari berlian yang jatuh ke dalam god bukan? Karena yang jatuh meski tidak terlihat sudah tahu pasti kalau bendanya ada. Tapi manusia, sudah tidak pasti, dia bisa bergerak ke mana yang dia inginkan.
Mencari beberapa jam, tetap saja tidak ada tanda-tandanya. Hingga akhirnya, Angga yang terlihat sedang sangat lelah itu menyandarkan diri di tempat duduk mobil sambil memegang tulang batang hidungnya.
Adya yang tahu akan keadaan tuan mudanya, langsung berucap. "Tuan muda. Sepertinya kita harus pulang dulu sekarang. Besok kita akan lanjutkan lagi. Bagaimana?"
"Yah. Tidak ada pilihan lain. Kepalaku terasa sangat pusing, Adya. Kita harus kembali."
Takdir benar-benar sedang mempermainkan Anggara. Baru juga mobil ia jalankan, Zura malah baru saja turun dari mobilnya. Setelah merasa istirahatnya cukup, Zura malah datang kembali ke rumah sakit tanpa memikirkan waktu.
Sampai di ruangan pamannya, Zura menyapa kedua pengawal yang ia tinggalkan di sana untuk menjaga pamannya dari ancamana apapun. Si pengawal dengan hormat membalas sapaan itu. Setelahnya, obrolan ringan tentang situasi rumah sakit pun terjadi.
"Nona. Barusan ada dua orang pria yang mencurigakan. Datang mencari seseorang yang bernama Yura. Mereka bilang, desainer Yura ada di rumah sakit ini. Tuan muda mereka menginginkan desainer itu."
"Apa? Ada yang mencari ... desainer Yura?"
"Iya, nona. Dua pria itu seperti pengawal bayaran. Beruntung kita sedang dalam penyamaran jadi tidak ada hal yang berarti terjadi."
Mendengar penuturan itu, Zura merasa harus bergerak lebih cepat. Dia juga berniat untuk memindahkan pamannya dari rumah sakit tersebut secepatnya agar pamannya bisa aman.
"Mama harus tahu akan hal ini," ucap Zura sambil menghubungi Hani.
....
Setelah kesepakatan di buat, Zura pun berniat untuk memperingati sepupu dan tantenya. Dua manusia yang sangat-sangat tidak punya perasaan. Dengan teganya menelan barang yang bukan haknya tanpa pikir panjang.
"Bawa tambahan pengawal agar kamu baik-baik saja, Zu."
"Tidak perlu, Ma. Dua saja sudah cukup."
"Mama gak mau kamu kenapa-napa, Zu."
"Mama tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Aku jamin, kekerasan tidak akan terjadi nanti."